33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Awalnya Tanpa Gejala, Hari Kedelapan Alami Badai Sitokin

Selama enam bulan, ada
419 orang pasien Covid-19 yang sembuh setelah dirawat di RSUD dr Doris Sylvanus
Palangka Raya. Namun tak banyak yang mau bersecerita ke media. Banyak
pertimbangan. Dalam catatan Kalteng Pos baru ada empat orang. Ini pasien
keempat yang ceritanya sungguh mengharukan.

 

MOHAMMAD ISMAIL,
Palangka Raya

 

 

HSY (56), demikian pria
ini minta namanya ditulis. Ia minta namanya 
disingkat.  Siang itu (18/8) duduk
satu baris bersama dengan Direktur Rumah Sakit dr Doris Sylvanus Palangka Raya
drg Yayu Indriaty SpKGA, dr Budi Darma SpPD yang merawat HSY, dan Kabid Humas
dr Riza Syahputra di ruang lobi adminitrasi RSDS Palangka Raya.

Ia adalah satu dari
sekian banyak pasien yang baru dinyatakan sembuh. Sabtu (15/8) hasil tes Swab
negatif untuk kedua kalinya. Hasil ini membuat HSY dinyatakan sembuh. Namun,
proses perawatan yang dilalui selama dua bulan lebih, termasuk kategori berat,
karena sempat masuk fase Badai Sitokin.

Drg Yayu Indriaty
menyampaikan sejak Februari- Agustus ini sudah ada 507 pasien yang dirawat inap
di RSDS. Sebanyak 419 pasien sembuh. Sedangkan yang masih dirawat inap 26
orang, dan suspect (PDP) ada 21 orang. Sedangkan jumlah kunjungan  pasien ke klinik rawat jalan PIE, suspet/OTG
ada togal 992 orang.

“Hari ini ada seorang
pasien usia 56 tahun berbagi pengalaman menjalani perawatan saat sakit
Covid-19. Hampir dua bulan dirawat di rumah sakit. Kemudian sempat menjalani
isolasi mandiri, karena kondisinya stabil di akhir perawatan. Beberapa hari
lalu sudah dinyatakan sembuh,” ujar Yayu.

Melalui cerita HSY ini,
RSDS ingin mengajak masyarakat bahwa infeksi penyakit Covid- 19 tidak perlu
ditakuti, tapi perlu diwaspadai bersama. Menurut Yayu waspada ini diwujudkan
dalam bentuk saling menularkan dan tertular.

Baca Juga :  Berkendara Lewat Jalan Sempit demi Mencapai Rumah Murid

“Kami di rumah sakit
ini sangat ketat mencegah, jangan sampai terjadi penularan silang antar satu
pasien dengan pasien lain. Mungkin Pak HSY bisa merasakan sendiri, bagaimana
ketatnya kami,” ujar drg Yayu yang setiap hari 
menerima laporan kondisi pasien.

Bagi HSY kabar ia
terkena Covid-19, ini pukulan berat. 
“Ambyar. Saya kena covid. Istri saya kena CA (kanker),” ujar HSY. Kata
itu yang ia pilih  menggambar kondisinya
saat yang menerima kabar dirinya positif Covid-19.

Tak hanya itu, selama
menjalani perawatan ini, ia mendapat kabar kakak tertuanya meninggal dunia
karena serangan jantung di Palangka Raya. Adiknya yang nomor enam di Bandung
juga meninggal dunia. Kemudian anaknya yang bekerja di sebuah hotel harus
berhenti, karena mengantarkan istri HSY yang harus berobat ke Jakarta.

“Baru tadi malam saya
beritahu ibu. Sebelumnya saya bilang ke suadara-saudara saya, jangan beritahu
ibu. Ibu saya sudah berusia 87 tahun dan pakai pacu jantung. Tidak berani saya.
Setelah sembuh baru saya berani bilang,” ujar HSY yang khawatir ibu kaget jika
mendengar kondisinya itu.

Ia dan istrinya
menjalani test Swab tanggal 22 Juni 2020, untuk syarat berangkat dengan pesawat
terbang. Istrinya negatif, ia positif. Ia merasa sehat. Tidak ada keluhan.
Namun ada penyakit lain. Akhirnya ia di rawat di BPSDM Jalan AIS Nasution
karena kondisinya stabil.

Selama dirawat di
BPSDM, HSY merasa seperti sebuah komunitas yang senasib sepenanggungan. Rasa
kekeluargaannya luar biasa. Bisa olahraga dengan pasien lain yang sesama
positif.

“Beberapa hari pertama
enak saja naik tangga. Tapi setelah itu, kok cape ya. Kalau turun ke bawah, kok
cape. Ada rasa menggigil. Rasa sesak. Saya selalu sampaikan keluhan. Di BPSDM
sehari bisa sampai 10 kali pengecek oleh perawat,” cerita HSY.

Baca Juga :  Biaya Perawatan Sehari Mencapai Rp8 Juta

Karena ada keluhan itu,
akhirnya perawatan HSY dipindah dari BPSDM ke RSDS. Kadar oksigen dalam dalam
berkurang. Ia harus dipasang alat bantu pernapasa dan diberi oksigen. “Semoga
tidak apa-apa. Saat itu masuk hari kedelapan. Sepertinya virus makin kuat.
Apakah saya akan selesai, kok imunnya tak muncul-muncul,”ujar HSY menceritakan
pikirannya saat itu. 

Kata dr Budi Darma yang
merawatnya menjelaskan, HSY saat itu masuk dalam kondisi yang dinamakan Badai
Sitokin. Kondisi ini yang paling ditakuti pada penderita covid-19. Karena bisa
membawa kematian bagi pasien.

Badai sitokin kondisi
dimana terjadinya peningkatan respons imun tubuh yang berlebihan. Respon
berlebihan ini bukan hanya menyerang virus covid-19, tapi menyerang organ tubuh
juga. Ini yang dialami HSY di hari kedelapan sampai dengan lima belas.

“Setiap saat kami
evaluasi terus, separah apa badai sitokin yang dialami oleh HSY. Akhirnya hari
ke 11-12 kami putusakan untuk memberikan terapi dengan memberikan intravenous
immunoglobulin yang harganya sangat mahal sekali. Ditambah pemberian anti
interleukin yang harganya Rp9 juta,” ujar dr Budi Darma.

Menurut dr Budi,
dua  kombinasi obat itu yang diberikan
untuk pasien covid-19 dengan kondisi berat. Hasilnya bisa mengurangi tingkat
kematian. Konsekuensinya, di biaya yang jadi mahal. Ini yang membuat HSY
terkaget-kaget setelah betapa besarnya perhatian pemerintah terhadap para
pasien covid-19.

“Ini yang membuat saya terkaget-kaget. Saya
tanya ke sepupu saya yang bekerja di BPOM, berapa harga intravenous
immunoglobulin, satu botolnya Rp4 juta. Selama perawatan saya menghabiskan 40
botol. Berarti totalnya ada Rp 160 juta,” ujar HSY yang harus menjalani tes
swab sebanyak 16 kali. Swab ke 15 dan 16 hasilnya negatif. 

Selama enam bulan, ada
419 orang pasien Covid-19 yang sembuh setelah dirawat di RSUD dr Doris Sylvanus
Palangka Raya. Namun tak banyak yang mau bersecerita ke media. Banyak
pertimbangan. Dalam catatan Kalteng Pos baru ada empat orang. Ini pasien
keempat yang ceritanya sungguh mengharukan.

 

MOHAMMAD ISMAIL,
Palangka Raya

 

 

HSY (56), demikian pria
ini minta namanya ditulis. Ia minta namanya 
disingkat.  Siang itu (18/8) duduk
satu baris bersama dengan Direktur Rumah Sakit dr Doris Sylvanus Palangka Raya
drg Yayu Indriaty SpKGA, dr Budi Darma SpPD yang merawat HSY, dan Kabid Humas
dr Riza Syahputra di ruang lobi adminitrasi RSDS Palangka Raya.

Ia adalah satu dari
sekian banyak pasien yang baru dinyatakan sembuh. Sabtu (15/8) hasil tes Swab
negatif untuk kedua kalinya. Hasil ini membuat HSY dinyatakan sembuh. Namun,
proses perawatan yang dilalui selama dua bulan lebih, termasuk kategori berat,
karena sempat masuk fase Badai Sitokin.

Drg Yayu Indriaty
menyampaikan sejak Februari- Agustus ini sudah ada 507 pasien yang dirawat inap
di RSDS. Sebanyak 419 pasien sembuh. Sedangkan yang masih dirawat inap 26
orang, dan suspect (PDP) ada 21 orang. Sedangkan jumlah kunjungan  pasien ke klinik rawat jalan PIE, suspet/OTG
ada togal 992 orang.

“Hari ini ada seorang
pasien usia 56 tahun berbagi pengalaman menjalani perawatan saat sakit
Covid-19. Hampir dua bulan dirawat di rumah sakit. Kemudian sempat menjalani
isolasi mandiri, karena kondisinya stabil di akhir perawatan. Beberapa hari
lalu sudah dinyatakan sembuh,” ujar Yayu.

Melalui cerita HSY ini,
RSDS ingin mengajak masyarakat bahwa infeksi penyakit Covid- 19 tidak perlu
ditakuti, tapi perlu diwaspadai bersama. Menurut Yayu waspada ini diwujudkan
dalam bentuk saling menularkan dan tertular.

Baca Juga :  Berkendara Lewat Jalan Sempit demi Mencapai Rumah Murid

“Kami di rumah sakit
ini sangat ketat mencegah, jangan sampai terjadi penularan silang antar satu
pasien dengan pasien lain. Mungkin Pak HSY bisa merasakan sendiri, bagaimana
ketatnya kami,” ujar drg Yayu yang setiap hari 
menerima laporan kondisi pasien.

Bagi HSY kabar ia
terkena Covid-19, ini pukulan berat. 
“Ambyar. Saya kena covid. Istri saya kena CA (kanker),” ujar HSY. Kata
itu yang ia pilih  menggambar kondisinya
saat yang menerima kabar dirinya positif Covid-19.

Tak hanya itu, selama
menjalani perawatan ini, ia mendapat kabar kakak tertuanya meninggal dunia
karena serangan jantung di Palangka Raya. Adiknya yang nomor enam di Bandung
juga meninggal dunia. Kemudian anaknya yang bekerja di sebuah hotel harus
berhenti, karena mengantarkan istri HSY yang harus berobat ke Jakarta.

“Baru tadi malam saya
beritahu ibu. Sebelumnya saya bilang ke suadara-saudara saya, jangan beritahu
ibu. Ibu saya sudah berusia 87 tahun dan pakai pacu jantung. Tidak berani saya.
Setelah sembuh baru saya berani bilang,” ujar HSY yang khawatir ibu kaget jika
mendengar kondisinya itu.

Ia dan istrinya
menjalani test Swab tanggal 22 Juni 2020, untuk syarat berangkat dengan pesawat
terbang. Istrinya negatif, ia positif. Ia merasa sehat. Tidak ada keluhan.
Namun ada penyakit lain. Akhirnya ia di rawat di BPSDM Jalan AIS Nasution
karena kondisinya stabil.

Selama dirawat di
BPSDM, HSY merasa seperti sebuah komunitas yang senasib sepenanggungan. Rasa
kekeluargaannya luar biasa. Bisa olahraga dengan pasien lain yang sesama
positif.

“Beberapa hari pertama
enak saja naik tangga. Tapi setelah itu, kok cape ya. Kalau turun ke bawah, kok
cape. Ada rasa menggigil. Rasa sesak. Saya selalu sampaikan keluhan. Di BPSDM
sehari bisa sampai 10 kali pengecek oleh perawat,” cerita HSY.

Baca Juga :  Biaya Perawatan Sehari Mencapai Rp8 Juta

Karena ada keluhan itu,
akhirnya perawatan HSY dipindah dari BPSDM ke RSDS. Kadar oksigen dalam dalam
berkurang. Ia harus dipasang alat bantu pernapasa dan diberi oksigen. “Semoga
tidak apa-apa. Saat itu masuk hari kedelapan. Sepertinya virus makin kuat.
Apakah saya akan selesai, kok imunnya tak muncul-muncul,”ujar HSY menceritakan
pikirannya saat itu. 

Kata dr Budi Darma yang
merawatnya menjelaskan, HSY saat itu masuk dalam kondisi yang dinamakan Badai
Sitokin. Kondisi ini yang paling ditakuti pada penderita covid-19. Karena bisa
membawa kematian bagi pasien.

Badai sitokin kondisi
dimana terjadinya peningkatan respons imun tubuh yang berlebihan. Respon
berlebihan ini bukan hanya menyerang virus covid-19, tapi menyerang organ tubuh
juga. Ini yang dialami HSY di hari kedelapan sampai dengan lima belas.

“Setiap saat kami
evaluasi terus, separah apa badai sitokin yang dialami oleh HSY. Akhirnya hari
ke 11-12 kami putusakan untuk memberikan terapi dengan memberikan intravenous
immunoglobulin yang harganya sangat mahal sekali. Ditambah pemberian anti
interleukin yang harganya Rp9 juta,” ujar dr Budi Darma.

Menurut dr Budi,
dua  kombinasi obat itu yang diberikan
untuk pasien covid-19 dengan kondisi berat. Hasilnya bisa mengurangi tingkat
kematian. Konsekuensinya, di biaya yang jadi mahal. Ini yang membuat HSY
terkaget-kaget setelah betapa besarnya perhatian pemerintah terhadap para
pasien covid-19.

“Ini yang membuat saya terkaget-kaget. Saya
tanya ke sepupu saya yang bekerja di BPOM, berapa harga intravenous
immunoglobulin, satu botolnya Rp4 juta. Selama perawatan saya menghabiskan 40
botol. Berarti totalnya ada Rp 160 juta,” ujar HSY yang harus menjalani tes
swab sebanyak 16 kali. Swab ke 15 dan 16 hasilnya negatif. 

Terpopuler

Artikel Terbaru