27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Untuk Pasien Kategori Berat, Bukan buat Pencegahan

Plasma konvalesen akan
diuji klinis dengan skala besar di sejumlah rumah sakit di tanah air.
Pemerintah perlu punya data riwayat pendonor dan penerima. Jadi, jika tidak
sesuai dengan satu pasien, plasma yang didonorkan dapat digunakan ke pasien
lain yang memiliki kecocokan. 

 

FERLYNDA, BAYU, Z
HIKMIA,

Jakarta

SEPTINDA,
Surabaya 

 

PLASMA konvalesen
untuk terapi pengobatan Covid-19 hanya bisa didapatkan dari mereka yang telah
sembuh. Karena itu, kesediaan pendonor menjadi faktor penting.

Ketua Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengaku sudah berdiskusi secara virtual dengan
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tentang donor plasma tersebut. “Di Jakarta
ada sekitar 2.500 keluarga yang telah sembuh dari Covid. Mereka ini bersedia
untuk menyumbangkan plasmanya,” terang Doni.

Begitu pula daerah
lain, Jawa Timur, misalnya. Sudah lebih dari 1.200 pasien Covid-19 yang sembuh
dan kembali ke masyarakat. Mereka juga diimbau untuk mendonorkan plasmanya
melalui dinas kesehatan setempat.

Doni mengingatkan,
sampai saat ini belum ada vaksin untuk mencegah penularan Covid-19 maupun obat
yang ampuh. Maka, jalan yang bisa diupayakan adalah lewat terapi plasma. Terapi
plasma juga sudah diakui sejumlah lembaga internasional untuk pasien Covid-19.

Terapi plasma sekaligus
merupakan bentuk gotong royong antara sesama warga bangsa. “Kita dorong terus
supaya pakar, ahli-ahli kedokteran, dan ahli kesehatan kita semakin banyak yang
memiliki kemampuan untuk terapi plasma ini,” lanjutnya.

Fokus pemerintah dalam
penanganan Covid-19 memang bukan hanya memperbanyak tes untuk mengetahui siapa
saja yang tertular, tapi juga meningkatkan secara signifikan jumlah pasien
positif Covid-19 yang sembuh.

Disinggung mengenai
teknis donor beserta fasilitas dari pemerintah, Doni tidak banyak berkomentar.
Dia menyatakan, teknisnya sudah diatur Kementerian Kesehatan (Kemenkes). “Kerja
sama juga dengan beberapa pihak, termasuk RSPAD,” tutur perwira TNI berpangkat
letnan jenderal itu.

 

Presiden Jokowi juga
sempat menyampaikan optimismenya terhadap terapi plasma tersebut. “Saya melihat
sudah ada kemajuan yang signifikan dalam pengujian plasma,” ujarnya.

Plasma akan diuji
klinis dengan skala besar di sejumlah rumah sakit (RS) di tanah air.  Protokol nasional juga sudah tersedia untuk
melakukan uji klinis di lebih banyak RS. Harapannya, tingkat kesembuhan pasien
makin besar dengan terapi tersebut.

Mulanya, terapi plasma
konvalesen dilakukan di Tiongkok. Pasien pertama berjumlah lima orang.
Kemudian, lambat laun tambah terus. Dari penelitian di Negeri Panda itu, pasien
yang diberi terapi tersebut menunjukkan perbaikan kondisi.

Di Indonesia, Kemenkes
baru memfinalisasi rencana penelitian plasma konvaselen. Rencananya terapi itu
dikembangkan sekaligus dengan melibatkan banyak rumah sakit.

Kepala Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan dr
Irmansyah SpKJ menjelaskan, Kemenkes tengah membicarakan adanya tim riset
sendiri. “Kami menawarkan bagi siapa saja yang ingin bergabung dalam penelitian
ini,” ungkapnya.

Kemenkes juga
berkoordinasi dengan instansi lain. Mulai Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM), Palang Merah Indonesia (PMI), hingga rumah sakit. Tiga lembaga itu
dapat mempermudah penelitian.

Irmansyah mengungkapkan
bahwa persiapan yang dilakukan sedang dalam tahap akhir. Meski demikian, dia
belum bisa menyebutkan kapan penelitian itu dilakukan. ”Memang sekarang ini
banyak rumah sakit pendidikan yang melakukan riset secara mandiri,” ujarnya.

Menurut jurnal ilmiah
yang telah dipublikasikan, terapi plasma bukanlah hal baru. Ada beberapa
penyakit yang memang diberi terapi dengan plasma darah. Untuk Covid-19,
penelitian masih dilakukan. Jurnal ilmiah terus diperbarui dengan hasil baru.

Dari jurnal yang dibaca
Irmansyah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam terapi tersebut.
Terutama terkait dengan mencocokkan plasma dari pendonor dengan penerima donor.
Ada beberapa komponen yang harus dipenuhi. Contohnya, mengenai golongan darah
yang harus sama.

Baca Juga :  Rumah Dibangun Kesultanan Banjar, Kini Hanya Menyisakan 21 Tiang

Selama ini pengambilan
plasma dilakukan atas dasar kesadaran pasien yang sudah sembuh. Menurut dia,
pemerintah perlu memiliki data riwayat pasien yang ditujukan untuk pengembangan
terapi plasma konvaselen. Jadi, jika tidak sesuai dengan satu pasien, plasma
yang didonorkan dapat digunakan ke pasien lain yang memiliki kecocokan.

Dia mengingatkan bahwa
penelitian masih berlanjut. Artinya, belum pasti plasma konvalesen menjadi
andalan memberantas Covid-19. Menurut dia, sejauh ini belum ada penelitian yang
membandingkan antara pasien yang diberi terapi plasma konvaselen dan yang tidak
diberi. Hal itu membuat penelitian masih kurang kuat. “Masih harus dilihat lagi
apakah ada alergi yang ditimbulkan, lalu screening pasien yang sudah sembuh,
dan masalah lainnya,” kata Irmansyah.

Kepala Lembaga Biologi
Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio menambahkan, terapi itu pun sejatinya
bukan hal baru. Plasma konvalesen sudah ada sejak 100 tahun lalu. Belakangan
dicoba untuk menyembuhkan penyakit seperti MERS, ebola, hingga Covid-19.

Hasilnya memang
memberikan efek positif. Untuk menangani Covid-19, terapi itu sudah dilakukan
Tiongkok, Eropa, dan Amerika Serikat.

Di Indonesia pun
hasilnya sama. Menurut dia, dari 10 pasien yang sudah diterapi di RSPAD Gatot
Soebroto, yang telah mengerjakan terlebih dahulu, 8 pasien memberikan efek
positif. Sebaliknya, 2 yang lain diketahui meninggal dunia.

”Karena dua lainnya
kasus berat yang sakitnya sudah terminal. Kerusakan organ sudah luas,
komplikasinya sudah terlalu banyak,” tuturnya saat dihubungi beberapa hari
lalu.

Memang, kriteria pasien
penerima terapi itu ialah yang mengalami kasus berat. Namun, dengan catatan
tidak kasus terminal.

Bukan juga mereka yang
menderita gejala ringan. Sebab, pasien itu dinilai lebih bisa sembuh sendiri
sehingga tidak memerlukan terapi plasma darah.

”Dan, ini tidak boleh
untuk pencegahan,” tegasnya.

Meski sudah memberikan
sinyal positif, tidak serta-merta orang yang sehat dan takut tertular Covid-19
lantas minta diberi terapi itu. Sebab, plasma konvalesen khusus untuk terapi
mereka yang sakit, bukan untuk pencegahan yang diharapkan bisa berlaku jangka
panjang seperti vaksin.

Dia menjelaskan, terapi
itu bisa disebut juga dengan imunisasi pasif. Yakni, memberikan kekebalan
kepada seseorang, tapi antibodinya sudah ada dari luar. Bukan pasien yang
membentuk sendiri. Efeknya pun pendek, hanya sampai sekitar tiga pekan.

Berbeda dengan
imunisasi aktif seperti vaksin, yakni diberi antigen, kemudian orang tersebut
yang mengembangkan sendiri antibodi dalam tubuhnya. ”Kalau ini kan terapi.
Jadi, jangka pendek dalam tubuh pasien,” tutur guru besar ilmu mikrobiologi
klinik Universitas Indonesia tersebut.

Selain itu, terapi
tersebut belum bisa dibilang 100 persen efektif. Sebab, pasien penerima terapi
masih belum banyak. Dia menargetkan ada 100 pasien yang kemudian akan
dibandingkan dan diteliti lebih lanjut.

Mengenai mekanisme
pendonoran plasma konvalesen, sebelum melakukan pendonoran, salah satu
persyaratannya adalah harus diketahui terlebih dahulu kadar antibodi dari
pasien sembuh.

Zat antibodi yang ada
dalam plasma donornya kemudian diuji netralisasi. Tujuannya, mengukur seberapa
kuat antibodi dalam plasma darah tersebut untuk bisa menetralkan virus yang
menginfeksi sel tertentu.

 

”Itu harus dikerjakan
di lab bio safety level 3. Saat ini yang mengerjakan cuma ada di Eijkman,
karena harus ada virusnya dan bio safety yang tinggi,” paparnya.

Namun, karena memakan
waktu cukup lama hingga satu minggu, syarat tersebut pun tak jadi fokus utama.
Plasma darah dari donor hanya diukur antiobodi secara umum, tidak spesifik
untuk Covid-19. Tapi, sampelnya, sebagian plasma tetap harus dikirim ke
Eijkman.

”Jadi, nanti semua mau
dikerjakan di RS mana pun, sampel dari donor maupun pasien harus dikirim ke
Eijkman untuk diperiksa bersama-sama,” tuturnya.

Baca Juga :  Es Krim dan Kornet Sapi, Permintaan yang Belum Kesampaian

Selain itu, perlu
digarisbawahi, untuk pasien sembuh, kadang memang ada yang antibodinya belum
terbentuk dalam jumlah tinggi atau kadarnya beda-beda. Ada yang rendah, ada
juga yang tinggi. Lalu, apakah tidak efektif ketika antibodi pasien sembuh
rendah? Berkaca dari Tiongkok, dampaknya tetap positif. Menurut dia, itu
berpengaruh ketika pendonor memiliki titer antibodi tinggi sehingga bisa diatur
dosisnya. Maksudnya, digunakan untuk dua atau tiga orang. Sementara itu, donor
rendah hanya dapat digunakan untuk satu pasien. 

”Karena ini penelitian
berbasis pelayanan, jadi saat ini diujinya secara umum, yaitu imunoglobin
G-nya. Jadi, ketika ini tinggi, walaupun gak spesifik untuk Covid, itu bisa
diberikan,” jelasnya.

Terkait syarat
pendonor, guru besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair)
Prof Dr dr David S. Perdanakusuma SpBP-RE (K) menyebutkan, pernah sakit
Covid-19 dan sembuh sekurang-kurangnya 14 hari, relatif muda, dan tidak punya
penyakit.

Sementara itu,
perempuan yang sudah pernah hamil harus dihindari. ”Perempuan yang sudah pernah
hamil mempunyai riwayat human leukocyte antigen. Dikhawatirkan bisa menyerang
pada perempuan tersebut. Jadi, disarankan laki-laki,” ujar ketua Majelis
Kolegium Kedokteran Indonesia itu.

Terapi pengobatan
Covid-19 dengan plasma konvalesen sudah memiliki protokol dan kelayakan etik.
Karena itu, kini uji coba terapi tersebut sudah bisa dilakukan di sejumlah
rumah sakit di Indonesia, bukan hanya di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.

”Harapannya, uji ini
dapat memberikan harapan bagi mereka yang sakit dengan menggunakan plasma dari
mereka yang sudah sembuh,” ujar Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala
BRIN Bambang Brodjonegoro.

Meski demikian, Bambang
tetap mendorong para peneliti untuk terus mengembangkan riset yang berkaitan
dengan terapi lain. Pasalnya, obat dan vaksin untuk Covid-19 belum ditemukan.
Salah satunya, penelitian yang berkaitan dengan sel punca atau stem cell.

Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) menerbitkan panduan terkait dengan terapi plasma konvalesen.
”Penanganan Covid-19 memerlukan inovasi dan riset dalam pengobatan dan
penanggulangannya. Pemanfaatan plasma konvalesen menjadi salah satu terobosan yang
menjanjikan untuk pengobatan Covid-19,” kata Kepala BPOM Penny Lukito. 

Menurut dia, BPOM
sebagai otoritas regulatori obat di Indonesia mendukung penuh upaya itu dengan
mengeluarkan dua buku pedoman. Yang pertama bertajuk  Pengawasan Penggunaan Plasma Konvalesen dan
Imunoglobulin Konsentrat dalam Terapi Covid-19. Yang kedua berjudul Petunjuk
Teknis Penjaminan Mutu Pengolahan Plasma Konvalesen Covid-19 yang Sesuai dengan
Good Manufacturing Practices (GMP) untuk Pengolahan Produk Darah di Unit
Transfusi Darah (UTD).

”Buku tersebut
diharapkan bermanfaat untuk dokter, petugas kesehatan pada umumnya, dan juga
pimpinan UTD sebagai sumber bahan baku plasma konvalesen, agar kualitas yang
dihasilkan aman dan memberi manfaat,” imbuh Penny. 

Guru besar Fakultas Kedokteran
(FK) Universitas Airlangga Prof Dr dr David S. Perdanakusuma SpBP-RE (K)
mengatakan, terapi plasma konvalesen mempunyai riwayat yang cukup bagus dalam
penanganan wabah sebelumnya. Misalnya virus ebola dan flu burung. Terapi itu
juga sudah mendapatkan rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Menurut dia, pada
dasarnya virus dapat dilawan antibodi masing-masing. Namun, tidak semua tubuh
merespons dengan baik dalam membangun sistem pertahanan. Karena itu, pada orang
yang pernah sakit, tubuhnya memiliki sistem pertahanan dari virus Covid-19.

Jadi, untuk terapi
konvalesen tersebut, diambil darah yang mengandung antibodi (imunoglobulin)
dari orang yang pernah sembuh untuk membantu pertahanan tubuh pasien Covid-19.
”Atas dasar logika tersebut, mestinya bisa. Orang yang sudah sembuh, di dalam
tubuhnya memiliki antibodi dari virus tersebut,” ujarnya. 

Plasma konvalesen akan
diuji klinis dengan skala besar di sejumlah rumah sakit di tanah air.
Pemerintah perlu punya data riwayat pendonor dan penerima. Jadi, jika tidak
sesuai dengan satu pasien, plasma yang didonorkan dapat digunakan ke pasien
lain yang memiliki kecocokan. 

 

FERLYNDA, BAYU, Z
HIKMIA,

Jakarta

SEPTINDA,
Surabaya 

 

PLASMA konvalesen
untuk terapi pengobatan Covid-19 hanya bisa didapatkan dari mereka yang telah
sembuh. Karena itu, kesediaan pendonor menjadi faktor penting.

Ketua Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengaku sudah berdiskusi secara virtual dengan
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tentang donor plasma tersebut. “Di Jakarta
ada sekitar 2.500 keluarga yang telah sembuh dari Covid. Mereka ini bersedia
untuk menyumbangkan plasmanya,” terang Doni.

Begitu pula daerah
lain, Jawa Timur, misalnya. Sudah lebih dari 1.200 pasien Covid-19 yang sembuh
dan kembali ke masyarakat. Mereka juga diimbau untuk mendonorkan plasmanya
melalui dinas kesehatan setempat.

Doni mengingatkan,
sampai saat ini belum ada vaksin untuk mencegah penularan Covid-19 maupun obat
yang ampuh. Maka, jalan yang bisa diupayakan adalah lewat terapi plasma. Terapi
plasma juga sudah diakui sejumlah lembaga internasional untuk pasien Covid-19.

Terapi plasma sekaligus
merupakan bentuk gotong royong antara sesama warga bangsa. “Kita dorong terus
supaya pakar, ahli-ahli kedokteran, dan ahli kesehatan kita semakin banyak yang
memiliki kemampuan untuk terapi plasma ini,” lanjutnya.

Fokus pemerintah dalam
penanganan Covid-19 memang bukan hanya memperbanyak tes untuk mengetahui siapa
saja yang tertular, tapi juga meningkatkan secara signifikan jumlah pasien
positif Covid-19 yang sembuh.

Disinggung mengenai
teknis donor beserta fasilitas dari pemerintah, Doni tidak banyak berkomentar.
Dia menyatakan, teknisnya sudah diatur Kementerian Kesehatan (Kemenkes). “Kerja
sama juga dengan beberapa pihak, termasuk RSPAD,” tutur perwira TNI berpangkat
letnan jenderal itu.

 

Presiden Jokowi juga
sempat menyampaikan optimismenya terhadap terapi plasma tersebut. “Saya melihat
sudah ada kemajuan yang signifikan dalam pengujian plasma,” ujarnya.

Plasma akan diuji
klinis dengan skala besar di sejumlah rumah sakit (RS) di tanah air.  Protokol nasional juga sudah tersedia untuk
melakukan uji klinis di lebih banyak RS. Harapannya, tingkat kesembuhan pasien
makin besar dengan terapi tersebut.

Mulanya, terapi plasma
konvalesen dilakukan di Tiongkok. Pasien pertama berjumlah lima orang.
Kemudian, lambat laun tambah terus. Dari penelitian di Negeri Panda itu, pasien
yang diberi terapi tersebut menunjukkan perbaikan kondisi.

Di Indonesia, Kemenkes
baru memfinalisasi rencana penelitian plasma konvaselen. Rencananya terapi itu
dikembangkan sekaligus dengan melibatkan banyak rumah sakit.

Kepala Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan dr
Irmansyah SpKJ menjelaskan, Kemenkes tengah membicarakan adanya tim riset
sendiri. “Kami menawarkan bagi siapa saja yang ingin bergabung dalam penelitian
ini,” ungkapnya.

Kemenkes juga
berkoordinasi dengan instansi lain. Mulai Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM), Palang Merah Indonesia (PMI), hingga rumah sakit. Tiga lembaga itu
dapat mempermudah penelitian.

Irmansyah mengungkapkan
bahwa persiapan yang dilakukan sedang dalam tahap akhir. Meski demikian, dia
belum bisa menyebutkan kapan penelitian itu dilakukan. ”Memang sekarang ini
banyak rumah sakit pendidikan yang melakukan riset secara mandiri,” ujarnya.

Menurut jurnal ilmiah
yang telah dipublikasikan, terapi plasma bukanlah hal baru. Ada beberapa
penyakit yang memang diberi terapi dengan plasma darah. Untuk Covid-19,
penelitian masih dilakukan. Jurnal ilmiah terus diperbarui dengan hasil baru.

Dari jurnal yang dibaca
Irmansyah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam terapi tersebut.
Terutama terkait dengan mencocokkan plasma dari pendonor dengan penerima donor.
Ada beberapa komponen yang harus dipenuhi. Contohnya, mengenai golongan darah
yang harus sama.

Baca Juga :  Rumah Dibangun Kesultanan Banjar, Kini Hanya Menyisakan 21 Tiang

Selama ini pengambilan
plasma dilakukan atas dasar kesadaran pasien yang sudah sembuh. Menurut dia,
pemerintah perlu memiliki data riwayat pasien yang ditujukan untuk pengembangan
terapi plasma konvaselen. Jadi, jika tidak sesuai dengan satu pasien, plasma
yang didonorkan dapat digunakan ke pasien lain yang memiliki kecocokan.

Dia mengingatkan bahwa
penelitian masih berlanjut. Artinya, belum pasti plasma konvalesen menjadi
andalan memberantas Covid-19. Menurut dia, sejauh ini belum ada penelitian yang
membandingkan antara pasien yang diberi terapi plasma konvaselen dan yang tidak
diberi. Hal itu membuat penelitian masih kurang kuat. “Masih harus dilihat lagi
apakah ada alergi yang ditimbulkan, lalu screening pasien yang sudah sembuh,
dan masalah lainnya,” kata Irmansyah.

Kepala Lembaga Biologi
Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio menambahkan, terapi itu pun sejatinya
bukan hal baru. Plasma konvalesen sudah ada sejak 100 tahun lalu. Belakangan
dicoba untuk menyembuhkan penyakit seperti MERS, ebola, hingga Covid-19.

Hasilnya memang
memberikan efek positif. Untuk menangani Covid-19, terapi itu sudah dilakukan
Tiongkok, Eropa, dan Amerika Serikat.

Di Indonesia pun
hasilnya sama. Menurut dia, dari 10 pasien yang sudah diterapi di RSPAD Gatot
Soebroto, yang telah mengerjakan terlebih dahulu, 8 pasien memberikan efek
positif. Sebaliknya, 2 yang lain diketahui meninggal dunia.

”Karena dua lainnya
kasus berat yang sakitnya sudah terminal. Kerusakan organ sudah luas,
komplikasinya sudah terlalu banyak,” tuturnya saat dihubungi beberapa hari
lalu.

Memang, kriteria pasien
penerima terapi itu ialah yang mengalami kasus berat. Namun, dengan catatan
tidak kasus terminal.

Bukan juga mereka yang
menderita gejala ringan. Sebab, pasien itu dinilai lebih bisa sembuh sendiri
sehingga tidak memerlukan terapi plasma darah.

”Dan, ini tidak boleh
untuk pencegahan,” tegasnya.

Meski sudah memberikan
sinyal positif, tidak serta-merta orang yang sehat dan takut tertular Covid-19
lantas minta diberi terapi itu. Sebab, plasma konvalesen khusus untuk terapi
mereka yang sakit, bukan untuk pencegahan yang diharapkan bisa berlaku jangka
panjang seperti vaksin.

Dia menjelaskan, terapi
itu bisa disebut juga dengan imunisasi pasif. Yakni, memberikan kekebalan
kepada seseorang, tapi antibodinya sudah ada dari luar. Bukan pasien yang
membentuk sendiri. Efeknya pun pendek, hanya sampai sekitar tiga pekan.

Berbeda dengan
imunisasi aktif seperti vaksin, yakni diberi antigen, kemudian orang tersebut
yang mengembangkan sendiri antibodi dalam tubuhnya. ”Kalau ini kan terapi.
Jadi, jangka pendek dalam tubuh pasien,” tutur guru besar ilmu mikrobiologi
klinik Universitas Indonesia tersebut.

Selain itu, terapi
tersebut belum bisa dibilang 100 persen efektif. Sebab, pasien penerima terapi
masih belum banyak. Dia menargetkan ada 100 pasien yang kemudian akan
dibandingkan dan diteliti lebih lanjut.

Mengenai mekanisme
pendonoran plasma konvalesen, sebelum melakukan pendonoran, salah satu
persyaratannya adalah harus diketahui terlebih dahulu kadar antibodi dari
pasien sembuh.

Zat antibodi yang ada
dalam plasma donornya kemudian diuji netralisasi. Tujuannya, mengukur seberapa
kuat antibodi dalam plasma darah tersebut untuk bisa menetralkan virus yang
menginfeksi sel tertentu.

 

”Itu harus dikerjakan
di lab bio safety level 3. Saat ini yang mengerjakan cuma ada di Eijkman,
karena harus ada virusnya dan bio safety yang tinggi,” paparnya.

Namun, karena memakan
waktu cukup lama hingga satu minggu, syarat tersebut pun tak jadi fokus utama.
Plasma darah dari donor hanya diukur antiobodi secara umum, tidak spesifik
untuk Covid-19. Tapi, sampelnya, sebagian plasma tetap harus dikirim ke
Eijkman.

”Jadi, nanti semua mau
dikerjakan di RS mana pun, sampel dari donor maupun pasien harus dikirim ke
Eijkman untuk diperiksa bersama-sama,” tuturnya.

Baca Juga :  Es Krim dan Kornet Sapi, Permintaan yang Belum Kesampaian

Selain itu, perlu
digarisbawahi, untuk pasien sembuh, kadang memang ada yang antibodinya belum
terbentuk dalam jumlah tinggi atau kadarnya beda-beda. Ada yang rendah, ada
juga yang tinggi. Lalu, apakah tidak efektif ketika antibodi pasien sembuh
rendah? Berkaca dari Tiongkok, dampaknya tetap positif. Menurut dia, itu
berpengaruh ketika pendonor memiliki titer antibodi tinggi sehingga bisa diatur
dosisnya. Maksudnya, digunakan untuk dua atau tiga orang. Sementara itu, donor
rendah hanya dapat digunakan untuk satu pasien. 

”Karena ini penelitian
berbasis pelayanan, jadi saat ini diujinya secara umum, yaitu imunoglobin
G-nya. Jadi, ketika ini tinggi, walaupun gak spesifik untuk Covid, itu bisa
diberikan,” jelasnya.

Terkait syarat
pendonor, guru besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair)
Prof Dr dr David S. Perdanakusuma SpBP-RE (K) menyebutkan, pernah sakit
Covid-19 dan sembuh sekurang-kurangnya 14 hari, relatif muda, dan tidak punya
penyakit.

Sementara itu,
perempuan yang sudah pernah hamil harus dihindari. ”Perempuan yang sudah pernah
hamil mempunyai riwayat human leukocyte antigen. Dikhawatirkan bisa menyerang
pada perempuan tersebut. Jadi, disarankan laki-laki,” ujar ketua Majelis
Kolegium Kedokteran Indonesia itu.

Terapi pengobatan
Covid-19 dengan plasma konvalesen sudah memiliki protokol dan kelayakan etik.
Karena itu, kini uji coba terapi tersebut sudah bisa dilakukan di sejumlah
rumah sakit di Indonesia, bukan hanya di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.

”Harapannya, uji ini
dapat memberikan harapan bagi mereka yang sakit dengan menggunakan plasma dari
mereka yang sudah sembuh,” ujar Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala
BRIN Bambang Brodjonegoro.

Meski demikian, Bambang
tetap mendorong para peneliti untuk terus mengembangkan riset yang berkaitan
dengan terapi lain. Pasalnya, obat dan vaksin untuk Covid-19 belum ditemukan.
Salah satunya, penelitian yang berkaitan dengan sel punca atau stem cell.

Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) menerbitkan panduan terkait dengan terapi plasma konvalesen.
”Penanganan Covid-19 memerlukan inovasi dan riset dalam pengobatan dan
penanggulangannya. Pemanfaatan plasma konvalesen menjadi salah satu terobosan yang
menjanjikan untuk pengobatan Covid-19,” kata Kepala BPOM Penny Lukito. 

Menurut dia, BPOM
sebagai otoritas regulatori obat di Indonesia mendukung penuh upaya itu dengan
mengeluarkan dua buku pedoman. Yang pertama bertajuk  Pengawasan Penggunaan Plasma Konvalesen dan
Imunoglobulin Konsentrat dalam Terapi Covid-19. Yang kedua berjudul Petunjuk
Teknis Penjaminan Mutu Pengolahan Plasma Konvalesen Covid-19 yang Sesuai dengan
Good Manufacturing Practices (GMP) untuk Pengolahan Produk Darah di Unit
Transfusi Darah (UTD).

”Buku tersebut
diharapkan bermanfaat untuk dokter, petugas kesehatan pada umumnya, dan juga
pimpinan UTD sebagai sumber bahan baku plasma konvalesen, agar kualitas yang
dihasilkan aman dan memberi manfaat,” imbuh Penny. 

Guru besar Fakultas Kedokteran
(FK) Universitas Airlangga Prof Dr dr David S. Perdanakusuma SpBP-RE (K)
mengatakan, terapi plasma konvalesen mempunyai riwayat yang cukup bagus dalam
penanganan wabah sebelumnya. Misalnya virus ebola dan flu burung. Terapi itu
juga sudah mendapatkan rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Menurut dia, pada
dasarnya virus dapat dilawan antibodi masing-masing. Namun, tidak semua tubuh
merespons dengan baik dalam membangun sistem pertahanan. Karena itu, pada orang
yang pernah sakit, tubuhnya memiliki sistem pertahanan dari virus Covid-19.

Jadi, untuk terapi
konvalesen tersebut, diambil darah yang mengandung antibodi (imunoglobulin)
dari orang yang pernah sembuh untuk membantu pertahanan tubuh pasien Covid-19.
”Atas dasar logika tersebut, mestinya bisa. Orang yang sudah sembuh, di dalam
tubuhnya memiliki antibodi dari virus tersebut,” ujarnya. 

Terpopuler

Artikel Terbaru