26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Dari Pameran Cerita Kaca: Perjalanan Seni Lukis Kaca Indonesia

Pada dunia seni rupa kiwari, pameran yang menghadirkan karya seni lukis di kaca mungkin sangatlah jarang. Sebab, menggambar di kaca butuh keterampilan khusus perupanya, yakni “logika terbalik”, melawan stigma seni lawas, serta pasar yang sepi.

BERANJANGSANA ke pameran Cerita Kaca: Perjalanan Seni Lukis Kaca Indonesia di Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta, seperti mengunjungi ruang tamu rumah kakek nenek kita. Khususnya mereka yang berasal dari Jawa Tengah, Jogja, atau Jawa Timur.

Dalam pameran yang berlangsung mulai 4 Februari sampai 11 April itu, sekitar 300 lukisan kaca dipertontonkan kepada publik. Yang membuat takjub, meski sudah berumur lebih dari seabad, lukisan tersebut masih terawat dengan apik. ”Semua ini merupakan koleksi pribadi, keluarga, dan museum,” ujar kurator pameran Chabib Duta Hapsoro.

Misalnya, lukisan berjudul Arjuna, Srikandi, dan Gareng. Lukisan kaca itu bertarikh 1900 dengan nama perupanya anonim. ’’Memang kami kadang kesulitan melacak judul, dan pembuat karya juga tidak diketahui,” ucap Chabib.

Begitu pula dengan sepasang lukisan wayang wong Gatotkaca dan Duryudana. Lukisan yang nama pembuatnya tak diketahui itu dihasilkan dari cat minyak pada kaca. Yang diketahui pasti, tahun pembuatan lukisan pada 1930. Atau, 15 tahun lebih tua daripada kemerdekaan Indonesia.

Chabib menuturkan, lukisan kaca yang dipamerkan itu memang didominasi gambar atau karakter wayang. Wayang dan Jawa, seperti ditulis Ben Anderson dalam Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, adalah dua dunia yang sangat dekat. Wayang menjadi simbol dan hadir pada semua sendi kehidupan manusia Jawa.

Baca Juga :  Pameran Seni Rupa, Perwujudan Rasa Estetik Merangkai Keindahan Alam

Chabib melanjutkan, dalam lukisan kaca itu ada pengaruh dari seni rupa Eropa. ’’Seni ini kemudian merambah ke Tiongkok karena seorang kaisar terpesona dengan hadiah (lukisan kaca, Red) yang dibawa pedagang Eropa,” ujar Chabib.

Nah, soal pemilihan lukisan kaca oleh masyarakat Jawa pada awal abad ke-20 adalah perwujudan ’’seni substitusi’’. ’’Kalau beli wayang kulit asli, harganya sangat mahal. Dan juga wujud apresiasi kepada wayang dengan harga terjangkau, misal memakai cat besi yang dilukiskan pada kaca,” papar Chabib.

Di sisi lain, seni lukis kaca ternyata juga digunakan untuk memberikan kritik sosial. Sebagaimana lukisan kaca berjudul Obral Janji yang dibuat seniman bernama Maryono pada 2005. Lukisan tersebut menunjukkan punakawan yang berebut kursi yang rapuh. Di sampingnya berdiri bendera Merah Putih dan terlihat ada karakter Semar yang seperti sedang mengobral janjinya.

’’Lukisan ini seperti mewakili sesi punakawan yang hadir dalam wayang biasanya seperempat atau sepertiga dari total waktu pementasan. Sesi punakawan ini kan memberikan hiburan,” ujar Chabib.

Baca Juga :  Pameran Prolog: Adisatria Adiluhung, Menjembatani Seni dan Awam

Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta Suwarno Wisetrotomo berkata, lukisan kaca menjadi spesial karena menunjukkan keterampilan tradisional di kalangan masyarakat. ’’Tidak banyak yang tertarik mengembangkan (saat ini) karena memang memerlukan keterampilan khusus. Yakni, melukis dari belakang dengan nalar gambar terbalik,” terang Suwarno via WhatsApp.

Tema-tema lukisan kaca biasanya, antara lain, masjid, kaligrafi, wayang, pesugihan, klenik, setan, dan pemandangan, menurut Suwarno, merefleksikan kehidupan dan kedekatan hal-hal itu dengan masyarakat bawah.

’’Bagi kelompok masyarakat kelas menengah atau atas, (lukisan kaca) menjadi ’romantik’ atau setidaknya merasa memberi perhatian pada seniman rakyat atau lapisan bawah,” beber Suwarno.

Bagi masyarakat Jawa khususnya, memasang gambar kaca merupakan refleksi kedekatan dengan tema-tema itu menurut Suwarno. Memasang gambar kaligrafi tersebut menunjukkan spiritualitas. Memasang gambar wayang punakawan itu menjadi peringatan kehidupan sehari-hari.

’’Menarik diperhatikan adalah meski dipasang keluarga kelas menengah, pelukis kaca belum tentu terangkat nasibnya,” terang Suwarno.

Sementara itu, salah seorang pengunjung pameran Indah Karunia menuturkan, hadir di pameran tersebut membuka memorinya akan ruang tamu rumah eyangnya di salah satu kota di Jawa Tengah. ’’Ada rasa pengin nostalgia dengan datang ke sini. Dan itu terpenuhi,” sebut Indah. (idr/c12/dra/jpc)

Pada dunia seni rupa kiwari, pameran yang menghadirkan karya seni lukis di kaca mungkin sangatlah jarang. Sebab, menggambar di kaca butuh keterampilan khusus perupanya, yakni “logika terbalik”, melawan stigma seni lawas, serta pasar yang sepi.

BERANJANGSANA ke pameran Cerita Kaca: Perjalanan Seni Lukis Kaca Indonesia di Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta, seperti mengunjungi ruang tamu rumah kakek nenek kita. Khususnya mereka yang berasal dari Jawa Tengah, Jogja, atau Jawa Timur.

Dalam pameran yang berlangsung mulai 4 Februari sampai 11 April itu, sekitar 300 lukisan kaca dipertontonkan kepada publik. Yang membuat takjub, meski sudah berumur lebih dari seabad, lukisan tersebut masih terawat dengan apik. ”Semua ini merupakan koleksi pribadi, keluarga, dan museum,” ujar kurator pameran Chabib Duta Hapsoro.

Misalnya, lukisan berjudul Arjuna, Srikandi, dan Gareng. Lukisan kaca itu bertarikh 1900 dengan nama perupanya anonim. ’’Memang kami kadang kesulitan melacak judul, dan pembuat karya juga tidak diketahui,” ucap Chabib.

Begitu pula dengan sepasang lukisan wayang wong Gatotkaca dan Duryudana. Lukisan yang nama pembuatnya tak diketahui itu dihasilkan dari cat minyak pada kaca. Yang diketahui pasti, tahun pembuatan lukisan pada 1930. Atau, 15 tahun lebih tua daripada kemerdekaan Indonesia.

Chabib menuturkan, lukisan kaca yang dipamerkan itu memang didominasi gambar atau karakter wayang. Wayang dan Jawa, seperti ditulis Ben Anderson dalam Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, adalah dua dunia yang sangat dekat. Wayang menjadi simbol dan hadir pada semua sendi kehidupan manusia Jawa.

Baca Juga :  Pameran Seni Rupa, Perwujudan Rasa Estetik Merangkai Keindahan Alam

Chabib melanjutkan, dalam lukisan kaca itu ada pengaruh dari seni rupa Eropa. ’’Seni ini kemudian merambah ke Tiongkok karena seorang kaisar terpesona dengan hadiah (lukisan kaca, Red) yang dibawa pedagang Eropa,” ujar Chabib.

Nah, soal pemilihan lukisan kaca oleh masyarakat Jawa pada awal abad ke-20 adalah perwujudan ’’seni substitusi’’. ’’Kalau beli wayang kulit asli, harganya sangat mahal. Dan juga wujud apresiasi kepada wayang dengan harga terjangkau, misal memakai cat besi yang dilukiskan pada kaca,” papar Chabib.

Di sisi lain, seni lukis kaca ternyata juga digunakan untuk memberikan kritik sosial. Sebagaimana lukisan kaca berjudul Obral Janji yang dibuat seniman bernama Maryono pada 2005. Lukisan tersebut menunjukkan punakawan yang berebut kursi yang rapuh. Di sampingnya berdiri bendera Merah Putih dan terlihat ada karakter Semar yang seperti sedang mengobral janjinya.

’’Lukisan ini seperti mewakili sesi punakawan yang hadir dalam wayang biasanya seperempat atau sepertiga dari total waktu pementasan. Sesi punakawan ini kan memberikan hiburan,” ujar Chabib.

Baca Juga :  Pameran Prolog: Adisatria Adiluhung, Menjembatani Seni dan Awam

Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta Suwarno Wisetrotomo berkata, lukisan kaca menjadi spesial karena menunjukkan keterampilan tradisional di kalangan masyarakat. ’’Tidak banyak yang tertarik mengembangkan (saat ini) karena memang memerlukan keterampilan khusus. Yakni, melukis dari belakang dengan nalar gambar terbalik,” terang Suwarno via WhatsApp.

Tema-tema lukisan kaca biasanya, antara lain, masjid, kaligrafi, wayang, pesugihan, klenik, setan, dan pemandangan, menurut Suwarno, merefleksikan kehidupan dan kedekatan hal-hal itu dengan masyarakat bawah.

’’Bagi kelompok masyarakat kelas menengah atau atas, (lukisan kaca) menjadi ’romantik’ atau setidaknya merasa memberi perhatian pada seniman rakyat atau lapisan bawah,” beber Suwarno.

Bagi masyarakat Jawa khususnya, memasang gambar kaca merupakan refleksi kedekatan dengan tema-tema itu menurut Suwarno. Memasang gambar kaligrafi tersebut menunjukkan spiritualitas. Memasang gambar wayang punakawan itu menjadi peringatan kehidupan sehari-hari.

’’Menarik diperhatikan adalah meski dipasang keluarga kelas menengah, pelukis kaca belum tentu terangkat nasibnya,” terang Suwarno.

Sementara itu, salah seorang pengunjung pameran Indah Karunia menuturkan, hadir di pameran tersebut membuka memorinya akan ruang tamu rumah eyangnya di salah satu kota di Jawa Tengah. ’’Ada rasa pengin nostalgia dengan datang ke sini. Dan itu terpenuhi,” sebut Indah. (idr/c12/dra/jpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru