28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Seekor Orang Utan Bisa Membawa 6 hingga 20 Peluru Dalam Tubuhnya yang

Puluhan tahun
dihabiskannya di hutan-hutan Sumatera untuk melakukan penelitian dan
penyelamatan orang utan. Dari yang berhasil diselamatkan, ada yang kena tembak,
ada yang kehilangan mata, ada pula yang remuk dipukuli.

 

 

 

TAUFIQURRAHMAN,
Jakarta

 

IAN pernah bertahan dua
tahun di dalam hutan. Pernah pula nyaris seminggu tidak mandi, tidak berganti
baju, dan tidak makan.

’’Sibuk untuk mengamati
dan membuat paper,’’ kata Ian Singleton kepada Jawa Pos (Grup Kalteng Pos
/kaltengpos.co) Senin (19/10).  


Ian Singelton


Pada pertengahan 1990-an
itu, pria Inggris tersebut sedang menyelesaikan disertasi tentang wilayah
pergerakan orang utan sumatera di Taman Nasional Gunung Leuser. Dia
menghabiskan waktu bertahun-tahun menyusuri hutan rawa gambut di Rawa Singkil
di Aceh Selatan, membuntuti orang utan yang berayun dari pohon ke pohon sambil
membuat catatan.

Total 30 tahun hidupnya
dihabiskan untuk melakukan penelitian dan konservasi orang utan. Dedikasi yang
tak hanya membawanya meraih PhD di Universitas Kent, Inggris, pada 2000. Tapi
juga membuatnya dianugerahi gelar bergengsi Order of the British Empire (OBE)
dari Kerajaan Inggris.

OBE pertama
dianugerahkan di masa pemerintahan Raja Inggris George V pada 1917 untuk
mengapresiasi jasa para pejuang nonkombatan yang berjasa pada Perang Dunia I.
Saat ini OBE diberikan kepada warga kerajaan yang berkontribusi nyata terhadap
ilmu pengetahuan, seni, ataupun kegiatan amal.

Ian kembali ke
Indonesia pada 2001 dan mendirikan Sumatran Orangutan Conservation Programme
(SOCP) di bawah naungan Yayasan PanEco yang berbasis di Swiss dan bekerja sama
dengan partner local, yakni Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) serta Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

Dari situlah Ian
mendedikasikan seluruh waktunya untuk kegiatan pelestarian orang utan. Mulai penyelamatan,
karantina, reintroduksi, sampai preservasi habitat.

Ian juga termasuk di
antara kelompok ilmuwan yang pada 2017 memperkenalkan spesies orang utan
tapanuli yang menghuni rimbunan Hutan Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera
Utara.

Keberadaan orang utan,
baik orang utan sumatera (Pongo abelii) maupun orang utan tapanuli (Pongo
tapanuliensis), senantiasa berada dalam bayang-bayang berbagai ancaman. Mulai
perambahan habitat, konflik dengan warga lokal, hingga perburuan dan
penangkapan liar.

Baca Juga :  Waspada! Banjir Mulai Melanda Tiga Kabupaten di Kalteng

Orang utan sumatera
(Pongo abelii) berbeda dengan orang utan borneo (Pongo pygmaeus). Berbeda juga
dengan orang utan tapanuli (Pongo tapanulienses) yang habitatnya berada di
ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Ketiga spesies orang utan terdaftar
sebagai ’’sangat terancam punah’’ oleh International Conservation Union (IUCN)
dalam ’’daftar merah spesies terancam’’ (Ancrenaz et al 2016).

Orang utan tapanuli
punya problem khas berupa menurunnya kualitas genetik karena habitatnya yang
terisolasi dan terkepung aktivitas manusia. Saat ini tercatat tinggal 800 ekor
orang utan tapanuli yang hidup di Hutan Batang Toru. Dibandingkan dengan sepupu
mereka, orang utan sumatera, yang jumlahnya lebih baik, 13.400 ekor.

Dari 800 ekor orang
utan tapanuli itu, 500 hingga 600 ekor hidup di sebuah klaster besar Batang
Toru yang diberi nama blok barat. Sementara itu, 150-an ekor hidup di blok
timur. Blok barat dan timur itu dibelah oleh Jalan Raya
Tarutung–Serulla–Sipirok.

Kiri kanan jalan sudah
dikonversi menjadi lahan pertanian. Otomatis orang utan tidak bisa menyeberang
antar-dua wilayah tersebut. Menjadikan 150 ekor di blok timur terisolasi.

Karena terisolasi dan
jumlah individu rendah, risikonya terjadi perkawinan sedarah yang
akan
membuat kualitas genetik keturunan orang utan semakin buruk.

Semakin rendah kualitas
genetik, semakin rendah pula ketahanan sebuah spesies terhadap perubahan alam
dan ekosistem. ’’Sama seperti manusia lah ya. Tidak boleh kawin semarga. Nanti
menjadikan keturunannya tidak sempurna, berpenyakit, dan sebagainya,’’ jelas
Ian yang kini tinggal di kompleks Tasbi, Kota Medan, Sumatera Utara.

Yang lebih parah dari
blok timur adalah blok Sibual Buali yang hanya menyisakan 20 sampai 60
individu. ’’Menurut saya, blok Sibual Buali sudah terputus dari blok barat.
Karena sudah terisolasi, blok Sibual Buali ini bisa dibilang efektif punah,’’
jelas Ian.

 

Tapi, masih ada cara
menyelamatkan orang utan yang terjebak dalam klaster-klaster kecil itu. Yakni,
menciptakan koridor bagi orang utan agar bisa menyeberang antarblok.

Koridor tersebut berupa
wilayah hutan yang menyerupai habitat asli orang utan. Ditanami pohon-pohon
besar yang bisa memfasilitasi para orang utan untuk berayun dan menyeberang
antarblok.

Baca Juga :  Wujudkan Kota Palangka Raya Kota Maju, Rukun, dan Sejahtera untuk Semu

Pembangunan koridor
itulah yang sedang diperjuangkan aktivis dan ilmuan konservasi di Sumatera.
Termasuk Ian dan SOCP-nya. ’’Koridor harus luas dan alami. Jadi, kalau orang
utannya menoleh ke kiri atau ke kanan, tidak kelihatan ujungnya. Ya, 1 atau 2
kilometer,’’ jelasnya.

Rintangan yang dihadapi
para konservasionis itu adalah bagaimana mendapatkan lahan untuk jalur koridor
tersebut. Persoalan besar lainnya, masih banyak penduduk yang menjadikan orang
utan peliharaan maupun buruan liar.

Dalam satu kali operasi
penyelamatan, Ian mengaku seekor orang utan bisa membawa 6 hingga 20 peluru
dalam tubuhnya yang disasar pemburu. Yang lain masih bisa selamat meski
kehilangan mata ataupun remuk dipukuli para pemburunya.

’’Jalan masih panjang.
Dulu kan kami bekerja sendiri. Saat ini sudah banyak pihak yang sadar akan
keberadaan orang utan. And the world is watching,’’ katanya.

Duta Besar Kerajaan
Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins juga mengapresiasi
dedikasi Ian dalam pelestarian orang utan. Dia menyebut Ian telah memberikan
kontribusi yang sangat besar.

Setidaknya dalam tiga
hal. Pertama, meningkatkan pemahaman orang atas orang utan, termasuk penemuan
spesies orang utan baru. Kedua, konservasi dan pembangunan dua populasi liar
baru orang utan sumatera yang terancam punah. Dan, ketiga, dalam advokasi serta
memublikasikan perjuangan mereka secara jauh dan luas.

’’Bisa dibilang salah
satu dari pencapaian ini saja akan layak untuk tanda jasa OBE,’’ jelasnya.

Penganugerahan OBE
sedianya dilakukan Juni lalu. Namun, selain karena pandemi Covid-19 yang
menyulitkan seremoni, pihak kerajaan memilih untuk memprioritaskan penghargaan
kepada para pejuang garis depan yang menangani pandemi Covid-19.

Ian tentu sangat bangga
atas tanda jasa yang akan disematkan kepadanya di Istana Buckingham itu. OBE
akan tercantum di belakang namanya.

Meski demikian, Ian
menyebut tidak ada bentuk privilese lain yang bakal didapatkan. ’’Barangkali
kalau sudah ada gelar OBE di belakang nama, kalau misalnya menulis surat, akan
lebih dibaca. Itu saja sebenarnya hehehe,’’ katanya berkelakar.

Puluhan tahun
dihabiskannya di hutan-hutan Sumatera untuk melakukan penelitian dan
penyelamatan orang utan. Dari yang berhasil diselamatkan, ada yang kena tembak,
ada yang kehilangan mata, ada pula yang remuk dipukuli.

 

 

 

TAUFIQURRAHMAN,
Jakarta

 

IAN pernah bertahan dua
tahun di dalam hutan. Pernah pula nyaris seminggu tidak mandi, tidak berganti
baju, dan tidak makan.

’’Sibuk untuk mengamati
dan membuat paper,’’ kata Ian Singleton kepada Jawa Pos (Grup Kalteng Pos
/kaltengpos.co) Senin (19/10).  


Ian Singelton


Pada pertengahan 1990-an
itu, pria Inggris tersebut sedang menyelesaikan disertasi tentang wilayah
pergerakan orang utan sumatera di Taman Nasional Gunung Leuser. Dia
menghabiskan waktu bertahun-tahun menyusuri hutan rawa gambut di Rawa Singkil
di Aceh Selatan, membuntuti orang utan yang berayun dari pohon ke pohon sambil
membuat catatan.

Total 30 tahun hidupnya
dihabiskan untuk melakukan penelitian dan konservasi orang utan. Dedikasi yang
tak hanya membawanya meraih PhD di Universitas Kent, Inggris, pada 2000. Tapi
juga membuatnya dianugerahi gelar bergengsi Order of the British Empire (OBE)
dari Kerajaan Inggris.

OBE pertama
dianugerahkan di masa pemerintahan Raja Inggris George V pada 1917 untuk
mengapresiasi jasa para pejuang nonkombatan yang berjasa pada Perang Dunia I.
Saat ini OBE diberikan kepada warga kerajaan yang berkontribusi nyata terhadap
ilmu pengetahuan, seni, ataupun kegiatan amal.

Ian kembali ke
Indonesia pada 2001 dan mendirikan Sumatran Orangutan Conservation Programme
(SOCP) di bawah naungan Yayasan PanEco yang berbasis di Swiss dan bekerja sama
dengan partner local, yakni Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) serta Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

Dari situlah Ian
mendedikasikan seluruh waktunya untuk kegiatan pelestarian orang utan. Mulai penyelamatan,
karantina, reintroduksi, sampai preservasi habitat.

Ian juga termasuk di
antara kelompok ilmuwan yang pada 2017 memperkenalkan spesies orang utan
tapanuli yang menghuni rimbunan Hutan Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera
Utara.

Keberadaan orang utan,
baik orang utan sumatera (Pongo abelii) maupun orang utan tapanuli (Pongo
tapanuliensis), senantiasa berada dalam bayang-bayang berbagai ancaman. Mulai
perambahan habitat, konflik dengan warga lokal, hingga perburuan dan
penangkapan liar.

Baca Juga :  Waspada! Banjir Mulai Melanda Tiga Kabupaten di Kalteng

Orang utan sumatera
(Pongo abelii) berbeda dengan orang utan borneo (Pongo pygmaeus). Berbeda juga
dengan orang utan tapanuli (Pongo tapanulienses) yang habitatnya berada di
ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Ketiga spesies orang utan terdaftar
sebagai ’’sangat terancam punah’’ oleh International Conservation Union (IUCN)
dalam ’’daftar merah spesies terancam’’ (Ancrenaz et al 2016).

Orang utan tapanuli
punya problem khas berupa menurunnya kualitas genetik karena habitatnya yang
terisolasi dan terkepung aktivitas manusia. Saat ini tercatat tinggal 800 ekor
orang utan tapanuli yang hidup di Hutan Batang Toru. Dibandingkan dengan sepupu
mereka, orang utan sumatera, yang jumlahnya lebih baik, 13.400 ekor.

Dari 800 ekor orang
utan tapanuli itu, 500 hingga 600 ekor hidup di sebuah klaster besar Batang
Toru yang diberi nama blok barat. Sementara itu, 150-an ekor hidup di blok
timur. Blok barat dan timur itu dibelah oleh Jalan Raya
Tarutung–Serulla–Sipirok.

Kiri kanan jalan sudah
dikonversi menjadi lahan pertanian. Otomatis orang utan tidak bisa menyeberang
antar-dua wilayah tersebut. Menjadikan 150 ekor di blok timur terisolasi.

Karena terisolasi dan
jumlah individu rendah, risikonya terjadi perkawinan sedarah yang
akan
membuat kualitas genetik keturunan orang utan semakin buruk.

Semakin rendah kualitas
genetik, semakin rendah pula ketahanan sebuah spesies terhadap perubahan alam
dan ekosistem. ’’Sama seperti manusia lah ya. Tidak boleh kawin semarga. Nanti
menjadikan keturunannya tidak sempurna, berpenyakit, dan sebagainya,’’ jelas
Ian yang kini tinggal di kompleks Tasbi, Kota Medan, Sumatera Utara.

Yang lebih parah dari
blok timur adalah blok Sibual Buali yang hanya menyisakan 20 sampai 60
individu. ’’Menurut saya, blok Sibual Buali sudah terputus dari blok barat.
Karena sudah terisolasi, blok Sibual Buali ini bisa dibilang efektif punah,’’
jelas Ian.

 

Tapi, masih ada cara
menyelamatkan orang utan yang terjebak dalam klaster-klaster kecil itu. Yakni,
menciptakan koridor bagi orang utan agar bisa menyeberang antarblok.

Koridor tersebut berupa
wilayah hutan yang menyerupai habitat asli orang utan. Ditanami pohon-pohon
besar yang bisa memfasilitasi para orang utan untuk berayun dan menyeberang
antarblok.

Baca Juga :  Wujudkan Kota Palangka Raya Kota Maju, Rukun, dan Sejahtera untuk Semu

Pembangunan koridor
itulah yang sedang diperjuangkan aktivis dan ilmuan konservasi di Sumatera.
Termasuk Ian dan SOCP-nya. ’’Koridor harus luas dan alami. Jadi, kalau orang
utannya menoleh ke kiri atau ke kanan, tidak kelihatan ujungnya. Ya, 1 atau 2
kilometer,’’ jelasnya.

Rintangan yang dihadapi
para konservasionis itu adalah bagaimana mendapatkan lahan untuk jalur koridor
tersebut. Persoalan besar lainnya, masih banyak penduduk yang menjadikan orang
utan peliharaan maupun buruan liar.

Dalam satu kali operasi
penyelamatan, Ian mengaku seekor orang utan bisa membawa 6 hingga 20 peluru
dalam tubuhnya yang disasar pemburu. Yang lain masih bisa selamat meski
kehilangan mata ataupun remuk dipukuli para pemburunya.

’’Jalan masih panjang.
Dulu kan kami bekerja sendiri. Saat ini sudah banyak pihak yang sadar akan
keberadaan orang utan. And the world is watching,’’ katanya.

Duta Besar Kerajaan
Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins juga mengapresiasi
dedikasi Ian dalam pelestarian orang utan. Dia menyebut Ian telah memberikan
kontribusi yang sangat besar.

Setidaknya dalam tiga
hal. Pertama, meningkatkan pemahaman orang atas orang utan, termasuk penemuan
spesies orang utan baru. Kedua, konservasi dan pembangunan dua populasi liar
baru orang utan sumatera yang terancam punah. Dan, ketiga, dalam advokasi serta
memublikasikan perjuangan mereka secara jauh dan luas.

’’Bisa dibilang salah
satu dari pencapaian ini saja akan layak untuk tanda jasa OBE,’’ jelasnya.

Penganugerahan OBE
sedianya dilakukan Juni lalu. Namun, selain karena pandemi Covid-19 yang
menyulitkan seremoni, pihak kerajaan memilih untuk memprioritaskan penghargaan
kepada para pejuang garis depan yang menangani pandemi Covid-19.

Ian tentu sangat bangga
atas tanda jasa yang akan disematkan kepadanya di Istana Buckingham itu. OBE
akan tercantum di belakang namanya.

Meski demikian, Ian
menyebut tidak ada bentuk privilese lain yang bakal didapatkan. ’’Barangkali
kalau sudah ada gelar OBE di belakang nama, kalau misalnya menulis surat, akan
lebih dibaca. Itu saja sebenarnya hehehe,’’ katanya berkelakar.

Terpopuler

Artikel Terbaru