30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Teras: RUU Cipta Kerja Agar Tidak Mengabaikan Hak Masyarakat Adat

PALANGKA RAYA, KALTENGPOS.CO-
Dinamika pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja serta usulan di
dalamnya telah banyak menimbulkan kontroversi. Satu diantaranya adalah soal
ketentuan terkait UU Penataan Ruang yang dalam usulan perubahan mencabut
beberapa pasal terkait kewenangan penataan ruang di daerah. 

Hal ini pun menimbulkan banyak
kritik dari masyarakat. Adanya kesan sentralisasi kebijakan telah menimbulkan
kerisauan khususnya di masyarakat adat di Kalimantan Tengah. Hal ini tercermin
dari aspirasi yang muncul dalam reses Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia (DPD RI) yang digelar pada Jumat (7/8) lalu.

“Berdasarkan reses yang kami
gelar, terkait isu penataan ruang, elemen masyarakat adat meminta agar RUU
Cipta Kerja tidak mengabaikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya mereka
kelompok masyarakat. Untuk itu, kami berharap pemerintah secara serius
memperhatikan ini” Kata Ketua Komite I DPD RI Agustin Teras Narang.

Teras pun menekankan bahwa
pengakuan, perlindungan, hingga pemberdayaan masyarakat adat mesti menjadi
elemen penting RUU Cipta Kerja, terlebih menyangkut isu penataan ruang yang
akan berdampak pada kelompok ini. Masyarakat adat di daerah menurutnya sudah
berjuang puluhan tahun untuk mendapatkan haknya dan berharap memiliki UU
perlindungan sendiri. 

Baca Juga :  Jangan Ngeyel ! Wajib Gunakan Masker

Menurutnya, cukup wajar bahwa
kepentingan elemen masyarakat khususnya masyarakat adat ini mendapatkan
perhatian dalam RUU Cipta Kerja. Memberikan jaminan bahwa RUU ini tidak akan
merampas kepentingan komunal mereka yang memang sepatutnya diberdayakan serta
dilibatkan dalam pembangunan daerah maupun nasional. 

 

 

“Dalam hal RUU perlindungan
masyarakat adat belum menjadi UU, maka melalui RUU Cipta Kerja ini setidaknya
ada frasa pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan akan masa depan masyarakat
adat dalam isu penataan ruang”. Demikian harapan agar RUU ini tidak berat
sebelah, dan kelak justru dikhawatirkan merugikan rakyat,” ucapnya.

Teras juga sepakat dengab
penyerapan aspirasi dari masyarakat perlu dibuka lebih luas dan tidak semata
melibatkan elit politik nasional. Pendekatan bottom up menurutnya akan
menjadikan RUU Cipta Kerja bisa menampung beragam kepentingan menjadi
kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa. 

Sebelumnya, Rosenda Kasih selaku
Program Manager WWF Kalimantan Tengah turut memberikan pandangannya terkait isu
penataan ruang dari perspektif daerah Kalimantan Tengah. Pihaknya pun
mengingatkan perlunya sinkronisasi kepentingan dari pusat dan daerah dalam arah
pembangunan yang berkelanjutan. Secara obyektif pihaknya memandang obesitas
regulasi di Indonesia memang perlu diurai dan diselaraskan. Kendati demikian,
menurutnya dalam revisi UU Penataan Ruang lewat RUU Cipta Kerja yang memakai
metode Omnibus Law, penyerapan aspirasi publik dari kalangan masyarakat juga
mesti berjalan.

Baca Juga :  Jangan Panik! Dokter Amerika Yakin RI Dapat Meratakan Gelombang Covid

“Kami meminta agar dapat
dipastikan bahwa revisi ini dapat berjalan bottom up pak. Semua pihak terutama
masyarakat dan kelompok adat karena mereka yang tahu persoalan di lapangan”
ujarnya.

Sementara itu, Yanedi
Jagau pegiat Borneo Institute yang aktif melakukan advokasi terhadap masyarakat
adat di Kalimantan Tengah mengatakan setiap pembahasan UU akan memiliki dua
konsekuensi. Membawa maju sebuah bangsa atau sebaliknya menarik mundur. Untuk itu
terkait isu penataan ruang pihaknya berharap bahwa gagasan yang sudah sejak
lama muncul di Indonesia ini, dapat diselesaikan tanpa mengabaikan publik
terlebih masyarakat adat yang selama ini dilupakan. 

PALANGKA RAYA, KALTENGPOS.CO-
Dinamika pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja serta usulan di
dalamnya telah banyak menimbulkan kontroversi. Satu diantaranya adalah soal
ketentuan terkait UU Penataan Ruang yang dalam usulan perubahan mencabut
beberapa pasal terkait kewenangan penataan ruang di daerah. 

Hal ini pun menimbulkan banyak
kritik dari masyarakat. Adanya kesan sentralisasi kebijakan telah menimbulkan
kerisauan khususnya di masyarakat adat di Kalimantan Tengah. Hal ini tercermin
dari aspirasi yang muncul dalam reses Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia (DPD RI) yang digelar pada Jumat (7/8) lalu.

“Berdasarkan reses yang kami
gelar, terkait isu penataan ruang, elemen masyarakat adat meminta agar RUU
Cipta Kerja tidak mengabaikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya mereka
kelompok masyarakat. Untuk itu, kami berharap pemerintah secara serius
memperhatikan ini” Kata Ketua Komite I DPD RI Agustin Teras Narang.

Teras pun menekankan bahwa
pengakuan, perlindungan, hingga pemberdayaan masyarakat adat mesti menjadi
elemen penting RUU Cipta Kerja, terlebih menyangkut isu penataan ruang yang
akan berdampak pada kelompok ini. Masyarakat adat di daerah menurutnya sudah
berjuang puluhan tahun untuk mendapatkan haknya dan berharap memiliki UU
perlindungan sendiri. 

Baca Juga :  Jangan Ngeyel ! Wajib Gunakan Masker

Menurutnya, cukup wajar bahwa
kepentingan elemen masyarakat khususnya masyarakat adat ini mendapatkan
perhatian dalam RUU Cipta Kerja. Memberikan jaminan bahwa RUU ini tidak akan
merampas kepentingan komunal mereka yang memang sepatutnya diberdayakan serta
dilibatkan dalam pembangunan daerah maupun nasional. 

 

 

“Dalam hal RUU perlindungan
masyarakat adat belum menjadi UU, maka melalui RUU Cipta Kerja ini setidaknya
ada frasa pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan akan masa depan masyarakat
adat dalam isu penataan ruang”. Demikian harapan agar RUU ini tidak berat
sebelah, dan kelak justru dikhawatirkan merugikan rakyat,” ucapnya.

Teras juga sepakat dengab
penyerapan aspirasi dari masyarakat perlu dibuka lebih luas dan tidak semata
melibatkan elit politik nasional. Pendekatan bottom up menurutnya akan
menjadikan RUU Cipta Kerja bisa menampung beragam kepentingan menjadi
kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa. 

Sebelumnya, Rosenda Kasih selaku
Program Manager WWF Kalimantan Tengah turut memberikan pandangannya terkait isu
penataan ruang dari perspektif daerah Kalimantan Tengah. Pihaknya pun
mengingatkan perlunya sinkronisasi kepentingan dari pusat dan daerah dalam arah
pembangunan yang berkelanjutan. Secara obyektif pihaknya memandang obesitas
regulasi di Indonesia memang perlu diurai dan diselaraskan. Kendati demikian,
menurutnya dalam revisi UU Penataan Ruang lewat RUU Cipta Kerja yang memakai
metode Omnibus Law, penyerapan aspirasi publik dari kalangan masyarakat juga
mesti berjalan.

Baca Juga :  Jangan Panik! Dokter Amerika Yakin RI Dapat Meratakan Gelombang Covid

“Kami meminta agar dapat
dipastikan bahwa revisi ini dapat berjalan bottom up pak. Semua pihak terutama
masyarakat dan kelompok adat karena mereka yang tahu persoalan di lapangan”
ujarnya.

Sementara itu, Yanedi
Jagau pegiat Borneo Institute yang aktif melakukan advokasi terhadap masyarakat
adat di Kalimantan Tengah mengatakan setiap pembahasan UU akan memiliki dua
konsekuensi. Membawa maju sebuah bangsa atau sebaliknya menarik mundur. Untuk itu
terkait isu penataan ruang pihaknya berharap bahwa gagasan yang sudah sejak
lama muncul di Indonesia ini, dapat diselesaikan tanpa mengabaikan publik
terlebih masyarakat adat yang selama ini dilupakan. 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru