33.1 C
Jakarta
Friday, April 26, 2024

Tidak Setuju Wacana Menag, Wagub : Celana Cingkrang dan Cadar Tidak Me

PALANGKA RAYA– Baru
sepekan menjabat, Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi sudah bikin heboh.
Gara-garanya, dia melontarkan wacana pembatasan penggunaan cadar dan celana
cingkrang di instansi pemerintah, sipil maupun militer. Program pemberantasan
radikalisme tersebut berpotensi menimbulkan tumpang tinggi dengan tugas pokok
lembaga lain.

Presiden Joko Widodo
ikut mengomentari pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi yang sempat mewacanakan
pelarangan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintah. Jokowi menilai,
urusan berpakaian merupakan selera masing-masing orang.

“Kalau saya ya yang
namanya cara, cara berpakaian, cara berpakaian itu kan sebetulnya pilihan
pribadi-pribadi, pilihan personal atau Kebebasan pribadi setiap orang,” ujarnya
di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11).

Di Kalteng, Wakil
Gubernur Kalteng Habib H Said Ismail Bin Yahya menegaskan bahwa dirinya tidak
setuju dengan wacana pemberlakuan aturan pembatasan penggunaan cadar dan celana
cingkrang ala Menag. Bukan merupakan rana Kementerian Agama mengaturnya. Tetapi
merupakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Republik Indonesia (KemenPAN RB) dan Kemendagri.

Andai kata Menag ingin
memberantas paham radikal, maka silahkan diberlakukan untuk jajaran Kemenag
saja.

“Tetapi tidak semua ASN
yang kemudian dilarang untuk mengenakan celana cingkrang maupun tidak boleh
mengenakan cadar,”ungkap orang nomor dua di Kalteng itu.

Baca Juga :  PT KTC Coal Mining PHK 160 Karyawan Lokal

Menurut Habib, lebih
baik Kemenag mengedepankan pembinaan mental spiritual kepada seluruh ASN. Sebab
celana cingkrang maupun celana apapun atau cadar, tidak melambangkan
radikalisme.

“Tetapi yang
melambangkan radikalisme adalah gerakan-gerakannya. Jangan-jangan yang
mengenakan rok pendek juga telah terpapar paham radikalisme. Maka pola pikir
dan mental spiritual yang perlu diperbaiki,” sebutnya.

Dirinya tidak setuju
dengan hal tersebut. Tetapi jika hal itu diterapkan oleh Kemendagri maupun
Kemenpan RB dengan tujuan untuk keseragaman dalam hal ketatanegaraan, maka
sebagai orang yang bekerja di lembaga harus mentaati sesuai dengan aturan yang
berlaku.

“Namun menurut kami, hal
tersebut bukan merupakan hal yang sangat krusial dibahas untuk dijadikan aturan,”tuturnya
lagi.

Terpisah Pengurus
Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Kalteng HM Wahyudie F Dirun menjelaskan, bahwa dalam
Islam ada aturan hukum yang berdasarkan Alquran dan hadist.

Di dalam keduanya, tidak
menjelaskan soal cadar dan celana cingkrang. Setiap orang memiliki ulama atau
pemuka agama, bukan hanya NU. Sehingga mereka tunduk kepada ulamanya yang telah
membuat aturan.

Maka persolanan Menag
mengeluarkan surat untuk melarang itu, pihaknya tidak bisa membenarkan dan
tidak bisa menyalahkan juga. Karena mereka bercadar atau mengenakan celana
cingkrang itu juga mengikuti aturan tokoh ulama agama.

Baca Juga :  Rapat dengan Empat Menteri, Gubernur Kalteng Bahas Persiapan Kedatanga

“Kita menghargai upaya
pemerintah untuk memberantas paham yang telah terpapar radikalisme yang sedang
berkembang di Indonesia. Dan Setahu saya, mereka yang selama ini terpapar paham
radikal itu adalah yang tampilannya bercelana cingkrang dan
bercadar,”ungkapnya.

Sehingga NU tidak
membenarkan dan menyalahkan upaya dari Menag terkait dengan wacana
memberlakukan untuk tidak mengenakan cadar dan celana cingkrang untuk instansi
pemerintahan, sipil maupun militer.

“Karena semua memiliki  ijtihad
masing-masing,” tutupnya.

Senada disampaikan Ketua
PW Muhammadiyah Kalteng Ahmad Syar`i. Dalam Islam ada dua versi di mana
ada yang boleh bercadar dan tidak boleh bercadar. Pandangan dalam umat Islam,
dua-duanya memiliki dasar.

Namun, soal wacana dari
Menag, maka perlu diketahui aturan main yang berlaku. Jika belum ada, maka
perlu dibicarakan dengan baik dan dikaji lagi secara mendalam.menag seharusnya mengajak
majelis ulama dan tokoh umat Islam lainnya untuk membicarakan tersebut.

“Sehingga tidak
menimbulkan masalah dikemudian hari. Sehingga perlu dibicarakan secara baik
sejak awal. Ini cukup riskan karena soal agama. Dan yang berkompetensi yang
melakukan kajian itu adalah majelis ulama dan ormas-ormas keagamaan yang ada,” tuturnya.(nue/jpg/ram)

PALANGKA RAYA– Baru
sepekan menjabat, Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi sudah bikin heboh.
Gara-garanya, dia melontarkan wacana pembatasan penggunaan cadar dan celana
cingkrang di instansi pemerintah, sipil maupun militer. Program pemberantasan
radikalisme tersebut berpotensi menimbulkan tumpang tinggi dengan tugas pokok
lembaga lain.

Presiden Joko Widodo
ikut mengomentari pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi yang sempat mewacanakan
pelarangan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintah. Jokowi menilai,
urusan berpakaian merupakan selera masing-masing orang.

“Kalau saya ya yang
namanya cara, cara berpakaian, cara berpakaian itu kan sebetulnya pilihan
pribadi-pribadi, pilihan personal atau Kebebasan pribadi setiap orang,” ujarnya
di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11).

Di Kalteng, Wakil
Gubernur Kalteng Habib H Said Ismail Bin Yahya menegaskan bahwa dirinya tidak
setuju dengan wacana pemberlakuan aturan pembatasan penggunaan cadar dan celana
cingkrang ala Menag. Bukan merupakan rana Kementerian Agama mengaturnya. Tetapi
merupakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Republik Indonesia (KemenPAN RB) dan Kemendagri.

Andai kata Menag ingin
memberantas paham radikal, maka silahkan diberlakukan untuk jajaran Kemenag
saja.

“Tetapi tidak semua ASN
yang kemudian dilarang untuk mengenakan celana cingkrang maupun tidak boleh
mengenakan cadar,”ungkap orang nomor dua di Kalteng itu.

Baca Juga :  PT KTC Coal Mining PHK 160 Karyawan Lokal

Menurut Habib, lebih
baik Kemenag mengedepankan pembinaan mental spiritual kepada seluruh ASN. Sebab
celana cingkrang maupun celana apapun atau cadar, tidak melambangkan
radikalisme.

“Tetapi yang
melambangkan radikalisme adalah gerakan-gerakannya. Jangan-jangan yang
mengenakan rok pendek juga telah terpapar paham radikalisme. Maka pola pikir
dan mental spiritual yang perlu diperbaiki,” sebutnya.

Dirinya tidak setuju
dengan hal tersebut. Tetapi jika hal itu diterapkan oleh Kemendagri maupun
Kemenpan RB dengan tujuan untuk keseragaman dalam hal ketatanegaraan, maka
sebagai orang yang bekerja di lembaga harus mentaati sesuai dengan aturan yang
berlaku.

“Namun menurut kami, hal
tersebut bukan merupakan hal yang sangat krusial dibahas untuk dijadikan aturan,”tuturnya
lagi.

Terpisah Pengurus
Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Kalteng HM Wahyudie F Dirun menjelaskan, bahwa dalam
Islam ada aturan hukum yang berdasarkan Alquran dan hadist.

Di dalam keduanya, tidak
menjelaskan soal cadar dan celana cingkrang. Setiap orang memiliki ulama atau
pemuka agama, bukan hanya NU. Sehingga mereka tunduk kepada ulamanya yang telah
membuat aturan.

Maka persolanan Menag
mengeluarkan surat untuk melarang itu, pihaknya tidak bisa membenarkan dan
tidak bisa menyalahkan juga. Karena mereka bercadar atau mengenakan celana
cingkrang itu juga mengikuti aturan tokoh ulama agama.

Baca Juga :  Rapat dengan Empat Menteri, Gubernur Kalteng Bahas Persiapan Kedatanga

“Kita menghargai upaya
pemerintah untuk memberantas paham yang telah terpapar radikalisme yang sedang
berkembang di Indonesia. Dan Setahu saya, mereka yang selama ini terpapar paham
radikal itu adalah yang tampilannya bercelana cingkrang dan
bercadar,”ungkapnya.

Sehingga NU tidak
membenarkan dan menyalahkan upaya dari Menag terkait dengan wacana
memberlakukan untuk tidak mengenakan cadar dan celana cingkrang untuk instansi
pemerintahan, sipil maupun militer.

“Karena semua memiliki  ijtihad
masing-masing,” tutupnya.

Senada disampaikan Ketua
PW Muhammadiyah Kalteng Ahmad Syar`i. Dalam Islam ada dua versi di mana
ada yang boleh bercadar dan tidak boleh bercadar. Pandangan dalam umat Islam,
dua-duanya memiliki dasar.

Namun, soal wacana dari
Menag, maka perlu diketahui aturan main yang berlaku. Jika belum ada, maka
perlu dibicarakan dengan baik dan dikaji lagi secara mendalam.menag seharusnya mengajak
majelis ulama dan tokoh umat Islam lainnya untuk membicarakan tersebut.

“Sehingga tidak
menimbulkan masalah dikemudian hari. Sehingga perlu dibicarakan secara baik
sejak awal. Ini cukup riskan karena soal agama. Dan yang berkompetensi yang
melakukan kajian itu adalah majelis ulama dan ormas-ormas keagamaan yang ada,” tuturnya.(nue/jpg/ram)

Terpopuler

Artikel Terbaru