26.3 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

KPU Kembali Masukan Syarat Eks Koruptor Dilarang Ikut Pilkada

JAKARTA – Pemilihan Kepala Daerah Serentak (Pilkada) pada 2020
mendatang diharapkan tidak ada mantan napi koruptor yang maju sebagai peserta
pemilu. Sejumlah kalangan mengkhawatirkan, jika aturan yang melarang mantan
napi koruptor belum jelas, hal ini bisa dijadikan celah bagi peserta di daerah.

Untuk mengantisipasi hal
tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan memasukkan syarat mantan koruptor
tidak diperkenankan maju dalam Peraturan KPU. Komisioner KPU Wahyu Setiawan
menyatakan lembaganya berkomitmen menciptakan pilkada dan kepala daerah yang bersih
dan memiliki kualitas.

“Kami sering sekali mendapat
masukkan dari masyarakat di daerah dimana mereka menginginkan kepala daerah
yang berkualitas dan bukan mantan koruptor. KPU tetap akan mencantumkan syarat
nama mantan napi korupsi dilarang maju dalam Pilkada 2020,” tegas Wahyu di
gedung KPU RI, Jakarta, Selasa (24/9).

Soal aturan mantan koruptor
dilarang maju dalam Pemilu pernah ditolak MK, Wahyu bersikeras tetap
mencantumkan aturan tersebut. Tentu sambil membangun koordinasi dengan
pemerintah dan DPR. Tujuannya agar hal tersebut didukung masuk dalam PKPU di
Pilkada mendatang. “Memang pernah hal ini ditolak MK. Namun KPU tetap
memasukkan hal tersebut dalam PKPU,” imbuhnya.

Baca Juga :  Ingin Maju di Pilgub dan Pilbup, Mau Pakai Perahu PDIP? Silakan Mendaf

Sementara itu, Ketua KPU RI,
Arief Budiman mengatakan jika pihaknya akan mengusulkan beberapa penyesuaian.
“Yang banyak didiskusikan itu dua. Pertama tentang pencalonan mantan terpidana
korupsi yang kami usulkan dilarang. Yang kedua, KPU akan memasukkan regulasi
soal rekam data KTP-el bagi para pemilih. Masyarakat bisa mendapatkan hak
suaranya jika sudah merekam data untuk KTP-el. Jadi dua PKPU ini yang akan kami
revisi,” kata Arief.

Hal senada juga disampaikan Ketua
Bawaslu RI, Abhan. Ia menyebut harus ada revisi dalam aturan Pilkada 2020.
Termasuk larangan pencalonan bagi koruptor. “Pertama bahwa dalam perspektif
kami ada beberapa hal yang harus direvisi. Pertama pencalonan koruptor, ini
harus diatur tegas Undang-Undang,” jelas Abhan.

Dia mengaku sudah bertemu dengan
Presiden Joko Widodo untuk membahas revisi beberapa Pasal Undang-Undang
Pilkada. Bawaslu telah menemui DPR dan meminta segera merealisasikan revisi
tersebut. “Beberapa minggu yang lalu sudah diskusi dengan presiden, kami
menyampaikan naskah akademik untuk revisi beberapa pasal. Kemudian kami sudah
berkoordinasi dengan DPR untuk segera mungkin mengubah beberapa pasal di
Undang-Undang Pilkada,” tandasnya.

Baca Juga :  Biar Pemerintahan Imbang, Pimpinan MPR Baiknya dari Oposisi

Terpisah, Direktur Eksekutif
Perludem, Titi Anggraini mengusulkan dilakukan revisi terbatas Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang pilkada. Sejumlah poin yang diusulkan itu menjadi
dasar hukum bagi KPU dalam penyelenggaraan pilkada 2020.

Revisi terbatas Undang-undang
Pilkada tersebut sebagai landasan konsistensi pengaturan pengawasan pemilu.
Kemudian untuk melegitimasi pemberlakuan rekapitulasi suara elektronik yang
dicanangkan KPU. “Terakhir untuk mengangkat derajat pengaturan pencalonan
mantan napi korupsi di dalam level undang-undang,” jelas Titi.

Dia menjelaskan, putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) pada 2009 tentang pengaturan pemberlakuan masa jeda setelah eks
napi korupsi keluar masa hukumannya dengan waktu pencalonan dapat menjadi
pertimbangan. Menurutnya, perlu ada aturan pelarangan pencalonan eks koruptor
secara tegas lewat Undang-undang. (khf/fin/rh/kpc)

JAKARTA – Pemilihan Kepala Daerah Serentak (Pilkada) pada 2020
mendatang diharapkan tidak ada mantan napi koruptor yang maju sebagai peserta
pemilu. Sejumlah kalangan mengkhawatirkan, jika aturan yang melarang mantan
napi koruptor belum jelas, hal ini bisa dijadikan celah bagi peserta di daerah.

Untuk mengantisipasi hal
tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan memasukkan syarat mantan koruptor
tidak diperkenankan maju dalam Peraturan KPU. Komisioner KPU Wahyu Setiawan
menyatakan lembaganya berkomitmen menciptakan pilkada dan kepala daerah yang bersih
dan memiliki kualitas.

“Kami sering sekali mendapat
masukkan dari masyarakat di daerah dimana mereka menginginkan kepala daerah
yang berkualitas dan bukan mantan koruptor. KPU tetap akan mencantumkan syarat
nama mantan napi korupsi dilarang maju dalam Pilkada 2020,” tegas Wahyu di
gedung KPU RI, Jakarta, Selasa (24/9).

Soal aturan mantan koruptor
dilarang maju dalam Pemilu pernah ditolak MK, Wahyu bersikeras tetap
mencantumkan aturan tersebut. Tentu sambil membangun koordinasi dengan
pemerintah dan DPR. Tujuannya agar hal tersebut didukung masuk dalam PKPU di
Pilkada mendatang. “Memang pernah hal ini ditolak MK. Namun KPU tetap
memasukkan hal tersebut dalam PKPU,” imbuhnya.

Baca Juga :  Ingin Maju di Pilgub dan Pilbup, Mau Pakai Perahu PDIP? Silakan Mendaf

Sementara itu, Ketua KPU RI,
Arief Budiman mengatakan jika pihaknya akan mengusulkan beberapa penyesuaian.
“Yang banyak didiskusikan itu dua. Pertama tentang pencalonan mantan terpidana
korupsi yang kami usulkan dilarang. Yang kedua, KPU akan memasukkan regulasi
soal rekam data KTP-el bagi para pemilih. Masyarakat bisa mendapatkan hak
suaranya jika sudah merekam data untuk KTP-el. Jadi dua PKPU ini yang akan kami
revisi,” kata Arief.

Hal senada juga disampaikan Ketua
Bawaslu RI, Abhan. Ia menyebut harus ada revisi dalam aturan Pilkada 2020.
Termasuk larangan pencalonan bagi koruptor. “Pertama bahwa dalam perspektif
kami ada beberapa hal yang harus direvisi. Pertama pencalonan koruptor, ini
harus diatur tegas Undang-Undang,” jelas Abhan.

Dia mengaku sudah bertemu dengan
Presiden Joko Widodo untuk membahas revisi beberapa Pasal Undang-Undang
Pilkada. Bawaslu telah menemui DPR dan meminta segera merealisasikan revisi
tersebut. “Beberapa minggu yang lalu sudah diskusi dengan presiden, kami
menyampaikan naskah akademik untuk revisi beberapa pasal. Kemudian kami sudah
berkoordinasi dengan DPR untuk segera mungkin mengubah beberapa pasal di
Undang-Undang Pilkada,” tandasnya.

Baca Juga :  Biar Pemerintahan Imbang, Pimpinan MPR Baiknya dari Oposisi

Terpisah, Direktur Eksekutif
Perludem, Titi Anggraini mengusulkan dilakukan revisi terbatas Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang pilkada. Sejumlah poin yang diusulkan itu menjadi
dasar hukum bagi KPU dalam penyelenggaraan pilkada 2020.

Revisi terbatas Undang-undang
Pilkada tersebut sebagai landasan konsistensi pengaturan pengawasan pemilu.
Kemudian untuk melegitimasi pemberlakuan rekapitulasi suara elektronik yang
dicanangkan KPU. “Terakhir untuk mengangkat derajat pengaturan pencalonan
mantan napi korupsi di dalam level undang-undang,” jelas Titi.

Dia menjelaskan, putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) pada 2009 tentang pengaturan pemberlakuan masa jeda setelah eks
napi korupsi keluar masa hukumannya dengan waktu pencalonan dapat menjadi
pertimbangan. Menurutnya, perlu ada aturan pelarangan pencalonan eks koruptor
secara tegas lewat Undang-undang. (khf/fin/rh/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru