30.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Pro Kontra Keinginan Menteri Keuangan Kenakan Cukai Plastik

JAKARTA – Rencana pengenaan cukai plastik oleh Kementerian Keuangan
(Kemenkeu) menuai pro dan kontra di masyarakat, bahkan saudaranya sendiri yakni
Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Alasan pengenaan cukai plastik
ini demi menjaga lingkungan dari sampah plastik. Sebaliknya bisa mematikan
kalangan industri.

Cukai plastik akan dikenakan
sebesar Rp30 ribu per kilogram (kg) atau Rp200 per lembar. Sampai saat ini,
usulan pengenaan cukai plastik oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani masih
digodok di DPR.

Salah satu produsen plastik,
Sekretaris Jenderal Inaplas, Fajar Budiyono meminta pemerintah sebelum
memutuskan pengenaan cukai sebaiknya melihat data-data terbaru. Sehingga
keputusan nanti bisa saling menguntungkan.

“Tapi dasarnya penerapan ini kan
masih pakai data lama ya, di situ kan masih dibagi kantong plastik
konvensional, degradable, dan plastik biodegradable,” ujar Fajar di Jakarta,
kemarin (10/7).

Selain itu, pemerintah juga mesti
memikirkan nasib para pemulung kantong plastik yang jumlahnya sekitar jutaan
orang. Mereka mencari nafkah dari mengumpulkan kantong plastik.

“Pemulung harus juga dipikirkan,
diberdayakan, supaya menuju pengolahan sampah berbasis circular economy,” ujar
dia.

Direktur Teknis dan Fasilitas
Cukai Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto mengatakan besaran pengenaan cukai kantong
plastik bervariasi terganung tingkat keramahan lingkungan.

“Pengendalian kantong plastik
dengan mekanisme cukai lebih tepat karena besaran tarif cukai bisa dikenakan
berdasarkan karakter barangnya,” katanya

“Semakin ramah lingkungan,
tarifnya lebih rendah, kalau tidak ramah lingkungan akan kena tarif normal,”
tambah dia menjelaskan.

Baca Juga :  BPJAMSOSTEK Cabang Barito Utara Serahkan Santunan Kematian Anggota Koperasi

Terpisah, Ketua Harian Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menerangkan, jika merujuk pada
dampak eksternalitas negatif yang ditimbulkan, baik bagi penggunanya, orang
lain dan lingkungan, maka plastik pantas dikenai cukai.

Lanjut Tulus, menurut data Bank
Dunia tahun 2018, sekitar 300 juta ton plastik diproduksi setiap tahunnya dan
saat ini sekitar 150 juta ton plastik mencemari lautan dunia. Dan tragisnya,
Indonesia menjadi negara pencemar kedua terbesar di dunia setelah Cina.
Diperkirakan Indonesia menyumbang 0,48-1,29 juta ton metrik sampah plastik per
tahun ke lautan.

“Oleh karenanya, jika tidak
ditanggulangi secara secara menyeluruh, sampah plastik akan mengancam
keberlanjutan ekosistem laut yang semakin parah, dan merugikan kita semua,”
kata Tulus kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (10/7).

Namun demikian, kata Tulus,
pengenaan cukai bukanlah satu satunya cara untuk menekan dan mengendalikan
penggunaan dan konsumsi plastik.

“Tanpa disinergikan dengan
kebijakan lain, konsumsi plastik tetap dominan, sekalipun telah dikenai cukai
yang tinggi pula,” ucap Tulus.

Jika penerapan cukai jadi
diberlakukan, ada tiga faktor yang tidak boleh diabaikan oleh pemerintah, yakni
pertama, Kemenkeu harus menjamin bahwa tujuan utama penerapan cukai plastik
bukanlah instrumen untuk menggali pendapatan negara.

Kedua, penerapan cukai plastik
hanyalah masa transisi, dan nantinya produsen plastik harus mampu (wajib)
membuat produk plastik yang benar benar bisa diurai secara cepat oleh
lingkungan, apa pun produk plastiknya. Setelah itu tercapai, cukai plastik
harus dihentikan.

Baca Juga :  Mulai 1 Januari 2021, Meterai 3 Ribu dan 6 Ribu Sudah Tak Berlaku

Ketiga, dana yang diperoleh dari
cukai plastik, sebagian (10 persen) harus dikembalikan untuk upaya promotif dan
preventif, misalnya secara edukasi dan pemberdayaan agar masyarakat mempunyai
kesadaran untuk mengurangi konsumsi plastik.

Tak lupa, YLKI juga mendorong
pemerintah, lintas kementerian dan lembaga, untuk secara serius menanggulangi
masalah plastik, dari hulu hingga hilir.

“Dari hulu seharusnya pemerintah
mewajibkan adanya produk plastik yang mengantongi SNI. Dan dari sisi hilir
pemerintah harus mengintegrasikan kebijakan pengendalian konsumsi plastik oleh
konsumen, termasuk masalah plastik berbayar yang saat ini belum jelas arah dan
regulasinya,” kata Tulus.

YLKI juga mendesak untuk kalangan
pelaku usaha/produsen untuk bertanggung jawab pada sampah plastik dari produk
yang dijualnya untuk ditarik dan dikelola kembali dan meminimalisir cemaran
yang dihasilkan, sebagaimana prinsip Extended Producer Responsibility (EPR)
yang dimandatkan oleh UU tentang Lingkungan Hidup dan UU tentang Persampahan.
Hal ini belum terlihat sama sekali.

Dan, YLKI juga meminta Kemenperin
untuk tidak secara telanjang menjadi corong pelaku usaha, dengan menolak wacana
cukai plastik, tanpa argumen yang rasional.

“Jelas peran sektor industri
tidak bisa dinegasikan, apalagi dimatikan. Tetapi sektor industri harus kreatif
untuk memproduksi plastik yang tidak merusak lingkungan, dan bahkan mempunyai
tanggungjawab menyelamatkan lingkungan. Jangan malah makin destruktif terhadap
lingkungan,” pungkas Tulus. (din/fin/kpc)

JAKARTA – Rencana pengenaan cukai plastik oleh Kementerian Keuangan
(Kemenkeu) menuai pro dan kontra di masyarakat, bahkan saudaranya sendiri yakni
Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Alasan pengenaan cukai plastik
ini demi menjaga lingkungan dari sampah plastik. Sebaliknya bisa mematikan
kalangan industri.

Cukai plastik akan dikenakan
sebesar Rp30 ribu per kilogram (kg) atau Rp200 per lembar. Sampai saat ini,
usulan pengenaan cukai plastik oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani masih
digodok di DPR.

Salah satu produsen plastik,
Sekretaris Jenderal Inaplas, Fajar Budiyono meminta pemerintah sebelum
memutuskan pengenaan cukai sebaiknya melihat data-data terbaru. Sehingga
keputusan nanti bisa saling menguntungkan.

“Tapi dasarnya penerapan ini kan
masih pakai data lama ya, di situ kan masih dibagi kantong plastik
konvensional, degradable, dan plastik biodegradable,” ujar Fajar di Jakarta,
kemarin (10/7).

Selain itu, pemerintah juga mesti
memikirkan nasib para pemulung kantong plastik yang jumlahnya sekitar jutaan
orang. Mereka mencari nafkah dari mengumpulkan kantong plastik.

“Pemulung harus juga dipikirkan,
diberdayakan, supaya menuju pengolahan sampah berbasis circular economy,” ujar
dia.

Direktur Teknis dan Fasilitas
Cukai Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto mengatakan besaran pengenaan cukai kantong
plastik bervariasi terganung tingkat keramahan lingkungan.

“Pengendalian kantong plastik
dengan mekanisme cukai lebih tepat karena besaran tarif cukai bisa dikenakan
berdasarkan karakter barangnya,” katanya

“Semakin ramah lingkungan,
tarifnya lebih rendah, kalau tidak ramah lingkungan akan kena tarif normal,”
tambah dia menjelaskan.

Baca Juga :  BPJAMSOSTEK Cabang Barito Utara Serahkan Santunan Kematian Anggota Koperasi

Terpisah, Ketua Harian Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menerangkan, jika merujuk pada
dampak eksternalitas negatif yang ditimbulkan, baik bagi penggunanya, orang
lain dan lingkungan, maka plastik pantas dikenai cukai.

Lanjut Tulus, menurut data Bank
Dunia tahun 2018, sekitar 300 juta ton plastik diproduksi setiap tahunnya dan
saat ini sekitar 150 juta ton plastik mencemari lautan dunia. Dan tragisnya,
Indonesia menjadi negara pencemar kedua terbesar di dunia setelah Cina.
Diperkirakan Indonesia menyumbang 0,48-1,29 juta ton metrik sampah plastik per
tahun ke lautan.

“Oleh karenanya, jika tidak
ditanggulangi secara secara menyeluruh, sampah plastik akan mengancam
keberlanjutan ekosistem laut yang semakin parah, dan merugikan kita semua,”
kata Tulus kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (10/7).

Namun demikian, kata Tulus,
pengenaan cukai bukanlah satu satunya cara untuk menekan dan mengendalikan
penggunaan dan konsumsi plastik.

“Tanpa disinergikan dengan
kebijakan lain, konsumsi plastik tetap dominan, sekalipun telah dikenai cukai
yang tinggi pula,” ucap Tulus.

Jika penerapan cukai jadi
diberlakukan, ada tiga faktor yang tidak boleh diabaikan oleh pemerintah, yakni
pertama, Kemenkeu harus menjamin bahwa tujuan utama penerapan cukai plastik
bukanlah instrumen untuk menggali pendapatan negara.

Kedua, penerapan cukai plastik
hanyalah masa transisi, dan nantinya produsen plastik harus mampu (wajib)
membuat produk plastik yang benar benar bisa diurai secara cepat oleh
lingkungan, apa pun produk plastiknya. Setelah itu tercapai, cukai plastik
harus dihentikan.

Baca Juga :  Mulai 1 Januari 2021, Meterai 3 Ribu dan 6 Ribu Sudah Tak Berlaku

Ketiga, dana yang diperoleh dari
cukai plastik, sebagian (10 persen) harus dikembalikan untuk upaya promotif dan
preventif, misalnya secara edukasi dan pemberdayaan agar masyarakat mempunyai
kesadaran untuk mengurangi konsumsi plastik.

Tak lupa, YLKI juga mendorong
pemerintah, lintas kementerian dan lembaga, untuk secara serius menanggulangi
masalah plastik, dari hulu hingga hilir.

“Dari hulu seharusnya pemerintah
mewajibkan adanya produk plastik yang mengantongi SNI. Dan dari sisi hilir
pemerintah harus mengintegrasikan kebijakan pengendalian konsumsi plastik oleh
konsumen, termasuk masalah plastik berbayar yang saat ini belum jelas arah dan
regulasinya,” kata Tulus.

YLKI juga mendesak untuk kalangan
pelaku usaha/produsen untuk bertanggung jawab pada sampah plastik dari produk
yang dijualnya untuk ditarik dan dikelola kembali dan meminimalisir cemaran
yang dihasilkan, sebagaimana prinsip Extended Producer Responsibility (EPR)
yang dimandatkan oleh UU tentang Lingkungan Hidup dan UU tentang Persampahan.
Hal ini belum terlihat sama sekali.

Dan, YLKI juga meminta Kemenperin
untuk tidak secara telanjang menjadi corong pelaku usaha, dengan menolak wacana
cukai plastik, tanpa argumen yang rasional.

“Jelas peran sektor industri
tidak bisa dinegasikan, apalagi dimatikan. Tetapi sektor industri harus kreatif
untuk memproduksi plastik yang tidak merusak lingkungan, dan bahkan mempunyai
tanggungjawab menyelamatkan lingkungan. Jangan malah makin destruktif terhadap
lingkungan,” pungkas Tulus. (din/fin/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru