28.2 C
Jakarta
Friday, April 26, 2024

Indonesia Ternyata Konsumsi BBM Berkualitas Rendah

JAKARTA – Indonesia masih jauh tertinggal dari
negara lain dalam hal pemanfaatan bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan.
Bagaimana tidak, Indonesia konsumsi BBM berkualitas rendah dibandingkan negara
lain.

Negara lain sudah menerapkan Euro 3 dan Euro 4, sementara Indonesia belum
lolos dengan Euro 2 karena melanggengkan BBM RON rendah. Dan adopsi biofuel
baik B30 dan BE10 sebagai opsi meningkatkan supply kiranya belum benar-benar efektif
melepas jerat impor BBM.

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad
Safrudin mengatakan buruknya kualitas BBM telah berdampak pada pencemaran udara
dan emisi rumah kaca di berbagai kota berikut dampak kesehatan, ekonomi dan sosial
serta ketahanan nasional.

“Selain itu buruknya kualitas BBM ini telah menghambat adopsi teknologi
advance yang sesunguhnya mampu menekan konsumsi BBM baik dalam bentuk,” kata Ahmad
di Jakarta, kemarin (1/1).

Sampai dengan akhir Juli ini, data AirVisual menunjukkan bahwa Air Quality
Index (AQI) Jakarta mencapai 184 atau tidak sehat (151-200) dimana Jakarta
dinobatkan sebagai kota dengan polusi terparah. Polusi udara merupakan ancaman
kesehatan di banyak negara.

Dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran redpirasi (paru) Agus Dwi
Susanto mengungkapkan bahwa tingginya jumlah kendaraan bermotor di perkotaan
menyebabkan masyarakatnya memiliki konsekuensi terpapar polutan berbahaya, dari
gas emisi kendaraan maupun partikel debu di jalanan. “Gas emisi kendaraan
bermotor merupakan salah satu sumber polusi udara tertinggi di Jakarta.
Konsekuensi inilah yang menyebabkan masyarakat kota Jakarta dan perkotaan
lainnya perlu melakukan upaya pencegahan yang tepat dari dampak kualitas udara
yang buruk,” jelasnya.

Low Vehicle Emission Standard maupun Low Cabon Emissin Standard atau Fuel
Economy Standard. Selain itu, pengalaman di berbagai negara penerapan BBM
betkualitas tinggi berikut CBA yang dilakukan di Indonesia mampu memberikan
manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan hidup (daya saing industri, kesehatan
masyarakat, penghematan BBM).

Namun demikian, kiranya masih ada keraguan dalam upaya menerapkan Low
Vehicle Emission Standard sesuai dengan regulasi (car manufacturer waits and
see) sehingga menghambat the needs or demand pada BBM ramah lingkungan.

Baca Juga :  Alumni Kartu Prakerja Bisa Dapatkan Bantuan KUR

“Ditambah lagi, sikap pemerintah yang ambivalence sehingga tidak menetapkan
fiscal policy dan fuels specification yang sesuai dengan engine technology
requirement dan sesuai kualitas BBM yang dijadikan sebagai patokan penetapan
harga (transparence principle on pricing policy); telah berakibat pada gagalnya
adopsi advance technology yang sesungguhnya mampu menciptakan efisiensi dan
konservasi energy (BBM) yang sangat significant,” terang Ahmad.

Untuk melepas jerat impor BBM dan peningkatan kualitas BBM sebagai
prasyarat LEV dan LCEV guna mencapai ketahanan energi nasional, dengan menempuh
hal-hal sebagi yakni membangun kilang yang diintegrasikan dengan petrochemical
industry, terutama kilang-kilang stand alone dan co-processing BNN.

Guna menghentikan dampak negatif buruknya kuaitas BBM, pemerintah harus
segera menetapkan spesifikasi minimal dan memproduksi jenis BBM yang memenuhi
persyaratan untuk kendaraan berstandard Euro 4/IV seperti bensin RON 91/95
sulfur 50 ppm max, Benzene max 2,5 persen/1 persen dan solar CN 51/53 sulfur
300/50 ppm max, PAH max 10 persen.”Kemudian menghentikan produksi/pemasaran BBM
yang tidak ramah lingkungan. Opsi CNG/LNG, BBN dan Kendaraan Listrik mutlak
harus ditempuh dan bukan sekadat alternatif,” terang Ahmad.

Tak hanya itu, dilanjutkan Ahmad Fuel Quality harus dikembangkan seiring
trend advance tech of vehicle yang mampu menekan konsumsi energi (LEV), Fuel
Economy Standard (advance tech: LCEV), Appropriate infrastructure
(infrastruktur yang baik dan memadai), Transparansi penetapan harga BBM dan
Sustainable procurement (transparence, equality, fairness, legal/bukan black
market).

Lebih lanjut ia menerangkan harus ada reformulasi penggunaan acuan harga
MOPS sesuai dengan fakta harga pasar di Bursa Minyak Regional (Singapuxa, dll)
sehingga lebih ada kepastian dan transparansi terkait harga perolehan (seperti
harga MOPS) yang dijadikan sebagai HPP (Harga Pokok Penjualan atau Cost of
Goods Sold) BBM. “Acuan harga MOPS semata dalam pengelolaan dan pengembangan
kilang dalam negeri temasuk kilang-kilang stand alone dan co-processing BNN,”
ujar Ahmad.

Baca Juga :  Banyak Warga Gadaikan Barang Berharga, Ternyata Ini Penyebabnya

Selanjutnya perlu hedging dan kontrak import BBM berdasar kontrak pembelian
komoditas berjangka, monitoring terhadap trend Fuel Price di Bursa Minyak
Regional dan transparansi dengan menggunakan acuan yang equal (setara) dalam
menetapkan harga BBM.

Ditambahkan Ahmad, hendaknya pemerintah menggunakan acuan yang equal dalam
penetapan harga BBM. Selanjutnya konsekuensi penggunaan harga MOPS sebagai
acuan penetapan harga, harus diikuti dengan distribusi BBM yang kualitasnya
setara dengan BBM MOPS.

“Perlu menghindari potensi manipulatif dalam kebijakan harga BBM.
Menghindari indikasi bahwa terjadinya producen surplus dalam penetapan haxga
BBM. Dan penetapan haxga BBM berdasarkan Cost of Goods Sold (Harga Pokok
Penjualan),” jelas Ahmad.

KPBB juga merekomendasikan bahwa biaya crude oil sesuai dengan mutu dan
sumbernya (domestik atau import), biaya pengolahan dan biaya overhead serta
profit margin yang wajar. Dan atau biaya pokok impor produk BBM (misalnya MOPS)
ditambah biaya distribusi dan profit margin yang wajar.

Sebagaimana fakta bahwa produksi Crudes Oil tidak lagi mencukupi. Selain
kemampuan kilang yang tidak lagi mampu untuk memasok kebutuhan akan BBM Demand
baik kuantitas maupun kualitas. Sementara import BBM telah membebani negara
sehingga menyebabkan defisit neraca perdagangan yang menguras devisa negara.

Amanat Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan supply guna menekan angka
impor BBM dengan membangun kilang blum berhasil diwujudkan.

Kilang baik kilang minyak fossil maupun minyak nabati baik sebagai kilang
stand alone meupun co-processing dengan kilang konvensional, belum berhasil
dibangun, sekalipun Pertamina merencanakan akan selesai pada 2019 sehingga
mulai berproduksi untuk memasok kebutuhan BBM yang memenuhi syarat untuk
kendataan berstandard Euro 4/IV pada 2020/2021. (dim/fin/ful/kpc)

JAKARTA – Indonesia masih jauh tertinggal dari
negara lain dalam hal pemanfaatan bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan.
Bagaimana tidak, Indonesia konsumsi BBM berkualitas rendah dibandingkan negara
lain.

Negara lain sudah menerapkan Euro 3 dan Euro 4, sementara Indonesia belum
lolos dengan Euro 2 karena melanggengkan BBM RON rendah. Dan adopsi biofuel
baik B30 dan BE10 sebagai opsi meningkatkan supply kiranya belum benar-benar efektif
melepas jerat impor BBM.

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad
Safrudin mengatakan buruknya kualitas BBM telah berdampak pada pencemaran udara
dan emisi rumah kaca di berbagai kota berikut dampak kesehatan, ekonomi dan sosial
serta ketahanan nasional.

“Selain itu buruknya kualitas BBM ini telah menghambat adopsi teknologi
advance yang sesunguhnya mampu menekan konsumsi BBM baik dalam bentuk,” kata Ahmad
di Jakarta, kemarin (1/1).

Sampai dengan akhir Juli ini, data AirVisual menunjukkan bahwa Air Quality
Index (AQI) Jakarta mencapai 184 atau tidak sehat (151-200) dimana Jakarta
dinobatkan sebagai kota dengan polusi terparah. Polusi udara merupakan ancaman
kesehatan di banyak negara.

Dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran redpirasi (paru) Agus Dwi
Susanto mengungkapkan bahwa tingginya jumlah kendaraan bermotor di perkotaan
menyebabkan masyarakatnya memiliki konsekuensi terpapar polutan berbahaya, dari
gas emisi kendaraan maupun partikel debu di jalanan. “Gas emisi kendaraan
bermotor merupakan salah satu sumber polusi udara tertinggi di Jakarta.
Konsekuensi inilah yang menyebabkan masyarakat kota Jakarta dan perkotaan
lainnya perlu melakukan upaya pencegahan yang tepat dari dampak kualitas udara
yang buruk,” jelasnya.

Low Vehicle Emission Standard maupun Low Cabon Emissin Standard atau Fuel
Economy Standard. Selain itu, pengalaman di berbagai negara penerapan BBM
betkualitas tinggi berikut CBA yang dilakukan di Indonesia mampu memberikan
manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan hidup (daya saing industri, kesehatan
masyarakat, penghematan BBM).

Namun demikian, kiranya masih ada keraguan dalam upaya menerapkan Low
Vehicle Emission Standard sesuai dengan regulasi (car manufacturer waits and
see) sehingga menghambat the needs or demand pada BBM ramah lingkungan.

Baca Juga :  Alumni Kartu Prakerja Bisa Dapatkan Bantuan KUR

“Ditambah lagi, sikap pemerintah yang ambivalence sehingga tidak menetapkan
fiscal policy dan fuels specification yang sesuai dengan engine technology
requirement dan sesuai kualitas BBM yang dijadikan sebagai patokan penetapan
harga (transparence principle on pricing policy); telah berakibat pada gagalnya
adopsi advance technology yang sesungguhnya mampu menciptakan efisiensi dan
konservasi energy (BBM) yang sangat significant,” terang Ahmad.

Untuk melepas jerat impor BBM dan peningkatan kualitas BBM sebagai
prasyarat LEV dan LCEV guna mencapai ketahanan energi nasional, dengan menempuh
hal-hal sebagi yakni membangun kilang yang diintegrasikan dengan petrochemical
industry, terutama kilang-kilang stand alone dan co-processing BNN.

Guna menghentikan dampak negatif buruknya kuaitas BBM, pemerintah harus
segera menetapkan spesifikasi minimal dan memproduksi jenis BBM yang memenuhi
persyaratan untuk kendaraan berstandard Euro 4/IV seperti bensin RON 91/95
sulfur 50 ppm max, Benzene max 2,5 persen/1 persen dan solar CN 51/53 sulfur
300/50 ppm max, PAH max 10 persen.”Kemudian menghentikan produksi/pemasaran BBM
yang tidak ramah lingkungan. Opsi CNG/LNG, BBN dan Kendaraan Listrik mutlak
harus ditempuh dan bukan sekadat alternatif,” terang Ahmad.

Tak hanya itu, dilanjutkan Ahmad Fuel Quality harus dikembangkan seiring
trend advance tech of vehicle yang mampu menekan konsumsi energi (LEV), Fuel
Economy Standard (advance tech: LCEV), Appropriate infrastructure
(infrastruktur yang baik dan memadai), Transparansi penetapan harga BBM dan
Sustainable procurement (transparence, equality, fairness, legal/bukan black
market).

Lebih lanjut ia menerangkan harus ada reformulasi penggunaan acuan harga
MOPS sesuai dengan fakta harga pasar di Bursa Minyak Regional (Singapuxa, dll)
sehingga lebih ada kepastian dan transparansi terkait harga perolehan (seperti
harga MOPS) yang dijadikan sebagai HPP (Harga Pokok Penjualan atau Cost of
Goods Sold) BBM. “Acuan harga MOPS semata dalam pengelolaan dan pengembangan
kilang dalam negeri temasuk kilang-kilang stand alone dan co-processing BNN,”
ujar Ahmad.

Baca Juga :  Banyak Warga Gadaikan Barang Berharga, Ternyata Ini Penyebabnya

Selanjutnya perlu hedging dan kontrak import BBM berdasar kontrak pembelian
komoditas berjangka, monitoring terhadap trend Fuel Price di Bursa Minyak
Regional dan transparansi dengan menggunakan acuan yang equal (setara) dalam
menetapkan harga BBM.

Ditambahkan Ahmad, hendaknya pemerintah menggunakan acuan yang equal dalam
penetapan harga BBM. Selanjutnya konsekuensi penggunaan harga MOPS sebagai
acuan penetapan harga, harus diikuti dengan distribusi BBM yang kualitasnya
setara dengan BBM MOPS.

“Perlu menghindari potensi manipulatif dalam kebijakan harga BBM.
Menghindari indikasi bahwa terjadinya producen surplus dalam penetapan haxga
BBM. Dan penetapan haxga BBM berdasarkan Cost of Goods Sold (Harga Pokok
Penjualan),” jelas Ahmad.

KPBB juga merekomendasikan bahwa biaya crude oil sesuai dengan mutu dan
sumbernya (domestik atau import), biaya pengolahan dan biaya overhead serta
profit margin yang wajar. Dan atau biaya pokok impor produk BBM (misalnya MOPS)
ditambah biaya distribusi dan profit margin yang wajar.

Sebagaimana fakta bahwa produksi Crudes Oil tidak lagi mencukupi. Selain
kemampuan kilang yang tidak lagi mampu untuk memasok kebutuhan akan BBM Demand
baik kuantitas maupun kualitas. Sementara import BBM telah membebani negara
sehingga menyebabkan defisit neraca perdagangan yang menguras devisa negara.

Amanat Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan supply guna menekan angka
impor BBM dengan membangun kilang blum berhasil diwujudkan.

Kilang baik kilang minyak fossil maupun minyak nabati baik sebagai kilang
stand alone meupun co-processing dengan kilang konvensional, belum berhasil
dibangun, sekalipun Pertamina merencanakan akan selesai pada 2019 sehingga
mulai berproduksi untuk memasok kebutuhan BBM yang memenuhi syarat untuk
kendataan berstandard Euro 4/IV pada 2020/2021. (dim/fin/ful/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru