33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Dicari: Talent-Talent Digital

TRANSFORMASI digital menjadi tantangan para
tenaga kerja Indonesia. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo) menunjukkan bahwa Indonesia masih membutuhkan 9 juta pekerja
untuk mengisi sektor teknologi informasi dari 2015 sampai 2030.

Artinya, masih kekurangan sekali
talent-talent digital.

Sementara itu, digitalisasi yang begitu cepat
belum banyak direspons dengan kenaikan skill oleh para pekerja. Angkatan
pekerja baru yang saat ini berjumlah 130 juta orang, dan meningkat 2,3 juta
orang per tahun, tidak semuanya siap. Mayoritas belum memiliki kemampuan yang
dibutuhkan untuk masuk ke dunia digital.

Sementara itu, mereka yang sudah masuk ke
pasar tenaga kerja harus memiliki mindset bahwa pendidikan itu tidak selesai
saat lulus mengikuti training atau mendapat ijazah SMK/perguruan tinggi. Tapi,
pekerja juga dituntut untuk upskilling (meningkatkan keterampilan). Agar
kemampuannya relevan dengan perkembangan teknologi.

Sebab, keberadaan transformasi otomasi, 3D
printing, dan artificial intelligence menjadi ancaman bagi pekerja yang
bersifat manual. Khususnya di industri padat karya. Jadi, yang sudah bekerja di
pabrik pun tidak lagi bekerja pada satu bidang. Mereka dituntut untuk memahami
bidang-bidang baru.

Baca Juga :  Public Distrust Menggerogoti Institusi Hukum

Misalnya, operator pabrik harus bisa
menguasai analisis data, pengoperasian robot, dan perawatan mesin ketika
mengalami kerusakan. Yang dibutuhkan memang pekerja yang terus mau belajar.

Lalu, skill seperti apa yang dibutuhkan di
era serbadigital? Sekitar 30 persen kebutuhan skill saat ini yang terkait
dengan kemampuan memecahkan masalah atau problem solving dan critical thinking.
Nah, dua kemampuan tersebut tidak bisa dipelajari di bangku sekolah. Untuk
menguasai itu, ya harus mempersiapkan diri dengan pengalaman magang, mengikuti
pelatihan sebelum memasuki dunia kerja, memperluas wawasan, dan berorganisasi.

Profesi yang paling dibutuhkan sekarang
adalah bidang jasa yang berteknologi tinggi. Misalnya, digital marketing,
artificial intelligence specialist, dan UI/UX (user interface/user experience
web developer).

Namun, masalahnya balik lagi ke postur tenaga
kerja kita. Lulusan SMK dan perguruan tinggi masih menyumbang pengangguran
lebih besar jika dibandingkan dengan lulusan SMP. Artinya, ada pekerjaan rumah
untuk menyelaraskan kebutuhan skill dengan suplai tenaga kerja.

Baca Juga :  TikTok dan Potensi Disinformasi Politik 2024

Terkait dengan regulasi pemerintah yang
termaktub dalam UU Cipta Kerja, itu memang tantangan besar bagi para pekerja.
Misalnya, pengurangan pesangon dan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel.
Pekerja harus terus melakukan tuntutan kepada pemerintah. Khususnya dalam hal
perlindungan hak-hak pekerja yang layak. Terutama di sektor informal.

Sebab, selama pandemi Covid-19, jumlah
pekerja di sektor informal meningkat. Naik 3 persen per Agustus 2020. Dan, 60
persen pekerja di Indonesia bekerja di sektor informal.

Hak para pekerja tersebut belum terpenuhi. Di
antaranya, belum terdaftar BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, jaminan yang
tidak menentu, dan upah yang masih di bawah standar minimum.

 

*) BHIMA YUDHISTIRA ADHINEGARA, Peneliti
Indef

 

**) Disarikan oleh wartawan Jawa Pos Agas
Putra Hartanto

TRANSFORMASI digital menjadi tantangan para
tenaga kerja Indonesia. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo) menunjukkan bahwa Indonesia masih membutuhkan 9 juta pekerja
untuk mengisi sektor teknologi informasi dari 2015 sampai 2030.

Artinya, masih kekurangan sekali
talent-talent digital.

Sementara itu, digitalisasi yang begitu cepat
belum banyak direspons dengan kenaikan skill oleh para pekerja. Angkatan
pekerja baru yang saat ini berjumlah 130 juta orang, dan meningkat 2,3 juta
orang per tahun, tidak semuanya siap. Mayoritas belum memiliki kemampuan yang
dibutuhkan untuk masuk ke dunia digital.

Sementara itu, mereka yang sudah masuk ke
pasar tenaga kerja harus memiliki mindset bahwa pendidikan itu tidak selesai
saat lulus mengikuti training atau mendapat ijazah SMK/perguruan tinggi. Tapi,
pekerja juga dituntut untuk upskilling (meningkatkan keterampilan). Agar
kemampuannya relevan dengan perkembangan teknologi.

Sebab, keberadaan transformasi otomasi, 3D
printing, dan artificial intelligence menjadi ancaman bagi pekerja yang
bersifat manual. Khususnya di industri padat karya. Jadi, yang sudah bekerja di
pabrik pun tidak lagi bekerja pada satu bidang. Mereka dituntut untuk memahami
bidang-bidang baru.

Baca Juga :  Public Distrust Menggerogoti Institusi Hukum

Misalnya, operator pabrik harus bisa
menguasai analisis data, pengoperasian robot, dan perawatan mesin ketika
mengalami kerusakan. Yang dibutuhkan memang pekerja yang terus mau belajar.

Lalu, skill seperti apa yang dibutuhkan di
era serbadigital? Sekitar 30 persen kebutuhan skill saat ini yang terkait
dengan kemampuan memecahkan masalah atau problem solving dan critical thinking.
Nah, dua kemampuan tersebut tidak bisa dipelajari di bangku sekolah. Untuk
menguasai itu, ya harus mempersiapkan diri dengan pengalaman magang, mengikuti
pelatihan sebelum memasuki dunia kerja, memperluas wawasan, dan berorganisasi.

Profesi yang paling dibutuhkan sekarang
adalah bidang jasa yang berteknologi tinggi. Misalnya, digital marketing,
artificial intelligence specialist, dan UI/UX (user interface/user experience
web developer).

Namun, masalahnya balik lagi ke postur tenaga
kerja kita. Lulusan SMK dan perguruan tinggi masih menyumbang pengangguran
lebih besar jika dibandingkan dengan lulusan SMP. Artinya, ada pekerjaan rumah
untuk menyelaraskan kebutuhan skill dengan suplai tenaga kerja.

Baca Juga :  TikTok dan Potensi Disinformasi Politik 2024

Terkait dengan regulasi pemerintah yang
termaktub dalam UU Cipta Kerja, itu memang tantangan besar bagi para pekerja.
Misalnya, pengurangan pesangon dan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel.
Pekerja harus terus melakukan tuntutan kepada pemerintah. Khususnya dalam hal
perlindungan hak-hak pekerja yang layak. Terutama di sektor informal.

Sebab, selama pandemi Covid-19, jumlah
pekerja di sektor informal meningkat. Naik 3 persen per Agustus 2020. Dan, 60
persen pekerja di Indonesia bekerja di sektor informal.

Hak para pekerja tersebut belum terpenuhi. Di
antaranya, belum terdaftar BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, jaminan yang
tidak menentu, dan upah yang masih di bawah standar minimum.

 

*) BHIMA YUDHISTIRA ADHINEGARA, Peneliti
Indef

 

**) Disarikan oleh wartawan Jawa Pos Agas
Putra Hartanto

Terpopuler

Artikel Terbaru