26.6 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Mencari Jalan Keluar Tekornya BPJS Kesehatan

JAKARTA – Sejak lima tahun lalu sampai saat ini penyakit BPJS
Kesehatan tak kunjung disembuhkan. Bahkan semakin parah bahwa asuransi
kesehatan pelat merah itu diproyeksi mengalami defisit anggaran mencapai Rp28
triliun.

Kilas balik, defisit anggaran
BPJS Kesejahatan sebesar Rp33 triliun pada tahun 2014. Kian bengkak hingga menyentuh
Rp5,7 triliun pada 2015.

Kemudian terus melonjak menjadi
Rp9,7 triliun pada 2016 dan Rp9,75 triliun pada 2017. Selanjutnya berdasarkan
hitung-hitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diproyeksikan
defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp16,5 triliun.

Sementara tahun 2019, berdasarkan
rapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terungkap diproyeksi BPJS Kesehatan
mengalami defisit anggaran sebesar Rp28 triliun.

Agar tak semakin membengkak,
pemerintah mulai fokus membenahi persoalan BPJS Kesehatan. Kali ini, Presiden
Joko Widodo (Jokowi) turun langsung bagaiman mencari solusi mengatasi masalah
BPJS Kesehatan yang bertahun-tahun tidak teratasi dengan baik.

Dirut BPJS kesehatan, Fahmi Idris
mengatakan, rapat internal
yang dilakukan Presiden Jokowi intinya tentang sinkronisasi antara pendapatan
dan belanja serta bagaimana upaya yang harus dilakukan dalam penyelesaian
problem BPJS Kesehatan.

Baca Juga :  Ogah Bayar setelah “Pakai” PSK, Pria Ini Tewas Ditusuk Pecahan Bot

“Kita lihat semua aspek, aspek
kepesertaan, karena kepesertaan masih tinggi. Soal mendaftar saat sakit,
bagaimana enforcement-nya, kami mau carikan jalan keluar yang tentu tidak
mudah,” ungkap Fahmi.

Semua pihak diminta ikut
menyumbangkan pemikiran untuk mencari jalan keluar agar rumah sakit tetap
memberi layanan kesehatan, meski ada masalah dari sisi anggaran.

Saat ini, BPJS Kesehatan memiliki
mekanisme dalam hal supply chain financing (SCF). Sebagai informasi, SCF
merupakan kegiatan pendanaan yang diberikan kepada pihak-pihak dalam rantai
pasokan pekerjaan yang berasal dari pemberi kerja rekanan.

Terpisah, Direktur Riset Center
of Reform on Economics (Core) Indonesia, Pieter Abdullah menuturkan persoalan
tekornya BPJS Kesehatan utamanya disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya
besar dan luasnya cakupan layanan yg diberikan oleh bpjs kesehatan dan rendahnya
pembayaran iuran oleh keserta khususnya peserta mandiri yang bukan penerima
upah atau yg mendapatkan bantuan iuran.

Menurut dia, seharusnya tekornya
BPJS Kesehatan tidak menjadi isu untuk diangkat ke publik. Sebab sudah
seharusnya pemerintah memberikan kesehatan kepada rakyatnya.

“Pelayanan kesehatan sudajh
menjadi kewajiban negara atau pemerintah,” kata dia kepada Fajar Indonesia
Network (FIN), Jumat (29/7).

Baca Juga :  6 Pahlawan Nasional: Ada Tokoh Kemerdekaan dan Emansipasi Perempuan

Dia juga menyesalkan karakter
masyarakat Indonesia yang sukanya gratis padahal dana yang harus dikeluarkan
pemerintah dalam kesehatan tidak sedikit.

“Masyarakat kita kan kadang tidak
jelas atau ambigu. Pengennya ada pelayanan kesehatan dari pemerintah, tidal mau
bayar iuran, di sisi lain pinginnya BPJS-nya tidak rugi,” ucap dia.

Direktur Eksekutif Indef, Tauhid
Ahmad mengatakan, ada tiga poin BPJS Kesehatan bisa keluar dari defisit
anggaran.

Pertama, pemerintah harus lebih
hati-hati mengenai kepesertaan BPJS mengingat semakin terbuka sasarannya maka
akan semakin besar potensi ruginya dimasa mendatang karena premi tidak dapat
mengejar biaya kesehatan yang ditanggung BPJS.

Kedua, perlu melakukan evaluasi
mendalam berbagai unit layanan yang memang tidak mampu menanggulangi beban
biaya kesehatan, sambil memberikan penyadaran ke masyarakat mengenai keterbatasan
pendanaan BPJS.

Ketiga, melakukan penyesuaian
premi sesuai kelompok masyarakat, mengingat banyak masyarakat mampu secara
ekonomi membayar premi yang jauh lebih murah atau memanfatkan ‘policy hole’
yang tidak pada tempatnya, ketimbang melalui asuransi kesehatan. (din/fin/kpc)

JAKARTA – Sejak lima tahun lalu sampai saat ini penyakit BPJS
Kesehatan tak kunjung disembuhkan. Bahkan semakin parah bahwa asuransi
kesehatan pelat merah itu diproyeksi mengalami defisit anggaran mencapai Rp28
triliun.

Kilas balik, defisit anggaran
BPJS Kesejahatan sebesar Rp33 triliun pada tahun 2014. Kian bengkak hingga menyentuh
Rp5,7 triliun pada 2015.

Kemudian terus melonjak menjadi
Rp9,7 triliun pada 2016 dan Rp9,75 triliun pada 2017. Selanjutnya berdasarkan
hitung-hitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diproyeksikan
defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp16,5 triliun.

Sementara tahun 2019, berdasarkan
rapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terungkap diproyeksi BPJS Kesehatan
mengalami defisit anggaran sebesar Rp28 triliun.

Agar tak semakin membengkak,
pemerintah mulai fokus membenahi persoalan BPJS Kesehatan. Kali ini, Presiden
Joko Widodo (Jokowi) turun langsung bagaiman mencari solusi mengatasi masalah
BPJS Kesehatan yang bertahun-tahun tidak teratasi dengan baik.

Dirut BPJS kesehatan, Fahmi Idris
mengatakan, rapat internal
yang dilakukan Presiden Jokowi intinya tentang sinkronisasi antara pendapatan
dan belanja serta bagaimana upaya yang harus dilakukan dalam penyelesaian
problem BPJS Kesehatan.

Baca Juga :  Ogah Bayar setelah “Pakai” PSK, Pria Ini Tewas Ditusuk Pecahan Bot

“Kita lihat semua aspek, aspek
kepesertaan, karena kepesertaan masih tinggi. Soal mendaftar saat sakit,
bagaimana enforcement-nya, kami mau carikan jalan keluar yang tentu tidak
mudah,” ungkap Fahmi.

Semua pihak diminta ikut
menyumbangkan pemikiran untuk mencari jalan keluar agar rumah sakit tetap
memberi layanan kesehatan, meski ada masalah dari sisi anggaran.

Saat ini, BPJS Kesehatan memiliki
mekanisme dalam hal supply chain financing (SCF). Sebagai informasi, SCF
merupakan kegiatan pendanaan yang diberikan kepada pihak-pihak dalam rantai
pasokan pekerjaan yang berasal dari pemberi kerja rekanan.

Terpisah, Direktur Riset Center
of Reform on Economics (Core) Indonesia, Pieter Abdullah menuturkan persoalan
tekornya BPJS Kesehatan utamanya disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya
besar dan luasnya cakupan layanan yg diberikan oleh bpjs kesehatan dan rendahnya
pembayaran iuran oleh keserta khususnya peserta mandiri yang bukan penerima
upah atau yg mendapatkan bantuan iuran.

Menurut dia, seharusnya tekornya
BPJS Kesehatan tidak menjadi isu untuk diangkat ke publik. Sebab sudah
seharusnya pemerintah memberikan kesehatan kepada rakyatnya.

“Pelayanan kesehatan sudajh
menjadi kewajiban negara atau pemerintah,” kata dia kepada Fajar Indonesia
Network (FIN), Jumat (29/7).

Baca Juga :  6 Pahlawan Nasional: Ada Tokoh Kemerdekaan dan Emansipasi Perempuan

Dia juga menyesalkan karakter
masyarakat Indonesia yang sukanya gratis padahal dana yang harus dikeluarkan
pemerintah dalam kesehatan tidak sedikit.

“Masyarakat kita kan kadang tidak
jelas atau ambigu. Pengennya ada pelayanan kesehatan dari pemerintah, tidal mau
bayar iuran, di sisi lain pinginnya BPJS-nya tidak rugi,” ucap dia.

Direktur Eksekutif Indef, Tauhid
Ahmad mengatakan, ada tiga poin BPJS Kesehatan bisa keluar dari defisit
anggaran.

Pertama, pemerintah harus lebih
hati-hati mengenai kepesertaan BPJS mengingat semakin terbuka sasarannya maka
akan semakin besar potensi ruginya dimasa mendatang karena premi tidak dapat
mengejar biaya kesehatan yang ditanggung BPJS.

Kedua, perlu melakukan evaluasi
mendalam berbagai unit layanan yang memang tidak mampu menanggulangi beban
biaya kesehatan, sambil memberikan penyadaran ke masyarakat mengenai keterbatasan
pendanaan BPJS.

Ketiga, melakukan penyesuaian
premi sesuai kelompok masyarakat, mengingat banyak masyarakat mampu secara
ekonomi membayar premi yang jauh lebih murah atau memanfatkan ‘policy hole’
yang tidak pada tempatnya, ketimbang melalui asuransi kesehatan. (din/fin/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru