27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

LIPI Peringatkan Limbah Medis Corona Bisa Jadi Sumber Penularan

JAKARTA – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengingatkan,
bahwa limbah medis Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan infeksius dari
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) penanganan virus corona (Covid-19)
bisa menjadi sumber penularan.

Kepala Loka Penelitian Teknologi
Bersih di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ajeng Arum Sari
mengatakan, bahwa limbah medis bekas penanganan pasien virus corona (Covid-19)
harus segera ditangani. Karena jika tidak, limbah tersebut bisa menjadi sumber
penularan.

“Limbah medis jelas harus
ditangani, karena banyak dampak negatif. Pertama paparan patogen, juga beracun
kemudian bisa mengakibatkan cedera, karena misalnya sisa bekas jarum suntik kan
tajam, menimbulkan pencemaran, air udara dan tanah,” kata Ajeng, Kamis (23/4).

Ajeng menambahkan, jika tidak
segera ditangani maka limbah medis ini akan semakin menumpuk. Apalagi, hanya
sekitar 87 rumah sakit yang mempunyai insinerator alat untuk membakar limbah
medis ini.

“Sejak pandemi corona terus
meningkat tidak hanya Rumah sakit dan puskesmas, juga rumah sakit darurat di
wisma atlet, klinik, unit transfusi dan apotik,” tuturnya.

Terlebih lagi, kata Ajeng,
berdasarkan prediksi Asian Development Bank tambahan jumlah limbah medis di DKI
Jakarta akibat covid-19 sebesar 212 ton per harinya.

“Asian Development Bank telah
memprediksi kalau volume limbah selama pandemi khusus di Jakarta mencapai 12
ribu ton dalam waktu 60 hari,” ujarnya.

Baca Juga :  Arief Budiman Diberhentikan DKPP, Ini Sikap KPU

Ajeng menjelaskan, bahwa limbah
medis ini tidak hanya Alat Pelindung Diri (APD), tetapi juga alat tes, seperti
tisu hingga alat swab. “Kendala dalam pengelolaan limbah medis ini, selain
semakin menumpuk, juga terkait teknologi pengelolaannya, yang mana tidak semua
Fasyankes memilikinya,” jelasnya.

Ajeng juga melihat, Incinerator
atau alat pembakar limbah yang dioperasikan menggunakan teknologi pembakaran
dengan suhu tertentu ini masih terbatas jumlahnya.

Belum lagi incinerator milik
Fasyankes tersebut tidak berfungsi optimal. Karena, untuk limbah medis ini,
harus dibakar di suhu 800 derajat celcius.“Ketika dia tidak berfungsi dengan
baik suhu tidak mencapai tadi (800 derajat) bisa menimbulkan dioksin. Banyak
fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) tidak memiliki incinerator, karena
tidak ada lahan,” imbuhnya.

Selain tidak memiliki lahan, kata
Ajeng, sikap penolakan dari warga juga membuat Fasyankes tidak memiliki alat
pembakaran limbah sendiri. “Banyak masyarakat menolak karena takut dengan emisi
yang bisa mengganggu masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, lanjut Ajeng,
untuk Fasyankes yang menggunakan jasa pihak ketiga untuk mengatasi limbah medis
juga mengalami kesulitan. Banyak yang izinnya sudah kedaluwarsa dan harus
ekstra hati-hati, untuk mencegah kontaminasi saat pengiriman limbah ke pusat
pembuangan akhir.

“Harus mengirim ke pihak ketiga
padahal harus dalam waktu dua hari, dan jarak ke pihak ketiga jauh, ada
kemungkinan nanti mengontaminasi sekeliling,” terangnya

Baca Juga :  Brigjen Setyo Budi Ditunjuk Jadi Plt Direktur Penyidikan KPK

Melihat kondisi tersebut,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengajak Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan riset mengatasi masalah limbah medis
bahan berbahaya dan beracun (B3) serta infeksius, yang terus bertambah selama
pandemi virus corona (covid-19).

“Saya tahu LIPI punya researcher
yang handal dan kami butuh di pemerintah mengembangkan hal baru. Utamanya,
terkait pengelolaan limbah yang tepat agar tidak menimbulkan masalah lain
seperti emisi senyawa beracun,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah,
Limbah dan B3 KLHK, Rossa Vivien.

Menurut Vivien, pengelolaan
limbah dengan dibakar menggunakan insinerator masih belum menuntaskan masalah.
Sebab, hasil pembakaran justru mengandung senyawa beracun dan berbahaya bagi
kesehatan masyarakat di sekitar.

“Kami berharap LIPI bisa
menemukan solusi. Terutama untuk di daerah kepulauan dengan insinerator yang
tepat, kepulauan seperti apa setelah dibakar ada polusi limbah,” ujarnya.

Vivien mengatakan, bahwa riset
lebih jauh dinilai juga diperlukan untuk membaca kemungkinan penularan covid-19
dari limbah medis tersebut. KLHK mengaku belum punya data yang rinci mengenai
hal tersebut.

“Kami tidak sampai detail,
misalnya dampak penularan dari limbah medis itu belum ada, dan kemungkinan
penularan dari mana,” pungkasnya.

JAKARTA – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengingatkan,
bahwa limbah medis Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan infeksius dari
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) penanganan virus corona (Covid-19)
bisa menjadi sumber penularan.

Kepala Loka Penelitian Teknologi
Bersih di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ajeng Arum Sari
mengatakan, bahwa limbah medis bekas penanganan pasien virus corona (Covid-19)
harus segera ditangani. Karena jika tidak, limbah tersebut bisa menjadi sumber
penularan.

“Limbah medis jelas harus
ditangani, karena banyak dampak negatif. Pertama paparan patogen, juga beracun
kemudian bisa mengakibatkan cedera, karena misalnya sisa bekas jarum suntik kan
tajam, menimbulkan pencemaran, air udara dan tanah,” kata Ajeng, Kamis (23/4).

Ajeng menambahkan, jika tidak
segera ditangani maka limbah medis ini akan semakin menumpuk. Apalagi, hanya
sekitar 87 rumah sakit yang mempunyai insinerator alat untuk membakar limbah
medis ini.

“Sejak pandemi corona terus
meningkat tidak hanya Rumah sakit dan puskesmas, juga rumah sakit darurat di
wisma atlet, klinik, unit transfusi dan apotik,” tuturnya.

Terlebih lagi, kata Ajeng,
berdasarkan prediksi Asian Development Bank tambahan jumlah limbah medis di DKI
Jakarta akibat covid-19 sebesar 212 ton per harinya.

“Asian Development Bank telah
memprediksi kalau volume limbah selama pandemi khusus di Jakarta mencapai 12
ribu ton dalam waktu 60 hari,” ujarnya.

Baca Juga :  Arief Budiman Diberhentikan DKPP, Ini Sikap KPU

Ajeng menjelaskan, bahwa limbah
medis ini tidak hanya Alat Pelindung Diri (APD), tetapi juga alat tes, seperti
tisu hingga alat swab. “Kendala dalam pengelolaan limbah medis ini, selain
semakin menumpuk, juga terkait teknologi pengelolaannya, yang mana tidak semua
Fasyankes memilikinya,” jelasnya.

Ajeng juga melihat, Incinerator
atau alat pembakar limbah yang dioperasikan menggunakan teknologi pembakaran
dengan suhu tertentu ini masih terbatas jumlahnya.

Belum lagi incinerator milik
Fasyankes tersebut tidak berfungsi optimal. Karena, untuk limbah medis ini,
harus dibakar di suhu 800 derajat celcius.“Ketika dia tidak berfungsi dengan
baik suhu tidak mencapai tadi (800 derajat) bisa menimbulkan dioksin. Banyak
fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) tidak memiliki incinerator, karena
tidak ada lahan,” imbuhnya.

Selain tidak memiliki lahan, kata
Ajeng, sikap penolakan dari warga juga membuat Fasyankes tidak memiliki alat
pembakaran limbah sendiri. “Banyak masyarakat menolak karena takut dengan emisi
yang bisa mengganggu masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, lanjut Ajeng,
untuk Fasyankes yang menggunakan jasa pihak ketiga untuk mengatasi limbah medis
juga mengalami kesulitan. Banyak yang izinnya sudah kedaluwarsa dan harus
ekstra hati-hati, untuk mencegah kontaminasi saat pengiriman limbah ke pusat
pembuangan akhir.

“Harus mengirim ke pihak ketiga
padahal harus dalam waktu dua hari, dan jarak ke pihak ketiga jauh, ada
kemungkinan nanti mengontaminasi sekeliling,” terangnya

Baca Juga :  Brigjen Setyo Budi Ditunjuk Jadi Plt Direktur Penyidikan KPK

Melihat kondisi tersebut,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengajak Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan riset mengatasi masalah limbah medis
bahan berbahaya dan beracun (B3) serta infeksius, yang terus bertambah selama
pandemi virus corona (covid-19).

“Saya tahu LIPI punya researcher
yang handal dan kami butuh di pemerintah mengembangkan hal baru. Utamanya,
terkait pengelolaan limbah yang tepat agar tidak menimbulkan masalah lain
seperti emisi senyawa beracun,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah,
Limbah dan B3 KLHK, Rossa Vivien.

Menurut Vivien, pengelolaan
limbah dengan dibakar menggunakan insinerator masih belum menuntaskan masalah.
Sebab, hasil pembakaran justru mengandung senyawa beracun dan berbahaya bagi
kesehatan masyarakat di sekitar.

“Kami berharap LIPI bisa
menemukan solusi. Terutama untuk di daerah kepulauan dengan insinerator yang
tepat, kepulauan seperti apa setelah dibakar ada polusi limbah,” ujarnya.

Vivien mengatakan, bahwa riset
lebih jauh dinilai juga diperlukan untuk membaca kemungkinan penularan covid-19
dari limbah medis tersebut. KLHK mengaku belum punya data yang rinci mengenai
hal tersebut.

“Kami tidak sampai detail,
misalnya dampak penularan dari limbah medis itu belum ada, dan kemungkinan
penularan dari mana,” pungkasnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru