26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Dana Asing Rp 11,3 T Keluar Indonesia, BI: Kita Selalu Berada di Pasar

Mereka yang ribut,
kita yang kena getahnya. Perumpaan itu setidaknya mencerminkan kondisi
Indonesia saat ini terkait perseteruan dagang Amerika Serikat-Tiongkok. Sengketa
dagang dua negeri adidaya yang terus berlangsung ini menyebabnya aliran modal
milik investor asing senilai Rp 11,3 triliun dibawa pemiliknya ke luar (
capital
outflow
) dari Indonesia.

Gubernur Bank
Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, outflow yang terjadi dalam
tiga hari terakhir banyak dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi global yang
terus meningkat. Khususnya, berasal dari eskalasi perang dagang antara Amerika
Serikat (AS) dan Tiongkok yang saling lempar tarif.

Diungkapkan, dalam
tiga hari terakhir sejak 13 Mei sampai 16 Mei 2019 investor asing melepas Rp
7,6 triliun portfolio dalam bentuk Surat Berharga Negara. Investor asing juga
diketahui melepas kepemilikannya di portfolio saham sebesar Rp 4 triliun.

 

 menjanjikan akan terus berada di pasar untuk
memantau pergerakan nilai tukar menyusul meningkatkan capital outflow sebagai
dampak perang dagang AS-Tiongkok (Dok.JawaPos.com)

“Meningkatnya
ketidakpastian pasar global berdampak pada peralihan modal yang semula masuk
emerging market seperti Indonesia kembali ke negara maju,” kata Perry di Gedung
BI, Jakarta, Jumat (17/5).

Pada umumnya, kata
dia, aliran modal asing yang keluar dari Indonesia berasal dari investor jangka
pendek. Investor itu banyak yang datang dari awal tahun dan kemudian keluar
dalam 2 minggu terakhir karena ketidakpastian pasar keuangan global.

Baca Juga :  Renovasi Sekolah dari BRI, Ukir Senyum Wajah Siswa Dompu NTB

Dia tak menampik bahwa
aliran modal asing yang keluar ke luar negeri akan berdampak semakin
tertekannya nilai tukar. Namun, BI menegaskan tidak tidak akan tinggal diam dan
akan terus berada di pasar untuk memantau pergerakan nilai tukar dengan
melakukan intervensi.

“BI menegaskan selalu
berada di pasar untuk melakukan langkah stabilisasi nilai rupiah dengan
intervensi ganda, baik pasar valas (valuta asing) di spot dan DNDF. Demikian
juga pembelian SBN (Surat Berharga Negara) dari pasar sekunder dengan tetap
menjaga mekanisme pasar,” terangnya.

Adapun, kata dia, SBN
selama 10 tahun terakhir naik ke titik 8,02. Sementara yield treasury tercatat
2,39. Perry berharap, iklim ekonomi global dapat mereda seiring dengan
perundingan antara AS-Tiongkok.

“Kita berharap pada
G20 leaders meeting di Osaka 22 Juni mendatang. Semoga terjadi kesepakatan
antara AS-China, perundingan masih terus berlangsung,” pungkasnya.

Sementara itu, Ekonom
Institute for Development on Economic (INDEF) Bhima Yudhistira menilai
keluarnya aliran modal asing ke luar Indonesia akan membuat nilai tukar rupiah
semakin tertekan. Data yang diterbitkan oleh BI terakhir, menempatkan kurs
referensi Jisdor di level Rp14.469 per dolar AS.

Baca Juga :  Kasus Swab, Rizieq Shihab Divonis 4 Tahun Penjara

“Diperkirakan melemah
hingga 14.700 diakhir Juni,” katanya ketika dikonfirmasi JawaPos.com, Jumat
(17/5).

Selain mempengaruhi
kurs rupiah, Bhima juga menyampaikan, Indonesia diprediksi akan semakin sulit
mencari pembiayaan valuta asing (valas) untuk bank ataupun swasta. Pasalnya,
cost of fund akan semakin mahal.

Di sisi lain, imbuh dia,
biaya produksi juga semakin mahal bagi sektor manufaktur yang bergantung pada
bahan baku impor. “Pertumbuhan ekonomi 2019 juga hanya 5 persen lebih rendah
dri tahun lalu,” tuturnya.

Untuk meminimalisir
pelebaran outflow dari Indonesia, Bhima meminta pemerintah untuk mendorong
kebijakan countercyclical policy yang tepat sasaran. Katanya, seluruh stimulus
fiskal harus diarahkan ke sektor yang berbasis ekspor.

Dengan begitu,
penerimaan valas bisa meningkat. Namun, untuk pengendalian modal keluar
diperlukan kebijakan insentif pajak agar investor asing melakukan penanaman
modal kembali hasil dari dividenya. “Ini demi mencegah repatriasi modal,”
pungkasnya.

Di sisi lain, Bhima
juga mengajak agar pemerintah dapat menjaga stabilitas keamanan terutama jelang
pengumuman hasil KPU pada 22 mei 2019. Menurutnya, banyak investor yang menahan
diri karena khawatir instabilitas politik nasional.(jpc)

 

Mereka yang ribut,
kita yang kena getahnya. Perumpaan itu setidaknya mencerminkan kondisi
Indonesia saat ini terkait perseteruan dagang Amerika Serikat-Tiongkok. Sengketa
dagang dua negeri adidaya yang terus berlangsung ini menyebabnya aliran modal
milik investor asing senilai Rp 11,3 triliun dibawa pemiliknya ke luar (
capital
outflow
) dari Indonesia.

Gubernur Bank
Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, outflow yang terjadi dalam
tiga hari terakhir banyak dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi global yang
terus meningkat. Khususnya, berasal dari eskalasi perang dagang antara Amerika
Serikat (AS) dan Tiongkok yang saling lempar tarif.

Diungkapkan, dalam
tiga hari terakhir sejak 13 Mei sampai 16 Mei 2019 investor asing melepas Rp
7,6 triliun portfolio dalam bentuk Surat Berharga Negara. Investor asing juga
diketahui melepas kepemilikannya di portfolio saham sebesar Rp 4 triliun.

 

 menjanjikan akan terus berada di pasar untuk
memantau pergerakan nilai tukar menyusul meningkatkan capital outflow sebagai
dampak perang dagang AS-Tiongkok (Dok.JawaPos.com)

“Meningkatnya
ketidakpastian pasar global berdampak pada peralihan modal yang semula masuk
emerging market seperti Indonesia kembali ke negara maju,” kata Perry di Gedung
BI, Jakarta, Jumat (17/5).

Pada umumnya, kata
dia, aliran modal asing yang keluar dari Indonesia berasal dari investor jangka
pendek. Investor itu banyak yang datang dari awal tahun dan kemudian keluar
dalam 2 minggu terakhir karena ketidakpastian pasar keuangan global.

Baca Juga :  Renovasi Sekolah dari BRI, Ukir Senyum Wajah Siswa Dompu NTB

Dia tak menampik bahwa
aliran modal asing yang keluar ke luar negeri akan berdampak semakin
tertekannya nilai tukar. Namun, BI menegaskan tidak tidak akan tinggal diam dan
akan terus berada di pasar untuk memantau pergerakan nilai tukar dengan
melakukan intervensi.

“BI menegaskan selalu
berada di pasar untuk melakukan langkah stabilisasi nilai rupiah dengan
intervensi ganda, baik pasar valas (valuta asing) di spot dan DNDF. Demikian
juga pembelian SBN (Surat Berharga Negara) dari pasar sekunder dengan tetap
menjaga mekanisme pasar,” terangnya.

Adapun, kata dia, SBN
selama 10 tahun terakhir naik ke titik 8,02. Sementara yield treasury tercatat
2,39. Perry berharap, iklim ekonomi global dapat mereda seiring dengan
perundingan antara AS-Tiongkok.

“Kita berharap pada
G20 leaders meeting di Osaka 22 Juni mendatang. Semoga terjadi kesepakatan
antara AS-China, perundingan masih terus berlangsung,” pungkasnya.

Sementara itu, Ekonom
Institute for Development on Economic (INDEF) Bhima Yudhistira menilai
keluarnya aliran modal asing ke luar Indonesia akan membuat nilai tukar rupiah
semakin tertekan. Data yang diterbitkan oleh BI terakhir, menempatkan kurs
referensi Jisdor di level Rp14.469 per dolar AS.

Baca Juga :  Kasus Swab, Rizieq Shihab Divonis 4 Tahun Penjara

“Diperkirakan melemah
hingga 14.700 diakhir Juni,” katanya ketika dikonfirmasi JawaPos.com, Jumat
(17/5).

Selain mempengaruhi
kurs rupiah, Bhima juga menyampaikan, Indonesia diprediksi akan semakin sulit
mencari pembiayaan valuta asing (valas) untuk bank ataupun swasta. Pasalnya,
cost of fund akan semakin mahal.

Di sisi lain, imbuh dia,
biaya produksi juga semakin mahal bagi sektor manufaktur yang bergantung pada
bahan baku impor. “Pertumbuhan ekonomi 2019 juga hanya 5 persen lebih rendah
dri tahun lalu,” tuturnya.

Untuk meminimalisir
pelebaran outflow dari Indonesia, Bhima meminta pemerintah untuk mendorong
kebijakan countercyclical policy yang tepat sasaran. Katanya, seluruh stimulus
fiskal harus diarahkan ke sektor yang berbasis ekspor.

Dengan begitu,
penerimaan valas bisa meningkat. Namun, untuk pengendalian modal keluar
diperlukan kebijakan insentif pajak agar investor asing melakukan penanaman
modal kembali hasil dari dividenya. “Ini demi mencegah repatriasi modal,”
pungkasnya.

Di sisi lain, Bhima
juga mengajak agar pemerintah dapat menjaga stabilitas keamanan terutama jelang
pengumuman hasil KPU pada 22 mei 2019. Menurutnya, banyak investor yang menahan
diri karena khawatir instabilitas politik nasional.(jpc)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru