27.3 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Tentang Tim Bentukan Wiranto, Komnas HAM: Politik Memaksakan Penegakan

JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) menentang keras
rencana pembentukan Tim Asistensi Hukum oleh Kementerian Koordinatir Politik,
Hukum dan HAM (Kemenkopolhukam). Pasalnya tim tersebut dinilai telah menarik
persoalan hukum menjadi persoalan politik.

Diketahui, pada Rabu (8/5),
Kemenkopolhukam membentuk Tim Asistensi Hukum dengan dasar hukum keputusan
Menteri Kopolhukam (Wiranto) nomor 38 Tahun 2019, tentang tim Asistensi hukum
Kemenkopolhukam dalam rangka mengkoordinasikan dan memberikan asistensi hukum
terkait permasalah hukum pada pemilihan umum serentak tahun 2019.

Menanggapi hal tersebut,
Komisioner Komnas HAM, Munafrizal mengatakan dalam konstitusi UUD 1945 dan juga
di dalam UU HAM sudah diberikan jaminan konstitusional yang legal mengenai hak
setiap orang untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat.

“Jadi semestinya dihormati oleh
semua penyelenggaraan negara dan juga oleh semua warga negara,” ungkap Munafrizal
yang didampingi oleh komisioner lain di antaranya, Choirul Anam, Amiruffin Al
Rahab, dan Hairansyah, Jumat (10/5).

Baca Juga :  Diisolasi Saudi, 472 WNI Terjebak di Kota Qatif

Lebih lanjut, Komnas HAM
memandang tugas yang dimandatkan pada tim asistensi hukum tersebut dapat
dimaknai seperti melakukan tugas quasi penyelidikan.

Diketahui, tim asistensi bertugas
melakukan kajian dan asistensi hukum terkait dengan ucapan dan tindakan yang
melanggar hukum, kemudian memberikan rekomendasi kepada para penegak hukum.

“Artinya tim asistensi hukum
Kemenkopolhukam seolah sebagai quasi penyelidikan. Dan oleh Komnas HAM
sebetulnya peraturan mengenai fungsi penyelidikan atau menyerupai fungsi
penyelidikan, quasi tidak tepat jika dasar hukumnya adalah selevel keputusan
Kemenkopolhukam,” paparnya.

Sementara itu, Hairansyah
menambahkan dalam HAM yang paling mendasar adalah ada hak yang tidak bisa
dikurangi oleh apapun.

“Saya kira hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani ini menjadi bagian penting yang tidak bisa dikurangi.
Itulah sebabnya penyampaian pendapat itu menjadi bagian dari proses demokrasi
yang harus dipastikan dipenuhi oleh negara dan dilindungi,” tegasnya.

Baca Juga :  Kemendagri Habiskan Rp 168 Miliar untuk Lomba Video, PAN: Itu Positif

Selain itu Anam juga mengatakan,
tim asistensi yang melakukan kajian dan asistensi hukum terhadap ucapan dan
tindakan yang melanggar hukum pasca pemilihan umum, merupakan tindakan
intervensi terhadap penegakan hukum.

Kemudian, jika melihat struktur
keanggotaan salah satunya adalah Polri dan Jaksa Agung dan pelaksanaannya ada
Reskrim, baik siber maupun umum, artinya penegakan hukum sebenarnya cukup di
Kepolisian saja.

“Kalau surat ini dikeluarkan oleh
Kapolri, kita malah maklum, mungkin Kapolri butuh dukungan mempercepat proses
dan sebagainya, hubungan untuk penegakan hukum ya silahkan, tapi karena ini
Kemenkopolhukam ya jadi pendekatan politik,” tuturnya.

“Jadi politik memaksakan
penegakan hukum, yang terjadi demikian kalau lihat strukturnya itu wakil
pengarah bidang penegakan hukum, ada kapolri ada jaksa agung, terus anggotanya
ada direktur direktur dipenegakan hukum di cyber terus di reskrim, itukan artinya
nggak bisa bergerak, ga bisa independen lagi,” tandasnya. (wil/rmol/pojoksatu/kpc)

JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) menentang keras
rencana pembentukan Tim Asistensi Hukum oleh Kementerian Koordinatir Politik,
Hukum dan HAM (Kemenkopolhukam). Pasalnya tim tersebut dinilai telah menarik
persoalan hukum menjadi persoalan politik.

Diketahui, pada Rabu (8/5),
Kemenkopolhukam membentuk Tim Asistensi Hukum dengan dasar hukum keputusan
Menteri Kopolhukam (Wiranto) nomor 38 Tahun 2019, tentang tim Asistensi hukum
Kemenkopolhukam dalam rangka mengkoordinasikan dan memberikan asistensi hukum
terkait permasalah hukum pada pemilihan umum serentak tahun 2019.

Menanggapi hal tersebut,
Komisioner Komnas HAM, Munafrizal mengatakan dalam konstitusi UUD 1945 dan juga
di dalam UU HAM sudah diberikan jaminan konstitusional yang legal mengenai hak
setiap orang untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat.

“Jadi semestinya dihormati oleh
semua penyelenggaraan negara dan juga oleh semua warga negara,” ungkap Munafrizal
yang didampingi oleh komisioner lain di antaranya, Choirul Anam, Amiruffin Al
Rahab, dan Hairansyah, Jumat (10/5).

Baca Juga :  Diisolasi Saudi, 472 WNI Terjebak di Kota Qatif

Lebih lanjut, Komnas HAM
memandang tugas yang dimandatkan pada tim asistensi hukum tersebut dapat
dimaknai seperti melakukan tugas quasi penyelidikan.

Diketahui, tim asistensi bertugas
melakukan kajian dan asistensi hukum terkait dengan ucapan dan tindakan yang
melanggar hukum, kemudian memberikan rekomendasi kepada para penegak hukum.

“Artinya tim asistensi hukum
Kemenkopolhukam seolah sebagai quasi penyelidikan. Dan oleh Komnas HAM
sebetulnya peraturan mengenai fungsi penyelidikan atau menyerupai fungsi
penyelidikan, quasi tidak tepat jika dasar hukumnya adalah selevel keputusan
Kemenkopolhukam,” paparnya.

Sementara itu, Hairansyah
menambahkan dalam HAM yang paling mendasar adalah ada hak yang tidak bisa
dikurangi oleh apapun.

“Saya kira hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani ini menjadi bagian penting yang tidak bisa dikurangi.
Itulah sebabnya penyampaian pendapat itu menjadi bagian dari proses demokrasi
yang harus dipastikan dipenuhi oleh negara dan dilindungi,” tegasnya.

Baca Juga :  Kemendagri Habiskan Rp 168 Miliar untuk Lomba Video, PAN: Itu Positif

Selain itu Anam juga mengatakan,
tim asistensi yang melakukan kajian dan asistensi hukum terhadap ucapan dan
tindakan yang melanggar hukum pasca pemilihan umum, merupakan tindakan
intervensi terhadap penegakan hukum.

Kemudian, jika melihat struktur
keanggotaan salah satunya adalah Polri dan Jaksa Agung dan pelaksanaannya ada
Reskrim, baik siber maupun umum, artinya penegakan hukum sebenarnya cukup di
Kepolisian saja.

“Kalau surat ini dikeluarkan oleh
Kapolri, kita malah maklum, mungkin Kapolri butuh dukungan mempercepat proses
dan sebagainya, hubungan untuk penegakan hukum ya silahkan, tapi karena ini
Kemenkopolhukam ya jadi pendekatan politik,” tuturnya.

“Jadi politik memaksakan
penegakan hukum, yang terjadi demikian kalau lihat strukturnya itu wakil
pengarah bidang penegakan hukum, ada kapolri ada jaksa agung, terus anggotanya
ada direktur direktur dipenegakan hukum di cyber terus di reskrim, itukan artinya
nggak bisa bergerak, ga bisa independen lagi,” tandasnya. (wil/rmol/pojoksatu/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru