26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

SE Kapolri Jangan Sampai Picu Ketegangan Sosial Baru

JAKARTA – Surat edaran (SE) Kapolri terkait tindakan hukum kepada
masyarakat atas dugaan pelanggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
jangan membuat resah. Atau bahkan membuat ketegangan sosial baru.

Anggota Komisi III DPR Fraksi PPP
Arsul Sani meminta agar Polri menjalankan penegakan hukum tidak melanggar
prinsip due process of law, yaitu
jelas dasar aturannya dan prosedurnya.

“Saya mengingatkan jajaran Polri
agar kerja-kerja penegakan hukum yang menjadi kewenangan Polri tidak melanggar
prinsip due process of law,” katanya
dalam keterangannya, Senin (6/4).

Hal tersebut diutarakan Arsul
terkait perintah Kapolri agar jajarannya melakukan penindakan terhadap penyebar
hoaks terhadap Presiden dan pejabat Pemerintah soal penanganan COVID-19, dan
juga penangkapan 18 orang oleh Polda Metro Jaya yang diduga melanggar PSBB pada
Jumat (3/4) malam.

“Proses penegakan hukum Polri
jangan menimbulkan ketegangan sosial baru di masyarakat yang tengah resah
menghadapi wabah COVID-19,” katanya.

Diingatkan Arsul, soal penindakan
terhadap terhadap pelaku ujaran kebencian melalui media sosial Polri telah
memiliki Surat Edaran Kapolri No. 6 Tahun 2015.

“Surat Edaran Kapolri itu isinya
meminta agar jajaran Polri melakukan langkah-langkah preventif terlebih dahulu
dalam menghadapi kasus-kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoaks sebelum
melakukan proses hukum,” ujarnya.

Menurutnya, apa yang ada dalam SE
Kaplori harus diterapkan secara baik. Sehingga tidak menimbulkan kesan Polri
sewenang-wenang dalam penegakan hukum.

Wakil Ketua MPR itu juga
mengatakan hingga saat ini belum ada daerah yang ditetapkan sebagai PSBB, PP No
21 tahun 2020 tentang PSBB.

“Polri harusnya meminta orang
yang berkerumun untuk bubar dan kalau mereka melawan atau mengabaikan, baru
bisa digunakan pasal KUHP tentang tidak menaati perintah pejabat yang sah,”
ungkapnya.

Setali tiga uang yang diungkapkan
anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto. Politisi Demokrat ini menilai langkah
Polri dalam penegakan hukum di tengah masyarakat menghadapi pandemi COVID-19
justru menimbulkan keresahan.

Baca Juga :  Wow, Gaji Ahok di Pertamina Rp3,2 Miliar Sebulan?

“Penegakan hukum biar berjalan
sesuai aturan yang berlaku, tidak perlu dibumbui dengan hal-hal lain yang tidak
relevan apalagi menimbulkan keresahan atau berpotensi intimidatif,” katanya.

Dijelaskannya, penegakan hukum
idealnya memang harus dilakukan dengan cara tanpa tebang pilih dan profesional
serta akuntabel.

“Namun tak boleh dilakukan dengan
basis intimidatif dan menimbulkan nuansa kebatinan ketertekanan masyarakat
terhadap penegak hukum. Apalagi kebebasan yang bertanggung jawab adalah hak
setiap warga negara,” ujar Wakil Ketua Fraksi Demokrat ini.

Kolega Didik di Komisi III, M
Nasir Djamil juga mengamini. Menurutnya Polri dalam langkah penegakan hukum
harus mengedepan langkah persuasif dan bijak.

“Tidak bisa kita pungkiri bahwa
ada kabar bohong soal COVID-19 yang merugikan masyarakat dan itu harus
ditindak. Sedangkan warga negara yang kritis mengkritik kebijakan negara dalam
mengatasi pandemi ini, harus dlindungi, Polri harus bersama rakyat,” kata
politisi PKS ini.

Dia meminta Polri tetap
menjunjung tinggi fungsi pelayanan, pengayom, dan pelindung rakyat dengan
mengedepankan aspek profesionalitas, modern, dan terpercaya. Terkait soal
aturan penghinaan presiden dalam Surat Telegram Kapolri itu, tentu harus
hati-hati dalam penerapannya karena selain mengandung multitafsir dan seperti
“pasal karet”, ketentuan itu juga sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

“Indonesia ini negara hukum yang
demokratis, karena itu pro dan kontra terhadap kebijakan negara dalam mengatasi
wabah COVID-19 adalah hal yang lumrah,” katanya.

Menanggapi hal tersebut Kepala
Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Raden
Prabowo Argo Yowono mengatakan pihaknya telah melakukan sejumlah upaya
pencegahan penyebaran wabah COVID-19 dengan cara yang humanis.

“Kegiatan pencegahan yang
dilakukan kepolisian, yaitu pencegahan yang humanis,” katanya di Kantor Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Kegiatan-kegiatan pencegahan yang
dilakukan antara lain pembubaran warga yang berkerumun yang tidak mengindahkan
imbauan untuk menjaga jarak.

“Di Jawa Timur (Jatim) misalnya.
Di Jatim ada kegiatan pembubaran di beberapa lokasi, tapi karena masih ngeyel
kita bawa ke kantor polisi,” katanya.

Baca Juga :  Kemenag Kembali Buka Layanan KUA

Ia mengatakan jajaran di Jatim,
baik Polres maupun Polda, mencatat ada sekitar 3.000 warga yang diminta untuk
membuat surat pernyataan untuk tidak lagi berkerumun di tengah wabah COVID-19,
yang penularannya melalui droplet cairan batuk atau bersin dari penderita ke
orang lain.

“Untuk pembubaran massa atau
kerumunan masyarakat ada 10.873 kali kami bubarkan,” katanya.

Argo melanjutkan pihaknya juga
tetap mengedepankan physical distancing atau pembatasan jarak fisik antarsatu
individu dengan lainnya selama edukasi dan penegakan hukum kepada masyarakat
guna mencegah penularan COVID-19.

“Masyarakat yang sudah kami
beritahu dan masih membandel akan di bawa ke kantor polisi dengan tetap
melakukan physical distancing,” katanya.

Ia mengatakan dalam upaya memutus
mata rantai penularan virus corona penyebab COVID-19, Polri bekerja sama dengan
TNI dan pemerintah daerah.

Argo mengatakan aparat kepolisian
sebelumnya telah melakukan sejumlah edukasi kepada masyarakat baik menggunakan
media sosial, spanduk, baliho dan sebagainya terkait Maklumat Kapolri nomor:
Mak/2/III/2020 tentang kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah dalam penanganan
penyebaran COVID-19.

Hal itu termasuk memberikan
kesadaran dan pengetahuan kepada masyarakat yang masih berkumpul. Sebelum
melakukan penindakan, polisi terlebih dahulu menegur satu hingga tiga kali.

“Apabila masyarakat masih
membandel, maka akan di bawa ke kantor polisi untuk diproses lebih lanjut. Di
kantor polisi pun aparat tetap menerapkan physical distancing. Kemarin itu ada
18 orang yang kita proses di Polda Metro Jaya karena mereka membandel saat
diberitahu petugas,” kata Argo.

Ia mengatakan masyarakat harus
memahami dan mengetahui ada aturan yang mesti ditaati dan dipedomani serta
tertulis di dalam KUHP.

Jauh hari sebelum maklumat
Kapolri nomor: Mak/2/III/2020 tentang kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah
dalam penanganan penyebaran COVID-19 dikeluarkan, pemerintah sudah bisa
menerapkan aturan tersebut.

“Aturan itu sudah kita lakukan
tidak hanya karena situasi pandemi COVID-19,” katanya.

JAKARTA – Surat edaran (SE) Kapolri terkait tindakan hukum kepada
masyarakat atas dugaan pelanggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
jangan membuat resah. Atau bahkan membuat ketegangan sosial baru.

Anggota Komisi III DPR Fraksi PPP
Arsul Sani meminta agar Polri menjalankan penegakan hukum tidak melanggar
prinsip due process of law, yaitu
jelas dasar aturannya dan prosedurnya.

“Saya mengingatkan jajaran Polri
agar kerja-kerja penegakan hukum yang menjadi kewenangan Polri tidak melanggar
prinsip due process of law,” katanya
dalam keterangannya, Senin (6/4).

Hal tersebut diutarakan Arsul
terkait perintah Kapolri agar jajarannya melakukan penindakan terhadap penyebar
hoaks terhadap Presiden dan pejabat Pemerintah soal penanganan COVID-19, dan
juga penangkapan 18 orang oleh Polda Metro Jaya yang diduga melanggar PSBB pada
Jumat (3/4) malam.

“Proses penegakan hukum Polri
jangan menimbulkan ketegangan sosial baru di masyarakat yang tengah resah
menghadapi wabah COVID-19,” katanya.

Diingatkan Arsul, soal penindakan
terhadap terhadap pelaku ujaran kebencian melalui media sosial Polri telah
memiliki Surat Edaran Kapolri No. 6 Tahun 2015.

“Surat Edaran Kapolri itu isinya
meminta agar jajaran Polri melakukan langkah-langkah preventif terlebih dahulu
dalam menghadapi kasus-kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoaks sebelum
melakukan proses hukum,” ujarnya.

Menurutnya, apa yang ada dalam SE
Kaplori harus diterapkan secara baik. Sehingga tidak menimbulkan kesan Polri
sewenang-wenang dalam penegakan hukum.

Wakil Ketua MPR itu juga
mengatakan hingga saat ini belum ada daerah yang ditetapkan sebagai PSBB, PP No
21 tahun 2020 tentang PSBB.

“Polri harusnya meminta orang
yang berkerumun untuk bubar dan kalau mereka melawan atau mengabaikan, baru
bisa digunakan pasal KUHP tentang tidak menaati perintah pejabat yang sah,”
ungkapnya.

Setali tiga uang yang diungkapkan
anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto. Politisi Demokrat ini menilai langkah
Polri dalam penegakan hukum di tengah masyarakat menghadapi pandemi COVID-19
justru menimbulkan keresahan.

Baca Juga :  Wow, Gaji Ahok di Pertamina Rp3,2 Miliar Sebulan?

“Penegakan hukum biar berjalan
sesuai aturan yang berlaku, tidak perlu dibumbui dengan hal-hal lain yang tidak
relevan apalagi menimbulkan keresahan atau berpotensi intimidatif,” katanya.

Dijelaskannya, penegakan hukum
idealnya memang harus dilakukan dengan cara tanpa tebang pilih dan profesional
serta akuntabel.

“Namun tak boleh dilakukan dengan
basis intimidatif dan menimbulkan nuansa kebatinan ketertekanan masyarakat
terhadap penegak hukum. Apalagi kebebasan yang bertanggung jawab adalah hak
setiap warga negara,” ujar Wakil Ketua Fraksi Demokrat ini.

Kolega Didik di Komisi III, M
Nasir Djamil juga mengamini. Menurutnya Polri dalam langkah penegakan hukum
harus mengedepan langkah persuasif dan bijak.

“Tidak bisa kita pungkiri bahwa
ada kabar bohong soal COVID-19 yang merugikan masyarakat dan itu harus
ditindak. Sedangkan warga negara yang kritis mengkritik kebijakan negara dalam
mengatasi pandemi ini, harus dlindungi, Polri harus bersama rakyat,” kata
politisi PKS ini.

Dia meminta Polri tetap
menjunjung tinggi fungsi pelayanan, pengayom, dan pelindung rakyat dengan
mengedepankan aspek profesionalitas, modern, dan terpercaya. Terkait soal
aturan penghinaan presiden dalam Surat Telegram Kapolri itu, tentu harus
hati-hati dalam penerapannya karena selain mengandung multitafsir dan seperti
“pasal karet”, ketentuan itu juga sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

“Indonesia ini negara hukum yang
demokratis, karena itu pro dan kontra terhadap kebijakan negara dalam mengatasi
wabah COVID-19 adalah hal yang lumrah,” katanya.

Menanggapi hal tersebut Kepala
Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Raden
Prabowo Argo Yowono mengatakan pihaknya telah melakukan sejumlah upaya
pencegahan penyebaran wabah COVID-19 dengan cara yang humanis.

“Kegiatan pencegahan yang
dilakukan kepolisian, yaitu pencegahan yang humanis,” katanya di Kantor Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Kegiatan-kegiatan pencegahan yang
dilakukan antara lain pembubaran warga yang berkerumun yang tidak mengindahkan
imbauan untuk menjaga jarak.

“Di Jawa Timur (Jatim) misalnya.
Di Jatim ada kegiatan pembubaran di beberapa lokasi, tapi karena masih ngeyel
kita bawa ke kantor polisi,” katanya.

Baca Juga :  Kemenag Kembali Buka Layanan KUA

Ia mengatakan jajaran di Jatim,
baik Polres maupun Polda, mencatat ada sekitar 3.000 warga yang diminta untuk
membuat surat pernyataan untuk tidak lagi berkerumun di tengah wabah COVID-19,
yang penularannya melalui droplet cairan batuk atau bersin dari penderita ke
orang lain.

“Untuk pembubaran massa atau
kerumunan masyarakat ada 10.873 kali kami bubarkan,” katanya.

Argo melanjutkan pihaknya juga
tetap mengedepankan physical distancing atau pembatasan jarak fisik antarsatu
individu dengan lainnya selama edukasi dan penegakan hukum kepada masyarakat
guna mencegah penularan COVID-19.

“Masyarakat yang sudah kami
beritahu dan masih membandel akan di bawa ke kantor polisi dengan tetap
melakukan physical distancing,” katanya.

Ia mengatakan dalam upaya memutus
mata rantai penularan virus corona penyebab COVID-19, Polri bekerja sama dengan
TNI dan pemerintah daerah.

Argo mengatakan aparat kepolisian
sebelumnya telah melakukan sejumlah edukasi kepada masyarakat baik menggunakan
media sosial, spanduk, baliho dan sebagainya terkait Maklumat Kapolri nomor:
Mak/2/III/2020 tentang kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah dalam penanganan
penyebaran COVID-19.

Hal itu termasuk memberikan
kesadaran dan pengetahuan kepada masyarakat yang masih berkumpul. Sebelum
melakukan penindakan, polisi terlebih dahulu menegur satu hingga tiga kali.

“Apabila masyarakat masih
membandel, maka akan di bawa ke kantor polisi untuk diproses lebih lanjut. Di
kantor polisi pun aparat tetap menerapkan physical distancing. Kemarin itu ada
18 orang yang kita proses di Polda Metro Jaya karena mereka membandel saat
diberitahu petugas,” kata Argo.

Ia mengatakan masyarakat harus
memahami dan mengetahui ada aturan yang mesti ditaati dan dipedomani serta
tertulis di dalam KUHP.

Jauh hari sebelum maklumat
Kapolri nomor: Mak/2/III/2020 tentang kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah
dalam penanganan penyebaran COVID-19 dikeluarkan, pemerintah sudah bisa
menerapkan aturan tersebut.

“Aturan itu sudah kita lakukan
tidak hanya karena situasi pandemi COVID-19,” katanya.

Terpopuler

Artikel Terbaru