25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Presiden Instruksikan Pemda Beri Sanksi Pelanggar Protokol Kesehatan

KALTENGPOS.CO – Presiden Joko Widodo akhirnya mengeluarkan
instruksi presiden (inpres) terkait sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan.
Inpres Nomor 6 Tahun 2020 itu diteken Selasa (4/8). Diberi judul Peningkatan
Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Penanganan
Covid-19.

Inpres tersebut menginstruksikan
beberapa hal. Khususnya bagi para gubernur, bupati, dan wali kota selaku
pelaksana teknis di daerah. Mereka tidak hanya diminta meningkatkan sosialisasi
penerapan protokol kesehatan secara masif. Kepala daerah juga diperintah
membuat peraturan gubernur, bupati, atau wali kota yang memuat ketentuan
pendisiplinan itu.

Ketentuannya, antara lain,
kewajiban mengenakan masker yang menutupi hidung, mulut, hingga dagu. Kewajiban
itu berlaku bila seseorang keluar dari rumah atau berinteraksi dengan siapa pun
yang tidak diketahui status kesehatannya. Kemudian kewajiban mencuci tangan,
jaga jarak, serta menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.

Kewajiban mematuhi protokol
kesehatan tersebut berlaku bagi seluruh masyarakat. Baik perorangan, pelaku
usaha, pengelola, penyelenggara, maupun penanggung jawab tempat dan fasilitas
umum. Fasilitas umum yang dimaksud adalah perkantoran atau tempat usaha,
industri, institusi pendidikan, tempat ibadah, infrastruktur transportasi umum,
hingga kendaraan pribadi.

Juga harus diterapkan di pasar
modern dan tradisional, apotek, warung makan, hingga restoran, termasuk
pedagang kaki lima. Berlaku pula di hotel, tempat wisata, faskes, dan ruang
publik lainnya.

Baca Juga :  Hasil Audit BPK, PBS Kelapa Sawit Banyak Salahi Aturan

Ada empat jenis sanksi yang
diatur dalam inpres tersebut, yakni teguran lisan dan tertulis, kerja sosial,
serta denda administratif. Juga sanksi khusus bagi tempat usaha berupa penghentian
atau penutupan sementara kegiatan usaha. Nanti penerapan sanksi itu
dikoordinasikan dengan kementerian dan lembaga terkait serta TNI dan Polri.

Sementara itu, Direktur
Standardisasi Obat Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif Togi
Junuce Hutadjulu menjelaskan bahwa pengembangan vaksin Covid-19 sedang
berjalan. ”BPOM mengawal untuk memastikan bahwa obat ini nantinya aman
digunakan dalam rangka pencegahan ataupun treatment,” ucapnya.

Togi menerangkan, uji klinis akan
dilakukan pada kurang lebih 1.620 subjek di pertengahan bulan Agustus ini.
”Yang melakukan adalah Universitas Padjadjaran, fakultas kedokteran. Ini
merupakan kerja sama dengan Bio Farma,” katanya.

Bio Farma diperkirakan mengajukan
izin edar vaksin pada Januari 2021 dan diharapkan persetujuan tersebut dapat
dikeluarkan pada Februari 2021. Merespons banyaknya klaim soal obat Covid-19,
Togi meminta masyarakat tetap waspada.

Untuk menjadi sebuah obat, terang
Togi, ada berbagai prosedur yang harus dilewati. Pertama, proses penelitian
guna mencari molekul yang potensial digunakan. Setelah molekul didapatkan,
dilakukan uji laboratorium untuk menetapkan karakterisasi serta spesifikasinya.

Kalau sudah kelihatan ada potensi
untuk manfaat dan keamanannya, akan pindah ke uji praklinis. Uji praklinis
dilakukan pada hewan untuk membuktikan keamanan obat tersebut sehingga dapat
dilanjutkan ke uji klinis.

Baca Juga :  Sidang Isbat Tentukan Awal Zulhijah Digelar 1 Agustus, Ini 90 Titik Pa

Togi menjelaskan, terdapat tiga fase
dalam uji klinis. Fase kesatu untuk memastikan keamanan. Fase kedua untuk
memastikan efektivitas. Fase ketiga untuk mengonfirmasi keamanan dan khasiat
obat tersebut.

Penghapusan Rapid Test

Satgas Penanganan Covid-19 masih
membicarakan penghapusan rapid test sebagai syarat orang bepergian. Juru Bicara
Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyatakan, pembahasan masih
berlangsung. Dia menolak menjelaskan latar belakang adanya wacana penghapusan
rapid test. ”Nanti akan disampaikan kalau sudah jelas semuanya,” ungkap dia.

Pakar epidemiologi Universitas
Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, jika pemerintah menghapus syarat
penggunaan rapid test, harus ada penggantinya. Sebab, pengukuran suhu tubuh tak
mencerminkan kondisi penumpang. ”Diganti PCR lebih baik,” tuturnya.

Yunis menyatakan bahwa wacana
penghapusan persyaratan rapid test makin menunjukkan bahwa pemerintah
menginginkan pertumbuhan ekonomi. Namun, penanggulangan Covid-19 diabaikan. Dia
menyadari, karena Covid-19 ini semua ambruk. Tak terkecuali maskapai. ”Kalau
syarat PCR, mahal. Selain itu, belum semua daerah laboratoriumnya mampu,”
ungkapnya.

Yunis mengingatkan bahwa
pemerintah tak boleh mengejar perekonomian saja. Sebab, pemerintah memiliki
tanggung jawab untuk menurunkan wabah.

KALTENGPOS.CO – Presiden Joko Widodo akhirnya mengeluarkan
instruksi presiden (inpres) terkait sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan.
Inpres Nomor 6 Tahun 2020 itu diteken Selasa (4/8). Diberi judul Peningkatan
Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Penanganan
Covid-19.

Inpres tersebut menginstruksikan
beberapa hal. Khususnya bagi para gubernur, bupati, dan wali kota selaku
pelaksana teknis di daerah. Mereka tidak hanya diminta meningkatkan sosialisasi
penerapan protokol kesehatan secara masif. Kepala daerah juga diperintah
membuat peraturan gubernur, bupati, atau wali kota yang memuat ketentuan
pendisiplinan itu.

Ketentuannya, antara lain,
kewajiban mengenakan masker yang menutupi hidung, mulut, hingga dagu. Kewajiban
itu berlaku bila seseorang keluar dari rumah atau berinteraksi dengan siapa pun
yang tidak diketahui status kesehatannya. Kemudian kewajiban mencuci tangan,
jaga jarak, serta menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.

Kewajiban mematuhi protokol
kesehatan tersebut berlaku bagi seluruh masyarakat. Baik perorangan, pelaku
usaha, pengelola, penyelenggara, maupun penanggung jawab tempat dan fasilitas
umum. Fasilitas umum yang dimaksud adalah perkantoran atau tempat usaha,
industri, institusi pendidikan, tempat ibadah, infrastruktur transportasi umum,
hingga kendaraan pribadi.

Juga harus diterapkan di pasar
modern dan tradisional, apotek, warung makan, hingga restoran, termasuk
pedagang kaki lima. Berlaku pula di hotel, tempat wisata, faskes, dan ruang
publik lainnya.

Baca Juga :  Hasil Audit BPK, PBS Kelapa Sawit Banyak Salahi Aturan

Ada empat jenis sanksi yang
diatur dalam inpres tersebut, yakni teguran lisan dan tertulis, kerja sosial,
serta denda administratif. Juga sanksi khusus bagi tempat usaha berupa penghentian
atau penutupan sementara kegiatan usaha. Nanti penerapan sanksi itu
dikoordinasikan dengan kementerian dan lembaga terkait serta TNI dan Polri.

Sementara itu, Direktur
Standardisasi Obat Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif Togi
Junuce Hutadjulu menjelaskan bahwa pengembangan vaksin Covid-19 sedang
berjalan. ”BPOM mengawal untuk memastikan bahwa obat ini nantinya aman
digunakan dalam rangka pencegahan ataupun treatment,” ucapnya.

Togi menerangkan, uji klinis akan
dilakukan pada kurang lebih 1.620 subjek di pertengahan bulan Agustus ini.
”Yang melakukan adalah Universitas Padjadjaran, fakultas kedokteran. Ini
merupakan kerja sama dengan Bio Farma,” katanya.

Bio Farma diperkirakan mengajukan
izin edar vaksin pada Januari 2021 dan diharapkan persetujuan tersebut dapat
dikeluarkan pada Februari 2021. Merespons banyaknya klaim soal obat Covid-19,
Togi meminta masyarakat tetap waspada.

Untuk menjadi sebuah obat, terang
Togi, ada berbagai prosedur yang harus dilewati. Pertama, proses penelitian
guna mencari molekul yang potensial digunakan. Setelah molekul didapatkan,
dilakukan uji laboratorium untuk menetapkan karakterisasi serta spesifikasinya.

Kalau sudah kelihatan ada potensi
untuk manfaat dan keamanannya, akan pindah ke uji praklinis. Uji praklinis
dilakukan pada hewan untuk membuktikan keamanan obat tersebut sehingga dapat
dilanjutkan ke uji klinis.

Baca Juga :  Sidang Isbat Tentukan Awal Zulhijah Digelar 1 Agustus, Ini 90 Titik Pa

Togi menjelaskan, terdapat tiga fase
dalam uji klinis. Fase kesatu untuk memastikan keamanan. Fase kedua untuk
memastikan efektivitas. Fase ketiga untuk mengonfirmasi keamanan dan khasiat
obat tersebut.

Penghapusan Rapid Test

Satgas Penanganan Covid-19 masih
membicarakan penghapusan rapid test sebagai syarat orang bepergian. Juru Bicara
Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyatakan, pembahasan masih
berlangsung. Dia menolak menjelaskan latar belakang adanya wacana penghapusan
rapid test. ”Nanti akan disampaikan kalau sudah jelas semuanya,” ungkap dia.

Pakar epidemiologi Universitas
Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, jika pemerintah menghapus syarat
penggunaan rapid test, harus ada penggantinya. Sebab, pengukuran suhu tubuh tak
mencerminkan kondisi penumpang. ”Diganti PCR lebih baik,” tuturnya.

Yunis menyatakan bahwa wacana
penghapusan persyaratan rapid test makin menunjukkan bahwa pemerintah
menginginkan pertumbuhan ekonomi. Namun, penanggulangan Covid-19 diabaikan. Dia
menyadari, karena Covid-19 ini semua ambruk. Tak terkecuali maskapai. ”Kalau
syarat PCR, mahal. Selain itu, belum semua daerah laboratoriumnya mampu,”
ungkapnya.

Yunis mengingatkan bahwa
pemerintah tak boleh mengejar perekonomian saja. Sebab, pemerintah memiliki
tanggung jawab untuk menurunkan wabah.

Terpopuler

Artikel Terbaru