33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Memulung Barang di Australia, Sampahmu (Mungkin) Adalah Harta Karunku

Ada barang yang dibuang sayang. Tapi ada
juga barang yang sayang kalau tidak dipungut lagi. Ini cerita 
SATRYA WIBAWA, staf pengajar
Departemen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga Surabaya, mahasiswa doktoral
di Curtin University, Perth, Western Australia

SEBUAH WhatsApp masuk
ke telepon genggam saya: Applecross sudah buang-buangan, segera
meluncur biar tidak keduluan
.

Saya bergegas
menyiapkan diri, mengosongkan mobil, menyiapkan cairan disinfektan, dan sarung
tangan. Mobil saya pacu ke wilayah Applecross, sekitar lima menit dari arah
tempat tinggal saya. Di daerah itu, di kiri dan kanan jalan, sudah terlihat
tumpukan barang-barang yang dibuang.

Akhirnya, di
depan sebuah ru­mah, saya melihat sebuah rak buku. Terlihat masih bagus. Saya
hentikan mobil dan bergegas turun untuk melihat kondisi rak buku tersebut.
Masih bagus, walau penuh dengan stiker.

Saya
memasukkan rak buku itu ke mobil. Lalu, berangkat lagi ke tumpukan barang yang
lain. Saya belum menemukan kursi makan. Saya lanjutkan lagi mencari.

Masalah Sampah

Iya, saya
memulung barang bekas. Kebiasaan itu saya jalani selama menjadi penduduk
sementara di Perth, Western Australia, selama em­pat tahun belakangan ini.
Bukan hal baru sebenarnya buat sa­ya. Saat saya menem­puh pendidik­an S-2 di
kota yang sama, 15 tahun yang lalu, saya juga sudah memulung.

Baca Juga :  Kembali Kampanyekan Masker, Belanda Juga Pertimbangkan Lockdown

Dan, itu
bukan hal tabu. Pelakunya bisa siapa pun. Mahasiswa iya. Masyarakat luas di
kota berpenduduk lebih dari 2 juta orang tersebut pun begitu. Ada sebuah
adagium populer: Your trash is my treasure.
Sampahmu adalah harta karunku.

Pemikiran dan
pemahaman mengenai konsep recycle dan reuse sudah
menjadi gaya hidup jamak bagi sebagian besar masyarakat. Artinya, daripada
menjadi sampah yang mengotori bumi, kenapa tidak dimanfaatkan orang lain yang
mungkin lebih memerlukan.

Berkali-kali
memulung di banyak tempat membuat saya jadi paham perbedaan kualitas barang di
setiap lokasi. Di daerah yang banyak kos maha­siswa atau pendatang, biasanya
kualitas barang yang dibuang sudah parah. Bisa jadi karena dulu juga mendapat
barang itu dari memulung.

Di lokasi
yang stratanya lebih tinggi, barang buangan bisa lebih bagus. Mungkin karena
mereka ingin ganti perabot. Pasti jadi rebutan.

Baca Juga :  Joe Biden Disuntik Dosis Kedua Vaksin Covid-19 dari Pfizer-BioNTech

Selama
memulung, kami harus tetap beretika. Misalnya saja, tidak boleh asal
mengobrak-abrik tumpukan barang. Pilih dan letakkan kembali dengan rapi. Tidak
sampai malah mengotori halaman pemilik rumah.

Saya pernah
mengambil sepeda kecil yang masih bagus. Lumayan buat anak saya. Saat itu
pemilik rumah juga ada di luar. Saya bertanya lagi, memastikan bahwa sepeda
tersebut memang dibuang. Dia meyakinkan saya. Setelah berbasa-basi dan
berterima kasih, saya masukkan ke mobil.

Tiba-tiba,
dari dalam rumah, keluar seorang anak kecil. Dia berteriak sambal menangis
kencang, “That
is my bike
“. Sambil menangis sesenggukan, dia meminta kembali
sepedanya.

Saya jadi
serbasalah. Ibunya terlihat merasa bersalah, kepada saya maupun ke anaknya.
Karena kasihan, saya kembalikan sepeda itu. Si ibu berterima kasih sambal
berbisik meminta saya kembali sore harinya untuk mengambil sepeda itu. Saya
menyanggupi.

Namun, saya
tidak pernah da­tang lagi. Iya kalau anaknya sudah ikhlas. Kalau belum, kan kasihan.
Itu sudah untung ada ibunya di luar. Kalau si ibu tidak ada, bisa jadi saya
ditangkap karena di­sangka maling sepeda.(jpc)

Ada barang yang dibuang sayang. Tapi ada
juga barang yang sayang kalau tidak dipungut lagi. Ini cerita 
SATRYA WIBAWA, staf pengajar
Departemen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga Surabaya, mahasiswa doktoral
di Curtin University, Perth, Western Australia

SEBUAH WhatsApp masuk
ke telepon genggam saya: Applecross sudah buang-buangan, segera
meluncur biar tidak keduluan
.

Saya bergegas
menyiapkan diri, mengosongkan mobil, menyiapkan cairan disinfektan, dan sarung
tangan. Mobil saya pacu ke wilayah Applecross, sekitar lima menit dari arah
tempat tinggal saya. Di daerah itu, di kiri dan kanan jalan, sudah terlihat
tumpukan barang-barang yang dibuang.

Akhirnya, di
depan sebuah ru­mah, saya melihat sebuah rak buku. Terlihat masih bagus. Saya
hentikan mobil dan bergegas turun untuk melihat kondisi rak buku tersebut.
Masih bagus, walau penuh dengan stiker.

Saya
memasukkan rak buku itu ke mobil. Lalu, berangkat lagi ke tumpukan barang yang
lain. Saya belum menemukan kursi makan. Saya lanjutkan lagi mencari.

Masalah Sampah

Iya, saya
memulung barang bekas. Kebiasaan itu saya jalani selama menjadi penduduk
sementara di Perth, Western Australia, selama em­pat tahun belakangan ini.
Bukan hal baru sebenarnya buat sa­ya. Saat saya menem­puh pendidik­an S-2 di
kota yang sama, 15 tahun yang lalu, saya juga sudah memulung.

Baca Juga :  Kembali Kampanyekan Masker, Belanda Juga Pertimbangkan Lockdown

Dan, itu
bukan hal tabu. Pelakunya bisa siapa pun. Mahasiswa iya. Masyarakat luas di
kota berpenduduk lebih dari 2 juta orang tersebut pun begitu. Ada sebuah
adagium populer: Your trash is my treasure.
Sampahmu adalah harta karunku.

Pemikiran dan
pemahaman mengenai konsep recycle dan reuse sudah
menjadi gaya hidup jamak bagi sebagian besar masyarakat. Artinya, daripada
menjadi sampah yang mengotori bumi, kenapa tidak dimanfaatkan orang lain yang
mungkin lebih memerlukan.

Berkali-kali
memulung di banyak tempat membuat saya jadi paham perbedaan kualitas barang di
setiap lokasi. Di daerah yang banyak kos maha­siswa atau pendatang, biasanya
kualitas barang yang dibuang sudah parah. Bisa jadi karena dulu juga mendapat
barang itu dari memulung.

Di lokasi
yang stratanya lebih tinggi, barang buangan bisa lebih bagus. Mungkin karena
mereka ingin ganti perabot. Pasti jadi rebutan.

Baca Juga :  Joe Biden Disuntik Dosis Kedua Vaksin Covid-19 dari Pfizer-BioNTech

Selama
memulung, kami harus tetap beretika. Misalnya saja, tidak boleh asal
mengobrak-abrik tumpukan barang. Pilih dan letakkan kembali dengan rapi. Tidak
sampai malah mengotori halaman pemilik rumah.

Saya pernah
mengambil sepeda kecil yang masih bagus. Lumayan buat anak saya. Saat itu
pemilik rumah juga ada di luar. Saya bertanya lagi, memastikan bahwa sepeda
tersebut memang dibuang. Dia meyakinkan saya. Setelah berbasa-basi dan
berterima kasih, saya masukkan ke mobil.

Tiba-tiba,
dari dalam rumah, keluar seorang anak kecil. Dia berteriak sambal menangis
kencang, “That
is my bike
“. Sambil menangis sesenggukan, dia meminta kembali
sepedanya.

Saya jadi
serbasalah. Ibunya terlihat merasa bersalah, kepada saya maupun ke anaknya.
Karena kasihan, saya kembalikan sepeda itu. Si ibu berterima kasih sambal
berbisik meminta saya kembali sore harinya untuk mengambil sepeda itu. Saya
menyanggupi.

Namun, saya
tidak pernah da­tang lagi. Iya kalau anaknya sudah ikhlas. Kalau belum, kan kasihan.
Itu sudah untung ada ibunya di luar. Kalau si ibu tidak ada, bisa jadi saya
ditangkap karena di­sangka maling sepeda.(jpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru