28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Selama Pandemi Corona, Peredaran Obat dan Alat Medis Palsu Meningkat

ORGANISASI Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO)
mengatakan, bahwa selama wabah virus corona (Covid-19) menjangkit ke hampir
seluruh negara di dunia, angka kejahatan pada sektor farmasi meningkat.

Baru-baru ini, unit Interpol
untuk melawan kejahatan farmasi global telah melakukan 121 penangkapan di 90
negara selama tujuh hari, yang disertai penyitaan terhadap obat-obatan palsu
dan berbahaya senilai USD14 juta.

Sekjen Interpol Jurgen Stock
mengatakan, pada saat ini di seluruh dunia orang menumpuk persediaan obat-obatan
yang mereka anggap penting. Namun, dengan pembatasan wilayah di dua negara
produsen obat terbesar di dunia, Cina dan India, permintaan kini melebihi
pasokan. Maka meroketlah sirkulasi obat-obatan palsu.

Dari Malaysia hingga Mozambik,
petugas kepolisian menyita puluhan ribu masker dan obat-obatan palsu, beberapa
di antaranya diklaim mampu menyembuhkan Covid-19.

“Perdagangan ilegal alat medis
selama krisis seperti ini benar-benar memperlihatkan tiadanya penghargaan
terhadap hidup orang,” kata Stock, Senin (13/4).

WHO juga menyatakan, bahwa
perdagangan obat palsu termasuk di dalamnya obat tercemar, obat tanpa bahan
aktif, atau obat kadaluwarsa nilainya bisa mencapai US$30 miliar di
negara-negara miskin dan negara berpendapatan menengah.

“Hasil terbaik dari obat ini
adalah, mereka tidak menyembuhkan apa-apa. Bahkan, hasil terburuk dari obat ini
bisa merugikan karena bisa jadi obat-obatan itu beracun,” kata Pernette
Bourdillion Esteve, anggota tim WHO yang mengurusi obat-obatan palsu.

Menurut Esteve, nilai dari
industri farmasi global adalah triliunan dolar AS. Rantai pasok terbentang
lebar dari pabrikan di China dan India, pengemasan di Eropa, Amerika Selatan
atau Asia, hingga distributor pengirim obat ke seluruh dunia.

Baca Juga :  Diduga Korban Malpraktek, Miss Brasil 2018 Meninggal Dunia

“Mungkin tak ada yang lebih
terglobalisasi dibandingkan obat-obatan. Dan ketika banyak negara mengalami
penutupan wilayah, rantai pasok global mulai berantakan,” ujarnya.

Sementara itu, beberapa
perusahaan farmasi di India berkata kepada BBC, mereka kini menjalankan 50-60%
kapasitas produksi. India memasok 20% dari obat-obatan dasar di benua Afrika,
dan dengan ini maka banyak negara di Afrika akan terpengaruh.

Ephraim Phiri, seorang apoteker
di Lusaka, Zambia menyatakan ia sudah merasakan dampak itu. “Kami sudah
kehabisan obat-obatan, dan tidak bisa memasok gantinya. Kami tak bisa apa-apa.
Susah sekali dapat pasokan, terutama obat seperti anti biotik dan obat anti
malaria,” katanya.

Produser dan pemasok, kata Phiri
juga kepayahan karena bahan mentah untuk membuat tablet menjadi semakin mahal.
Beberapa pabrik harus tutup sama sekali.

“Satu produser di Pakistan kami
biasa membeli bahan mentah untuk obat anti malaria, hydrochloroquine, sekitar
USD100 per kilogram. Kini harganya USD1.150 per kilogram,” ungkapnya .

Dengan semakin banyaknya negara
melakukan pembatasan wilayah, tidak hanya pengurangan produksi yang bermasalah.
Peningkatan permintaan juga jadi persoalan karena orang semakin cemas menumpuk
obat-obatan dasar.

Berkurangnya pasokan dan
peningkatan permintaan jadi kombinasi buruk, membuat WHO mengingatkan bahayanya
produksi dan penjualan obat-obatan palsu.

Baca Juga :  Warbiasyaaa..! Pria Ini Tinggal Bersama 4 Istri dan 16 Wanita Simpanan

“Saat pasokan tak bisa memenuhi
permintaan, maka akan terbentuk situasi di mana obat-obatan palsu berkualitas
rendah mengisi permintaan itu,” sambung Esteve

Dapat diketahui, sejak Presiden
Trump menyatakan adanya potensi chloroquine dan turunannya seperti
hydroxychloroquine dalam menyembuhkan virus corona, ada lonjakan permintaan
terhadap obat malaria ini.

WHO berulangkali mengatakan,
tidak ada bukti pasti bahwa chloroquine atau hydroxychloroquine bisa dipakai
melawan virus penyebab Covid-19.

“Obat anti malaria, apa ruginya?
Minum saja obat itu,” kata Trump.

Saat permintaan melonjak, BBC
menemukan sejumlah besar chloroquine palsu diedarkan di Republik Demokratik
Kongo dan Kamerun. Biasanya obat itu dijual seharga USD40 untuk 1.000 tablet,
tapi kini apotik di Kongo menjualnya seharga USD250. Obat itu dijual dengan
label diproduksi di Belgia oleh ‘Brown and Burk Pharmaceutical limited’.

“Kami mengontak ‘Brown and Burk’,
sebuah perusahaan obat yang terdaftar di Inggris, dan mereka mengatakan “tak
berurusan dengan obat tersebut. Kami tidak membuatnya. Obat-obatan itu palsu,”
kata Esteve.

Dengan terus berlanjutnya
pandemi, Profesor Paul Newton, seorang ahli obat palsu di University of Oxford,
mengingatkan peredaran obat palsu dan berbahaya hanya bisa terus meningkat
apabila berbagai negara di dunia tidak bersatu melawannya.

“Kita menghadapi bahaya pandemi
paralel, virus dan obat-obatan palsu berbahaya. Kecuali apabila kita semua
memastikan adanya langkah global terpadu. Jika tidak,kita akan kehilangan
keunggulan dari obat-obatan modern,” pungkasnya.

ORGANISASI Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO)
mengatakan, bahwa selama wabah virus corona (Covid-19) menjangkit ke hampir
seluruh negara di dunia, angka kejahatan pada sektor farmasi meningkat.

Baru-baru ini, unit Interpol
untuk melawan kejahatan farmasi global telah melakukan 121 penangkapan di 90
negara selama tujuh hari, yang disertai penyitaan terhadap obat-obatan palsu
dan berbahaya senilai USD14 juta.

Sekjen Interpol Jurgen Stock
mengatakan, pada saat ini di seluruh dunia orang menumpuk persediaan obat-obatan
yang mereka anggap penting. Namun, dengan pembatasan wilayah di dua negara
produsen obat terbesar di dunia, Cina dan India, permintaan kini melebihi
pasokan. Maka meroketlah sirkulasi obat-obatan palsu.

Dari Malaysia hingga Mozambik,
petugas kepolisian menyita puluhan ribu masker dan obat-obatan palsu, beberapa
di antaranya diklaim mampu menyembuhkan Covid-19.

“Perdagangan ilegal alat medis
selama krisis seperti ini benar-benar memperlihatkan tiadanya penghargaan
terhadap hidup orang,” kata Stock, Senin (13/4).

WHO juga menyatakan, bahwa
perdagangan obat palsu termasuk di dalamnya obat tercemar, obat tanpa bahan
aktif, atau obat kadaluwarsa nilainya bisa mencapai US$30 miliar di
negara-negara miskin dan negara berpendapatan menengah.

“Hasil terbaik dari obat ini
adalah, mereka tidak menyembuhkan apa-apa. Bahkan, hasil terburuk dari obat ini
bisa merugikan karena bisa jadi obat-obatan itu beracun,” kata Pernette
Bourdillion Esteve, anggota tim WHO yang mengurusi obat-obatan palsu.

Menurut Esteve, nilai dari
industri farmasi global adalah triliunan dolar AS. Rantai pasok terbentang
lebar dari pabrikan di China dan India, pengemasan di Eropa, Amerika Selatan
atau Asia, hingga distributor pengirim obat ke seluruh dunia.

Baca Juga :  Diduga Korban Malpraktek, Miss Brasil 2018 Meninggal Dunia

“Mungkin tak ada yang lebih
terglobalisasi dibandingkan obat-obatan. Dan ketika banyak negara mengalami
penutupan wilayah, rantai pasok global mulai berantakan,” ujarnya.

Sementara itu, beberapa
perusahaan farmasi di India berkata kepada BBC, mereka kini menjalankan 50-60%
kapasitas produksi. India memasok 20% dari obat-obatan dasar di benua Afrika,
dan dengan ini maka banyak negara di Afrika akan terpengaruh.

Ephraim Phiri, seorang apoteker
di Lusaka, Zambia menyatakan ia sudah merasakan dampak itu. “Kami sudah
kehabisan obat-obatan, dan tidak bisa memasok gantinya. Kami tak bisa apa-apa.
Susah sekali dapat pasokan, terutama obat seperti anti biotik dan obat anti
malaria,” katanya.

Produser dan pemasok, kata Phiri
juga kepayahan karena bahan mentah untuk membuat tablet menjadi semakin mahal.
Beberapa pabrik harus tutup sama sekali.

“Satu produser di Pakistan kami
biasa membeli bahan mentah untuk obat anti malaria, hydrochloroquine, sekitar
USD100 per kilogram. Kini harganya USD1.150 per kilogram,” ungkapnya .

Dengan semakin banyaknya negara
melakukan pembatasan wilayah, tidak hanya pengurangan produksi yang bermasalah.
Peningkatan permintaan juga jadi persoalan karena orang semakin cemas menumpuk
obat-obatan dasar.

Berkurangnya pasokan dan
peningkatan permintaan jadi kombinasi buruk, membuat WHO mengingatkan bahayanya
produksi dan penjualan obat-obatan palsu.

Baca Juga :  Warbiasyaaa..! Pria Ini Tinggal Bersama 4 Istri dan 16 Wanita Simpanan

“Saat pasokan tak bisa memenuhi
permintaan, maka akan terbentuk situasi di mana obat-obatan palsu berkualitas
rendah mengisi permintaan itu,” sambung Esteve

Dapat diketahui, sejak Presiden
Trump menyatakan adanya potensi chloroquine dan turunannya seperti
hydroxychloroquine dalam menyembuhkan virus corona, ada lonjakan permintaan
terhadap obat malaria ini.

WHO berulangkali mengatakan,
tidak ada bukti pasti bahwa chloroquine atau hydroxychloroquine bisa dipakai
melawan virus penyebab Covid-19.

“Obat anti malaria, apa ruginya?
Minum saja obat itu,” kata Trump.

Saat permintaan melonjak, BBC
menemukan sejumlah besar chloroquine palsu diedarkan di Republik Demokratik
Kongo dan Kamerun. Biasanya obat itu dijual seharga USD40 untuk 1.000 tablet,
tapi kini apotik di Kongo menjualnya seharga USD250. Obat itu dijual dengan
label diproduksi di Belgia oleh ‘Brown and Burk Pharmaceutical limited’.

“Kami mengontak ‘Brown and Burk’,
sebuah perusahaan obat yang terdaftar di Inggris, dan mereka mengatakan “tak
berurusan dengan obat tersebut. Kami tidak membuatnya. Obat-obatan itu palsu,”
kata Esteve.

Dengan terus berlanjutnya
pandemi, Profesor Paul Newton, seorang ahli obat palsu di University of Oxford,
mengingatkan peredaran obat palsu dan berbahaya hanya bisa terus meningkat
apabila berbagai negara di dunia tidak bersatu melawannya.

“Kita menghadapi bahaya pandemi
paralel, virus dan obat-obatan palsu berbahaya. Kecuali apabila kita semua
memastikan adanya langkah global terpadu. Jika tidak,kita akan kehilangan
keunggulan dari obat-obatan modern,” pungkasnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru