26.3 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Rekayasa Sosial Budaya Literasi Era Digital di Rumah

KELUARGA adalah tempat mengukir karakter anak. Sebelum
bersinggungan dengan manusia lainnya, seorang anak akan bersinggungan dengan
anggota keluarga yang ada di rumahnya terlebih dahulu. Sehingga, perilaku dan
kemajuan anak di komunitas berikutnya (sekolah dan masyarakat) sangat
dipengaruhi oleh kebiasaan yang berlangsung di rumah.

Sulitnya membangun budaya
literasi di sekolah dan masyarakat sebenarnya berpangkal dari rumah. Budaya
literasi di rumah merupakan faktor utama yang mempengaruhi kemajuan budaya
literasi di sekolah dan masyarakat. Idealnya, anak mendapat bekal budaya
literasi  dari rumah. Selanjutnya, bekal
tersebut dibawa ke sekolah dan masyarakat. Namun, kenyataan yang terjadi justru
sebaliknya. Budaya literasi berawal dari sekolah. Selanjutnya, diharapkan berkembang
di rumah dan masyarakat. Padahal, sekolah bukan tempat pendidikan pertama dan
paling utama.

Budaya literasi identik dengan
membaca buku. Memiliki anak yang suka membaca buku merupakan idaman setiap
orang tua. Namun, tidak banyak orang tua yang menjadikan budaya membaca buku sebagai
program prioritas di rumah. Sebagian orang tua beranggapan, membaca buku  bukan kebutuhan mendasar. Akhirnya, budaya
membaca buku di rumah menjadi sebuah aktivitas yang tidak lazim ditemui.

Budaya Membaca: Internet dan Buku

Kini, budaya membaca buku di rumah
tergeser oleh kegiatan membaca melalui perangkat teknologi modern. Penghuni
rumah lebih nyaman membaca dengan memanfaatkan paket data internet melalui gawai
dan komputer daripada buku. Apalagi, keluarga yang tinggal di daerah pedalaman
seperti tempat tinggal penulis (Pedalaman Kalimantan Tengah).

Penduduk pedalaman Kalimantan
Tengah kesulitan menemukan buku untuk dibaca. Perpustakaan umum dan toko buku
jauh dari rumah mereka. Membutuhkan waktu sekitar enam jam perjalanan air untuk
berkunjung ke perpustakaan dan toko buku. Sementara, buku koleksi di
perpustakaan desa jumlahnya sangat terbatas dan jarang diperbaharui.

Dalam pengamatan penulis, masyarakat
di pedalaman Kalimantan Tengah terlihat sangat tekun membaca dan menulis. Namun,
mereka membaca dan menulis dalam obrolan whats ap dan linimasa facebook. Aktivitas
tersebut dapat dipantau dalam aktivitas group whatsapp dan pertemanan facebook.
Mereka mampu beraktivitas menikmati whats ap dan facebook  dalam waktu yang relatif lama secara terus
menerus.

Aktivitas era millennial tersebut
mampu mengubah ritme kehidupan masyarakat di lingkungan penulis. Sebelumnya,
orang tua yang mayoritas bekerja sebagai petani, setiap pukul tujuh pagi sudah
berada di ladang untuk bekerja. Setelah kehadiran smartphone, aktivitas
tersebut tertunda sekitar tiga puluh menit atau lebih.

Hal yang sama terjadi pada anak
usia sekolah. Aktivitas pertama setelah bangun tidur tidak lagi mandi dan
bersiap diri untuk sekolah. Mereka mengikuti jejak orang tua, membuka smartphone
dan membaca obrolan yang terlewati karena tidur malam.

Kehadiran smartphone  memang dapat menjadi alternatif pengganti
buku. Utamanya, bagi keluarga yang tinggal di pedalaman. Namun, membaca
langsung dari buku tetap lebih utama. Kehadiran buku tetap dibutuhkan sebagai
sarana literasi. Tulisan dalam buku memiliki makna yang mendalam, terperinci,
dan melahirkan kontruksi pemahaman yang utuh.

Baca Juga :  Gubernur Ingatkan ASN Jangan Melakukan Perjalanan Dinas Fiktif

Membaca dengan buku sangat
berbeda dengan membaca melalui internet. Seringkali, obrolan dalam whats ap, linimasa
facebook, dan penelusuran melalui aplikasi pencarian semacam google berisi
informasi yang dangkal. Informasi tersebut sangat berbahaya jika tidak
diklarifikasi dengan sumber yang lain. Apalagi, pembacanya bersikap reaktif
terhadap informasi internet yang belum tentu benar.

Realitas tersebut sangat
menakutkan bagi pengguna internet yang minim bekal literasi. Seringkali, bacaan
yang ditawarkan internet menjauhkan pembacanya dari pengetahuan, kecerdasan,
dan kebijaksanaan. Hal ini terlihat dalam momentum politik (Pemilu serentak)
beberapa waktu yang lalu. Bacaan bernilai pembelahan masyarakat muncul dengan
sangat masif dalam rangkaian kalimat yang berisi fitnah dan informasi yang
tidak benar.

Rekayasa sosial “membaca buku
berbasis keluarga di rumah” perlu disemarakkan. Segenap anggota keluarga harus
dikondisikan dan diberdayakan untuk menjadikan kegiatan membaca buku sebagai
aktivitas yang terprogram, terencana, dan terukur. Kegiatan membaca buku harus
dianggap sebagai kebutuhan mendasar. Kegiatan tersebut bermanfaat sebagai
lokomotif lahirnya kemajuan literasi di sekolah dan masyarakat.

Membaca buku harus dianggap
sebagai kebutuhan seluruh anggota keluarga, bukan hanya kewajiban anak. Orang
tua harus pro-aktif mengajak anak membaca buku di rumah. Orang tua dapat
menjadi inspirator dan fasilitator. Orang tua memberikan inspirasi dalam bentuk
keteladanan membaca buku bersama anak. Selain itu, orang tua juga memfasilitasi
bahan bacaan untuk anggota keluarganya di rumah.

Penduduk yang tinggal di desa
daerah pedalaman harus bermusyawarah membicarakan ketersediaan bahan bacaan di
lingkungan mereka. Keberadaan perpustakaan 
desa di daerah pedalaman perlu mendapat perhatian. Masyarakat  pedalaman harus bergotong royong menyediakan
bahan bacaan untuk mereka dan anak – anak mereka.

Membaca Buku di Lingkungan Keluarga

Aktivitas membaca buku dalam
lingkungan keluarga sangat penting. Aktivitas semacam ini bisa dimulai saat
pertama kali bahtera rumah tangga berlayar. Sepasang suami istri dapat
menentukan waktu dan tempat untuk aktivitas membaca buku bersama.

Waktu yang paling tepat dan ideal
adalah antara maghrib sampai dengan isya’ dan setelah sholat subuh. Mengingat, dua
kesempatan  tersebut umumnya merupakan
waktu luang. Segala hal yang mengganggu aktivitas membaca harus ditiadakan,
misalnya mematikan TV dan Smarth phone di jam tersebut.

Setelah memiliki anak balita,
aktivitas tersebut harus dikuatkan dengan beragam sentuhan kreasi dan inovasi.
Misalnya, bacakan buku cerita pada anak yang belum bisa membaca dengan
merangkul dan memeluk mereka. Hal semacam ini merupakan langkah potensial
menanamkan pada diri anak budaya membaca buku sejak dini.

Ketika anak sudah bisa membaca,
dampingi anak membaca buku. Setelah itu, ajaklah mereka duduk bersama, sambil berbincang
ringan. Tanyakanlah beberapa hal sambil bercanda dan berdiskusi singkat tentang
buku yang sudah dibaca anak.  Hal ini
akan memotivasi anak  untuk mencari
informasi  baru dan mulai melirik buku
yang lain.

Baca Juga :  Pemkab Kotim Diminta Proaktif Mobilisasi Air Bersih

Penulis pernah merasakan
pengalaman yang menarik ketika berkunjung ke rumah tetangga. Tetangga
membacakan buku cerita kepada anaknya yang masih sekolah di PAUD dan kelas satu
sekolah dasar. Kegiatan membaca buku cerita didesain seperti menonton film.
Orang tua memberikan remote TV kepada anak mereka. Remote tersebut bukan
digunakan untuk mengoperasikan TV, melainkan untuk mengatur ritme ketika
membaca buku cerita. Anak berhak untuk menekan tombol start, mengecilkan dan
membesarkan volume, dan menombol pause serta menekan tombol off. Ketika anak menekan
tombol pengurangan volume suara, maka orang tua wajib mengurangi volume
suaranya dalam membaca buku cerita. Tentunya, aktivitas ini diawali dengan
beberapa kesepakatan yang positif untuk kegiatan literasi anak.

Tujuan dari kegiatan diatas
adalah untuk meningkatkan minat baca anak. Ratnasari (2016) mengatakan bahwa
minat baca adalah suatu perhatian yang kuat dan mendalam disertai dengan
perasaan senang terhadap kegiatan membaca, sehingga dapat mengarahkan seseorang
untuk membaca dengan kemauannya sendiri. Aspek minat baca meliputi kegemaran
membaca, seberapa seringnya membaca, dan kesadaran akan manfaat membaca.

Setelah terbiasa membaca dan
tertanam minat membaca buku, barulah anak diarahkan untuk memanfaatkan
teknologi sebagai salahsatu sumber bacaan alternatif. Kegiatan membaca melalui
teknologi harus dengan pendampingan, pengawasan, dan arahan yang berkelanjutan
dari orang tua.

Orang tua harus bekerja keras
untuk mewujudkan budaya literasi keluarga di rumah mereka. Minat baca tidak di
dapat melalui proses yang instan. Kebiasaan membaca buku tidak di dapat dalam
satu hari, satu minggu, satu bulan, bahkan mungkin dalam satu tahun sekalipun.
Melainkan, membutuhkan waktu yang panjang dengan usaha yang terus menerus.

Dari Rumah ke Sekolah dan Masyarakat

Budaya literasi yang sudah
terbangun di rumah harus diperluas. Setiap keluarga yang sukses menerapkan
budaya literasi di rumahnya harus menularkan virus positif literasi kepada
lingkungan terdekatnya, misalnya rukun tetangga dan sekolah tempat anak mereka
belajar. Ketika rukun tetangga sukses menerapkan budaya literasi, langkah
selanjutnya adalah menularkan semarak lierasi ke lingkungan rukun warga,
demikian seterusnya. Dukungan pemerintah dan tokoh masyarakat setempat sangat
penting dalam proses memperluas keberhasilan budaya literasi. Akhirnya, buramnya
prestasi Indonesia dalam hal minat membaca buku dapat teratasi dengan rangkaian
langkah membangun literasi diatas.

Perlu diketahui bahwa indeks
tingkat membaca orang Indonesia diangka 0,001. Artinya, hanya 1 orang dari 1000
penduduk yang meluangkan waktunya untuk membaca buku. Fenomena ini membawa Indonesia
menempati peringkat ke 60 dari 61 negara yang dinilai dalam survey “bangsa
melek literasi” oleh Connecticut State university tahun 2016.  Bahkan, Indonesia kalah dengan Thailand (59)
dan hanya menang atas Bostwana (61). (*)

(*Penulis adalah Nominator Lomba
Jurnalistik Sahabat Keluarga Kemendikbud Tahun 2018)

KELUARGA adalah tempat mengukir karakter anak. Sebelum
bersinggungan dengan manusia lainnya, seorang anak akan bersinggungan dengan
anggota keluarga yang ada di rumahnya terlebih dahulu. Sehingga, perilaku dan
kemajuan anak di komunitas berikutnya (sekolah dan masyarakat) sangat
dipengaruhi oleh kebiasaan yang berlangsung di rumah.

Sulitnya membangun budaya
literasi di sekolah dan masyarakat sebenarnya berpangkal dari rumah. Budaya
literasi di rumah merupakan faktor utama yang mempengaruhi kemajuan budaya
literasi di sekolah dan masyarakat. Idealnya, anak mendapat bekal budaya
literasi  dari rumah. Selanjutnya, bekal
tersebut dibawa ke sekolah dan masyarakat. Namun, kenyataan yang terjadi justru
sebaliknya. Budaya literasi berawal dari sekolah. Selanjutnya, diharapkan berkembang
di rumah dan masyarakat. Padahal, sekolah bukan tempat pendidikan pertama dan
paling utama.

Budaya literasi identik dengan
membaca buku. Memiliki anak yang suka membaca buku merupakan idaman setiap
orang tua. Namun, tidak banyak orang tua yang menjadikan budaya membaca buku sebagai
program prioritas di rumah. Sebagian orang tua beranggapan, membaca buku  bukan kebutuhan mendasar. Akhirnya, budaya
membaca buku di rumah menjadi sebuah aktivitas yang tidak lazim ditemui.

Budaya Membaca: Internet dan Buku

Kini, budaya membaca buku di rumah
tergeser oleh kegiatan membaca melalui perangkat teknologi modern. Penghuni
rumah lebih nyaman membaca dengan memanfaatkan paket data internet melalui gawai
dan komputer daripada buku. Apalagi, keluarga yang tinggal di daerah pedalaman
seperti tempat tinggal penulis (Pedalaman Kalimantan Tengah).

Penduduk pedalaman Kalimantan
Tengah kesulitan menemukan buku untuk dibaca. Perpustakaan umum dan toko buku
jauh dari rumah mereka. Membutuhkan waktu sekitar enam jam perjalanan air untuk
berkunjung ke perpustakaan dan toko buku. Sementara, buku koleksi di
perpustakaan desa jumlahnya sangat terbatas dan jarang diperbaharui.

Dalam pengamatan penulis, masyarakat
di pedalaman Kalimantan Tengah terlihat sangat tekun membaca dan menulis. Namun,
mereka membaca dan menulis dalam obrolan whats ap dan linimasa facebook. Aktivitas
tersebut dapat dipantau dalam aktivitas group whatsapp dan pertemanan facebook.
Mereka mampu beraktivitas menikmati whats ap dan facebook  dalam waktu yang relatif lama secara terus
menerus.

Aktivitas era millennial tersebut
mampu mengubah ritme kehidupan masyarakat di lingkungan penulis. Sebelumnya,
orang tua yang mayoritas bekerja sebagai petani, setiap pukul tujuh pagi sudah
berada di ladang untuk bekerja. Setelah kehadiran smartphone, aktivitas
tersebut tertunda sekitar tiga puluh menit atau lebih.

Hal yang sama terjadi pada anak
usia sekolah. Aktivitas pertama setelah bangun tidur tidak lagi mandi dan
bersiap diri untuk sekolah. Mereka mengikuti jejak orang tua, membuka smartphone
dan membaca obrolan yang terlewati karena tidur malam.

Kehadiran smartphone  memang dapat menjadi alternatif pengganti
buku. Utamanya, bagi keluarga yang tinggal di pedalaman. Namun, membaca
langsung dari buku tetap lebih utama. Kehadiran buku tetap dibutuhkan sebagai
sarana literasi. Tulisan dalam buku memiliki makna yang mendalam, terperinci,
dan melahirkan kontruksi pemahaman yang utuh.

Baca Juga :  Gubernur Ingatkan ASN Jangan Melakukan Perjalanan Dinas Fiktif

Membaca dengan buku sangat
berbeda dengan membaca melalui internet. Seringkali, obrolan dalam whats ap, linimasa
facebook, dan penelusuran melalui aplikasi pencarian semacam google berisi
informasi yang dangkal. Informasi tersebut sangat berbahaya jika tidak
diklarifikasi dengan sumber yang lain. Apalagi, pembacanya bersikap reaktif
terhadap informasi internet yang belum tentu benar.

Realitas tersebut sangat
menakutkan bagi pengguna internet yang minim bekal literasi. Seringkali, bacaan
yang ditawarkan internet menjauhkan pembacanya dari pengetahuan, kecerdasan,
dan kebijaksanaan. Hal ini terlihat dalam momentum politik (Pemilu serentak)
beberapa waktu yang lalu. Bacaan bernilai pembelahan masyarakat muncul dengan
sangat masif dalam rangkaian kalimat yang berisi fitnah dan informasi yang
tidak benar.

Rekayasa sosial “membaca buku
berbasis keluarga di rumah” perlu disemarakkan. Segenap anggota keluarga harus
dikondisikan dan diberdayakan untuk menjadikan kegiatan membaca buku sebagai
aktivitas yang terprogram, terencana, dan terukur. Kegiatan membaca buku harus
dianggap sebagai kebutuhan mendasar. Kegiatan tersebut bermanfaat sebagai
lokomotif lahirnya kemajuan literasi di sekolah dan masyarakat.

Membaca buku harus dianggap
sebagai kebutuhan seluruh anggota keluarga, bukan hanya kewajiban anak. Orang
tua harus pro-aktif mengajak anak membaca buku di rumah. Orang tua dapat
menjadi inspirator dan fasilitator. Orang tua memberikan inspirasi dalam bentuk
keteladanan membaca buku bersama anak. Selain itu, orang tua juga memfasilitasi
bahan bacaan untuk anggota keluarganya di rumah.

Penduduk yang tinggal di desa
daerah pedalaman harus bermusyawarah membicarakan ketersediaan bahan bacaan di
lingkungan mereka. Keberadaan perpustakaan 
desa di daerah pedalaman perlu mendapat perhatian. Masyarakat  pedalaman harus bergotong royong menyediakan
bahan bacaan untuk mereka dan anak – anak mereka.

Membaca Buku di Lingkungan Keluarga

Aktivitas membaca buku dalam
lingkungan keluarga sangat penting. Aktivitas semacam ini bisa dimulai saat
pertama kali bahtera rumah tangga berlayar. Sepasang suami istri dapat
menentukan waktu dan tempat untuk aktivitas membaca buku bersama.

Waktu yang paling tepat dan ideal
adalah antara maghrib sampai dengan isya’ dan setelah sholat subuh. Mengingat, dua
kesempatan  tersebut umumnya merupakan
waktu luang. Segala hal yang mengganggu aktivitas membaca harus ditiadakan,
misalnya mematikan TV dan Smarth phone di jam tersebut.

Setelah memiliki anak balita,
aktivitas tersebut harus dikuatkan dengan beragam sentuhan kreasi dan inovasi.
Misalnya, bacakan buku cerita pada anak yang belum bisa membaca dengan
merangkul dan memeluk mereka. Hal semacam ini merupakan langkah potensial
menanamkan pada diri anak budaya membaca buku sejak dini.

Ketika anak sudah bisa membaca,
dampingi anak membaca buku. Setelah itu, ajaklah mereka duduk bersama, sambil berbincang
ringan. Tanyakanlah beberapa hal sambil bercanda dan berdiskusi singkat tentang
buku yang sudah dibaca anak.  Hal ini
akan memotivasi anak  untuk mencari
informasi  baru dan mulai melirik buku
yang lain.

Baca Juga :  Pemkab Kotim Diminta Proaktif Mobilisasi Air Bersih

Penulis pernah merasakan
pengalaman yang menarik ketika berkunjung ke rumah tetangga. Tetangga
membacakan buku cerita kepada anaknya yang masih sekolah di PAUD dan kelas satu
sekolah dasar. Kegiatan membaca buku cerita didesain seperti menonton film.
Orang tua memberikan remote TV kepada anak mereka. Remote tersebut bukan
digunakan untuk mengoperasikan TV, melainkan untuk mengatur ritme ketika
membaca buku cerita. Anak berhak untuk menekan tombol start, mengecilkan dan
membesarkan volume, dan menombol pause serta menekan tombol off. Ketika anak menekan
tombol pengurangan volume suara, maka orang tua wajib mengurangi volume
suaranya dalam membaca buku cerita. Tentunya, aktivitas ini diawali dengan
beberapa kesepakatan yang positif untuk kegiatan literasi anak.

Tujuan dari kegiatan diatas
adalah untuk meningkatkan minat baca anak. Ratnasari (2016) mengatakan bahwa
minat baca adalah suatu perhatian yang kuat dan mendalam disertai dengan
perasaan senang terhadap kegiatan membaca, sehingga dapat mengarahkan seseorang
untuk membaca dengan kemauannya sendiri. Aspek minat baca meliputi kegemaran
membaca, seberapa seringnya membaca, dan kesadaran akan manfaat membaca.

Setelah terbiasa membaca dan
tertanam minat membaca buku, barulah anak diarahkan untuk memanfaatkan
teknologi sebagai salahsatu sumber bacaan alternatif. Kegiatan membaca melalui
teknologi harus dengan pendampingan, pengawasan, dan arahan yang berkelanjutan
dari orang tua.

Orang tua harus bekerja keras
untuk mewujudkan budaya literasi keluarga di rumah mereka. Minat baca tidak di
dapat melalui proses yang instan. Kebiasaan membaca buku tidak di dapat dalam
satu hari, satu minggu, satu bulan, bahkan mungkin dalam satu tahun sekalipun.
Melainkan, membutuhkan waktu yang panjang dengan usaha yang terus menerus.

Dari Rumah ke Sekolah dan Masyarakat

Budaya literasi yang sudah
terbangun di rumah harus diperluas. Setiap keluarga yang sukses menerapkan
budaya literasi di rumahnya harus menularkan virus positif literasi kepada
lingkungan terdekatnya, misalnya rukun tetangga dan sekolah tempat anak mereka
belajar. Ketika rukun tetangga sukses menerapkan budaya literasi, langkah
selanjutnya adalah menularkan semarak lierasi ke lingkungan rukun warga,
demikian seterusnya. Dukungan pemerintah dan tokoh masyarakat setempat sangat
penting dalam proses memperluas keberhasilan budaya literasi. Akhirnya, buramnya
prestasi Indonesia dalam hal minat membaca buku dapat teratasi dengan rangkaian
langkah membangun literasi diatas.

Perlu diketahui bahwa indeks
tingkat membaca orang Indonesia diangka 0,001. Artinya, hanya 1 orang dari 1000
penduduk yang meluangkan waktunya untuk membaca buku. Fenomena ini membawa Indonesia
menempati peringkat ke 60 dari 61 negara yang dinilai dalam survey “bangsa
melek literasi” oleh Connecticut State university tahun 2016.  Bahkan, Indonesia kalah dengan Thailand (59)
dan hanya menang atas Bostwana (61). (*)

(*Penulis adalah Nominator Lomba
Jurnalistik Sahabat Keluarga Kemendikbud Tahun 2018)

Terpopuler

Artikel Terbaru