33.8 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Perpres Baru Penggunaan Bahasa Indonesia

DIRILISNYA Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa
Indonesia (BI) menggantikan Perpres Nomor 16 Tahun 2010 patut diapresiasi.
Namun, di sisi lain, juga harus dicermati untuk selanjutnya dipikirkan strategi
penerapan yang jitu.

Patut diapresiasi karena ruang
lingkup perpres baru tersebut lebih luas, meliputi juga pendidikan, penamaan
wilayah, perumahan, bangunan, merek dagang, dan lainnya (Jawa Pos, 10/10).
Patut dicermati karena perpres tersebut langsung berhadapan dengan kondisi
praktik berbahasa Indonesia selama ini.

Pertanyaan yang lantas mengemuka
adalah: dalam konteks apa terbitnya perpres tersebut perlu dipahami? Adakah
konsekuensi tertentu bila aturan tersebut tidak dijalankan? Upaya lanjut apa
yang patut dikerjakan agar penerapan perpres tersebut bisa optimal?

Pelindungan

Salah satu tantangan terbesar BI
adalah perkembangan teknologi yang teramat pesat yang mengakibatkan tingginya
penggunaan kata dari bahasa asing yang tidak/belum ada dalam kosakata BI.
Beberapa kata seperti mouse (tetikus), screenshot (tangkapan layar), error
(galat), dan scan (pindai) adalah kata yang berasosiasi dengan teknologi
informasi yang teramat sering digunakan, baik secara lisan maupun tertulis,
oleh masyarakat Indonesia.

Fenomena penggunaan bahasa asing
tersebut tentu tidak bisa dihindarkan dan memang tidak perlu dihindari karena
telah menjadi kebutuhan dalam komunikasi sehari-hari. Namun, apabila fenomena
tersebut tidak disikapi dan diantisipasi secara bijak, beberapa ekses yang
dicemaskan adalah semakin tidak teraturnya praktik penggunaan campur kode di
ruang publik, misalnya, tanpa adanya batasan yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan. Kerancuan mungkin bisa terjadi, selain kekhawatiran
”klise” yang bernada esensialis tentang semakin pudarnya ”identitas” keindonesiaan.

Terkait ”identitas”, yang dalam
pemahaman paling awam merujuk pada jati diri yang mencirikan sesuatu dapat
dibedakan dari sesuatu lainnya, ada ilustrasi menarik dari pengalaman seorang
kolega pengajar dari Belanda. Saat itu dia menunjukkan beberapa foto gerai dan
petunjuk jalan di suatu mal kepada peserta seminar yang berasal dari warga
Indonesia dan beberapa negara lainnya. Pertanyaannya sederhana, dari foto-foto
tersebut, kira-kira di negara manakah mal ini berada? Ada yang menjawab Jerman,
Singapura, Hongkong, dan lainnya. Padahal, foto itu diambil di salah satu mal
di pinggiran Surabaya!

Baca Juga :  Lumpia Udang Sayur Bikin Semangat Buka Puasa

Ya, apabila kita pergi ke mal,
khususnya di kota-kota besar di Indonesia, cobalah membuat daftar berapa jumlah
kata dalam BI yang dapat ditemui di tempat tersebut jika dibandingkan dengan
kata dari bahasa asing. Dari foto-foto yang disebutkan di ilustrasi di atas,
dari puluhan gerai yang ada di mal tersebut, hanya ada satu tempat yang
menggunakan lema dalam BI: papan nama bertulisan Lembaga Kursus Bahasa Inggris
dari perusahaan kursus ternama yang berafiliasi dengan salah satu negara di
Eropa. Fenomena itu hanya sebagian kecil saja dari praktik penggunaan BI dan
bahasa asing di ruang publik. Belum termasuk kasus pada nama-nama kompleks
hunian, area, dan bangunan yang tak terbilang banyaknya lebih bernuansa ”asing”
daripada ”Indonesia”.

Maka, perpres baru tersebut bisa
dipahami setidaknya dalam konteks upaya pelindungan terhadap bahasa nasional
yang menjadi lambang identitas negara terhadap tantangan dan perubahan zaman.
Di negara-negara lain –Jerman dan Jepang, misalnya– kebijakan terhadap
pelindungan bahasa nasional dilakukan dengan sangat ketat, baik dalam konteks
pendidikan maupun ruang publik. Bahasa Inggris, misalnya, mereka pelajari
sungguh-sungguh, tetapi kesadaran terhadap penggunaan bahasa nasional sudah
terbentuk sehingga mereka bisa memilih dan memilah dengan tepat dalam
ruang-ruang apa bahasa asing perlu/tidak perlu digunakan.

Habituasi

Upaya pelindungan dari pemerintah
mustahil berjalan optimal bila tidak diiringi strategi sosialisasi, edukasi,
dan habituasi yang jitu. Alih-alih menyebut pengenalan, pendidikan, dan
pembiasaan, perpres menggunakan kata pengawasan di level pemerintah pusat
dilakukan oleh menteri (tidak disebutkan secara spesifik nama kementerian),
sementara di level pemda dilakukan gubernur dan wali kota/bupati. Kata
pengawasan terdengar seakan suatu ”ancaman” yang apabila tidak dilakukan
berkonsekuensi pada didapatnya sanksi tertentu. Nyatanya, juga tidak ada
penjelasan adanya sanksi.

Baca Juga :  Andalkan SIBER dan LAPOR, Kapuas Masuk 6 Besar Keterbukaan Informasi P

Akan lebih bijak apabila
pemerintah memikirkan, pertama, cara meluaskan jangkauan penyebaran hasil kerja
linguis yang salah satunya adalah padanan kata-kata kepada publik luas. Kerja
badan bahasa dalam menyusun padanan-padanan kata seperti yang diunggah di laman
dan media sosial mereka memang patut diapresiasi. Namun, hal tersebut agaknya
perlu diperkuat dengan, misalnya, membuat lokakarya penerapan BI dengan
mengundang kalangan pebisnis media, mal, hotel, dan lainnya. Dengan dukungan
kebijakan tertentu, pemerintah juga bisa membuat dan menerapkan indeks literasi
BI/kepatuhan penggunaan BI sebagai salah satu komponen penilaian akreditasi
lembaga maupun saat mengurus perpanjangan izin operasional suatu perusahaan.

Kedua, hal yang perlu
dipertimbangkan juga perumusan kembali kurikulum dan praktik pembelajaran BI di
seluruh level pendidikan agar lebih menarik dan kreatif. Bukan rahasia bahwa
pembelajaran BI banyak dikeluhkan, terlebih saat dipadupadankan dengan
pelajaran kesusastraan. Dalam hal itu, bahasa dan sastra diperlakukan seperti
belajar matematika, yakni ada satu jawaban pasti. Model pembelajaran serupa itu
agaknya perlu ditinjau kembali karena bahasa tidak bisa semata diajarkan dengan
kerangka positivistik.

Ketiga, habituasi atau
pembiasaan. Boleh jadi inilah tahap tersulit karena memprasyaratkan adanya
keteladanan dan kerutinan yang terarah. Keteladanan membutuhkan sosok panutan,
sementara kerutinan perlu konsistensi. Namun, apabila sosialisasi dan edukasi
di tahap sebelumnya dilakukan secara optimal, merumuskan metode pembiasaan
tentu bukan jadi hal yang mustahil. (*)

(Penulis adalah Pengajar di Departemen Bahasa dan Sastra Inggris FIB
Universitas Airlangga Surabaya
)

DIRILISNYA Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa
Indonesia (BI) menggantikan Perpres Nomor 16 Tahun 2010 patut diapresiasi.
Namun, di sisi lain, juga harus dicermati untuk selanjutnya dipikirkan strategi
penerapan yang jitu.

Patut diapresiasi karena ruang
lingkup perpres baru tersebut lebih luas, meliputi juga pendidikan, penamaan
wilayah, perumahan, bangunan, merek dagang, dan lainnya (Jawa Pos, 10/10).
Patut dicermati karena perpres tersebut langsung berhadapan dengan kondisi
praktik berbahasa Indonesia selama ini.

Pertanyaan yang lantas mengemuka
adalah: dalam konteks apa terbitnya perpres tersebut perlu dipahami? Adakah
konsekuensi tertentu bila aturan tersebut tidak dijalankan? Upaya lanjut apa
yang patut dikerjakan agar penerapan perpres tersebut bisa optimal?

Pelindungan

Salah satu tantangan terbesar BI
adalah perkembangan teknologi yang teramat pesat yang mengakibatkan tingginya
penggunaan kata dari bahasa asing yang tidak/belum ada dalam kosakata BI.
Beberapa kata seperti mouse (tetikus), screenshot (tangkapan layar), error
(galat), dan scan (pindai) adalah kata yang berasosiasi dengan teknologi
informasi yang teramat sering digunakan, baik secara lisan maupun tertulis,
oleh masyarakat Indonesia.

Fenomena penggunaan bahasa asing
tersebut tentu tidak bisa dihindarkan dan memang tidak perlu dihindari karena
telah menjadi kebutuhan dalam komunikasi sehari-hari. Namun, apabila fenomena
tersebut tidak disikapi dan diantisipasi secara bijak, beberapa ekses yang
dicemaskan adalah semakin tidak teraturnya praktik penggunaan campur kode di
ruang publik, misalnya, tanpa adanya batasan yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan. Kerancuan mungkin bisa terjadi, selain kekhawatiran
”klise” yang bernada esensialis tentang semakin pudarnya ”identitas” keindonesiaan.

Terkait ”identitas”, yang dalam
pemahaman paling awam merujuk pada jati diri yang mencirikan sesuatu dapat
dibedakan dari sesuatu lainnya, ada ilustrasi menarik dari pengalaman seorang
kolega pengajar dari Belanda. Saat itu dia menunjukkan beberapa foto gerai dan
petunjuk jalan di suatu mal kepada peserta seminar yang berasal dari warga
Indonesia dan beberapa negara lainnya. Pertanyaannya sederhana, dari foto-foto
tersebut, kira-kira di negara manakah mal ini berada? Ada yang menjawab Jerman,
Singapura, Hongkong, dan lainnya. Padahal, foto itu diambil di salah satu mal
di pinggiran Surabaya!

Baca Juga :  Lumpia Udang Sayur Bikin Semangat Buka Puasa

Ya, apabila kita pergi ke mal,
khususnya di kota-kota besar di Indonesia, cobalah membuat daftar berapa jumlah
kata dalam BI yang dapat ditemui di tempat tersebut jika dibandingkan dengan
kata dari bahasa asing. Dari foto-foto yang disebutkan di ilustrasi di atas,
dari puluhan gerai yang ada di mal tersebut, hanya ada satu tempat yang
menggunakan lema dalam BI: papan nama bertulisan Lembaga Kursus Bahasa Inggris
dari perusahaan kursus ternama yang berafiliasi dengan salah satu negara di
Eropa. Fenomena itu hanya sebagian kecil saja dari praktik penggunaan BI dan
bahasa asing di ruang publik. Belum termasuk kasus pada nama-nama kompleks
hunian, area, dan bangunan yang tak terbilang banyaknya lebih bernuansa ”asing”
daripada ”Indonesia”.

Maka, perpres baru tersebut bisa
dipahami setidaknya dalam konteks upaya pelindungan terhadap bahasa nasional
yang menjadi lambang identitas negara terhadap tantangan dan perubahan zaman.
Di negara-negara lain –Jerman dan Jepang, misalnya– kebijakan terhadap
pelindungan bahasa nasional dilakukan dengan sangat ketat, baik dalam konteks
pendidikan maupun ruang publik. Bahasa Inggris, misalnya, mereka pelajari
sungguh-sungguh, tetapi kesadaran terhadap penggunaan bahasa nasional sudah
terbentuk sehingga mereka bisa memilih dan memilah dengan tepat dalam
ruang-ruang apa bahasa asing perlu/tidak perlu digunakan.

Habituasi

Upaya pelindungan dari pemerintah
mustahil berjalan optimal bila tidak diiringi strategi sosialisasi, edukasi,
dan habituasi yang jitu. Alih-alih menyebut pengenalan, pendidikan, dan
pembiasaan, perpres menggunakan kata pengawasan di level pemerintah pusat
dilakukan oleh menteri (tidak disebutkan secara spesifik nama kementerian),
sementara di level pemda dilakukan gubernur dan wali kota/bupati. Kata
pengawasan terdengar seakan suatu ”ancaman” yang apabila tidak dilakukan
berkonsekuensi pada didapatnya sanksi tertentu. Nyatanya, juga tidak ada
penjelasan adanya sanksi.

Baca Juga :  Andalkan SIBER dan LAPOR, Kapuas Masuk 6 Besar Keterbukaan Informasi P

Akan lebih bijak apabila
pemerintah memikirkan, pertama, cara meluaskan jangkauan penyebaran hasil kerja
linguis yang salah satunya adalah padanan kata-kata kepada publik luas. Kerja
badan bahasa dalam menyusun padanan-padanan kata seperti yang diunggah di laman
dan media sosial mereka memang patut diapresiasi. Namun, hal tersebut agaknya
perlu diperkuat dengan, misalnya, membuat lokakarya penerapan BI dengan
mengundang kalangan pebisnis media, mal, hotel, dan lainnya. Dengan dukungan
kebijakan tertentu, pemerintah juga bisa membuat dan menerapkan indeks literasi
BI/kepatuhan penggunaan BI sebagai salah satu komponen penilaian akreditasi
lembaga maupun saat mengurus perpanjangan izin operasional suatu perusahaan.

Kedua, hal yang perlu
dipertimbangkan juga perumusan kembali kurikulum dan praktik pembelajaran BI di
seluruh level pendidikan agar lebih menarik dan kreatif. Bukan rahasia bahwa
pembelajaran BI banyak dikeluhkan, terlebih saat dipadupadankan dengan
pelajaran kesusastraan. Dalam hal itu, bahasa dan sastra diperlakukan seperti
belajar matematika, yakni ada satu jawaban pasti. Model pembelajaran serupa itu
agaknya perlu ditinjau kembali karena bahasa tidak bisa semata diajarkan dengan
kerangka positivistik.

Ketiga, habituasi atau
pembiasaan. Boleh jadi inilah tahap tersulit karena memprasyaratkan adanya
keteladanan dan kerutinan yang terarah. Keteladanan membutuhkan sosok panutan,
sementara kerutinan perlu konsistensi. Namun, apabila sosialisasi dan edukasi
di tahap sebelumnya dilakukan secara optimal, merumuskan metode pembiasaan
tentu bukan jadi hal yang mustahil. (*)

(Penulis adalah Pengajar di Departemen Bahasa dan Sastra Inggris FIB
Universitas Airlangga Surabaya
)

Terpopuler

Artikel Terbaru