30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Festival Bebas Batas, Pamerkan Karya Penyandang Disabilitas

Keterbatasan
berubah menjadi kekuatan. Itulah yang ditularkan para penyandang disabilitas
yang mengikuti Festival Bebas Batas. Tema Meneroka Batas benar-benar
tercurahkan ke dalam karya yang beragam penuh luapan emosi.

SHABRINA
PARAMACITRA, Solo, Jawa Pos

—

DINI Hariyanti
berjalan perlahan ke sisi belakang Pendapa ISI Surakarta. Perutnya mual.
Kerongkongannya berat karena isak tangis yang tertahan. Pembukaan Festival
Bebas Batas, beberapa waktu lalu, membuat perasaannya campur aduk.

Bangga,
senang, haru, sekaligus sedih.

Sang
suami, Taufiq Muwardi, menyambut istrinya itu dan lantas duduk di lantai
pendapa. Dia memeluk dan menghapus air mata yang mulai membasahi pipi istrinya.

’’Aku
minder ketemu teman-teman peserta yang lain. Mereka menghadapi cobaan yang
lebih berat dibanding aku. Tapi, mereka lebih kuat,’’ kata Dini.

Dia
melihat sekeliling. Dari 28 peserta pameran seni rupa yang terpilih untuk
memamerkan karya dalam festival itu, Dini merasa tak ada apa-apanya. Menjadi
pengidap skizoafektif, menurut dia, masih lebih ringan jika dibandingkan dengan
yang dialami peserta festival yang lain.

Skizoafektif
adalah gangguan mental antara gejala skizofrenia (halusinasi, delusi) dan
gejala gangguan suasana hati seperti perubahan mood yang drastis. Dini minder
karena merasa tak sekuat peserta yang tuli, autis, polio, disleksia,
disabilitas daksa, dan lain-lain. Padahal, menurut suaminya, sebenarnya Dini
juga sosok yang kuat. Hanya, dia tak menyadari itu.

Baca Juga :  70 Modifikator Bersaing di IAM MBtech 2019 Batam

Festival
Bebas Batas yang berlangsung lima hari tersebut digelar khusus untuk memamerkan
karya para penyandang disabilitas. Mereka diseleksi secara nasional, lalu
diberi ruang untuk memamerkan karya seni. Dini memamerkan lukisan berjudul
Mantra.

Lukisan
itu didominasi warna cerah. Sekilas, tampak memuat bentuk menyerupai kuman. Ada
pula lambang psikologi yang berbentuk trisula dan lafal Allah. ’’Lukisan ini
memuat temons. Teman-teman monster. Tapi, ada juga luapan zikir yang aku
ucapkan ketika temons itu datang merasuki pikiranku,’’ ungkap Dini sambil
menghapus air matanya.

Lukisan
tersebut dibuat ketika perempuan 29 tahun itu mengalami fase depresi. Sebagai
orang yang memiliki bipolar disorder, Dini tak bisa lepas dari fase depresi dan
mania. Depresi membuatnya merasa down, sedih, dan seakan tak punya harapan
hidup. Ketika berada dalam fase mania, dia merasa begitu happy, berenergi
luar biasa, dan sangat bersemangat.

Temons
adalah luapan pikiran negatif yang hadir saat Dini depresi. Pikiran buruk itu
bisa berupa banyak hal. Misalnya, merasa dilupakan, tidak dicintai, atau gagal
yang kadang membuatnya ingin mengakhiri hidup.

Namun,
perasaan itu dilawannya. Dengan berbagai terapi, obat, serta usaha mendekatkan
diri kepada Tuhan. ’’Aku terus melukis dan berzikir melawan diriku sendiri.
Akhirnya, Tuhan memampukanku, memberiku kekuatan untuk mencapai titik stabil,’’
ucap Dini.

Baca Juga :  ASN MTsN 2 Diingatkan Bekerja Sesuai Tupoksi

Festival
Bebas Batas yang mengangkat tajuk Meneroka Batas tidak hanya memamerkan seni
rupa penyandang disabilitas. Berbagai diskusi dan workshop juga digelar untuk
mengedukasi masyarakat mengenai keberadaan dan ruang ekspresi penyandang
disabilitas.

Festival
itu juga memamerkan karya para pasien gangguan mental dari RSJ Prof Dr Soerojo
Magelang, RSJ Menur Surabaya, RS Ernaldi Bahar Palembang, RS Dr H Marzoeki
Mahdi Bogor, serta RSJ Arif Zainudin Solo.

Lukisan
orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tidak kalah menarik. Salah satunya karya
pasien RSJ Menur Surabaya. Lukisan itu terbagi dalam dua sisi. Sisi kiri
didominasi warna merah dengan tulisan berbagai perasaan positif. Di antaranya,
normal, acceptable, loving, honest, calm, wise, dan happy. Di sisi satu lagi
yang berwarna biru, tercantum kata-kata emosi negatif. Ada confused, guilty,
alone, depressed, sad, drug dependent, dan sederet kata lain.

Melihat
lukisan itu mengingatkan pada kata-kata Dini saat wawancara. ’’Aku bisa berubah
dari sedih ke bahagia, dari marah ke ceria, hanya dalam hitungan detik,’’
katanya. Lukisan pasien RSJ Menur itu menggambarkan perasaan Dini.

Keterbatasan
berubah menjadi kekuatan. Itulah yang ditularkan para penyandang disabilitas
yang mengikuti Festival Bebas Batas. Tema Meneroka Batas benar-benar
tercurahkan ke dalam karya yang beragam penuh luapan emosi.

SHABRINA
PARAMACITRA, Solo, Jawa Pos

—

DINI Hariyanti
berjalan perlahan ke sisi belakang Pendapa ISI Surakarta. Perutnya mual.
Kerongkongannya berat karena isak tangis yang tertahan. Pembukaan Festival
Bebas Batas, beberapa waktu lalu, membuat perasaannya campur aduk.

Bangga,
senang, haru, sekaligus sedih.

Sang
suami, Taufiq Muwardi, menyambut istrinya itu dan lantas duduk di lantai
pendapa. Dia memeluk dan menghapus air mata yang mulai membasahi pipi istrinya.

’’Aku
minder ketemu teman-teman peserta yang lain. Mereka menghadapi cobaan yang
lebih berat dibanding aku. Tapi, mereka lebih kuat,’’ kata Dini.

Dia
melihat sekeliling. Dari 28 peserta pameran seni rupa yang terpilih untuk
memamerkan karya dalam festival itu, Dini merasa tak ada apa-apanya. Menjadi
pengidap skizoafektif, menurut dia, masih lebih ringan jika dibandingkan dengan
yang dialami peserta festival yang lain.

Skizoafektif
adalah gangguan mental antara gejala skizofrenia (halusinasi, delusi) dan
gejala gangguan suasana hati seperti perubahan mood yang drastis. Dini minder
karena merasa tak sekuat peserta yang tuli, autis, polio, disleksia,
disabilitas daksa, dan lain-lain. Padahal, menurut suaminya, sebenarnya Dini
juga sosok yang kuat. Hanya, dia tak menyadari itu.

Baca Juga :  70 Modifikator Bersaing di IAM MBtech 2019 Batam

Festival
Bebas Batas yang berlangsung lima hari tersebut digelar khusus untuk memamerkan
karya para penyandang disabilitas. Mereka diseleksi secara nasional, lalu
diberi ruang untuk memamerkan karya seni. Dini memamerkan lukisan berjudul
Mantra.

Lukisan
itu didominasi warna cerah. Sekilas, tampak memuat bentuk menyerupai kuman. Ada
pula lambang psikologi yang berbentuk trisula dan lafal Allah. ’’Lukisan ini
memuat temons. Teman-teman monster. Tapi, ada juga luapan zikir yang aku
ucapkan ketika temons itu datang merasuki pikiranku,’’ ungkap Dini sambil
menghapus air matanya.

Lukisan
tersebut dibuat ketika perempuan 29 tahun itu mengalami fase depresi. Sebagai
orang yang memiliki bipolar disorder, Dini tak bisa lepas dari fase depresi dan
mania. Depresi membuatnya merasa down, sedih, dan seakan tak punya harapan
hidup. Ketika berada dalam fase mania, dia merasa begitu happy, berenergi
luar biasa, dan sangat bersemangat.

Temons
adalah luapan pikiran negatif yang hadir saat Dini depresi. Pikiran buruk itu
bisa berupa banyak hal. Misalnya, merasa dilupakan, tidak dicintai, atau gagal
yang kadang membuatnya ingin mengakhiri hidup.

Namun,
perasaan itu dilawannya. Dengan berbagai terapi, obat, serta usaha mendekatkan
diri kepada Tuhan. ’’Aku terus melukis dan berzikir melawan diriku sendiri.
Akhirnya, Tuhan memampukanku, memberiku kekuatan untuk mencapai titik stabil,’’
ucap Dini.

Baca Juga :  ASN MTsN 2 Diingatkan Bekerja Sesuai Tupoksi

Festival
Bebas Batas yang mengangkat tajuk Meneroka Batas tidak hanya memamerkan seni
rupa penyandang disabilitas. Berbagai diskusi dan workshop juga digelar untuk
mengedukasi masyarakat mengenai keberadaan dan ruang ekspresi penyandang
disabilitas.

Festival
itu juga memamerkan karya para pasien gangguan mental dari RSJ Prof Dr Soerojo
Magelang, RSJ Menur Surabaya, RS Ernaldi Bahar Palembang, RS Dr H Marzoeki
Mahdi Bogor, serta RSJ Arif Zainudin Solo.

Lukisan
orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tidak kalah menarik. Salah satunya karya
pasien RSJ Menur Surabaya. Lukisan itu terbagi dalam dua sisi. Sisi kiri
didominasi warna merah dengan tulisan berbagai perasaan positif. Di antaranya,
normal, acceptable, loving, honest, calm, wise, dan happy. Di sisi satu lagi
yang berwarna biru, tercantum kata-kata emosi negatif. Ada confused, guilty,
alone, depressed, sad, drug dependent, dan sederet kata lain.

Melihat
lukisan itu mengingatkan pada kata-kata Dini saat wawancara. ’’Aku bisa berubah
dari sedih ke bahagia, dari marah ke ceria, hanya dalam hitungan detik,’’
katanya. Lukisan pasien RSJ Menur itu menggambarkan perasaan Dini.

Terpopuler

Artikel Terbaru