28.4 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Mengganti Nama dengan Mesin Waktu

Oleh SURYA GEMILANG

Bermasalah dengan orang kaya akan membuatmu gila –atau minimal kewarasanmu dipertanyakan. Di pangkalan ojek daring, kami mempertanyakan kewarasan salah satu rekan kami: Budi Jaya –yang dari dulu kami kenal sebagai Budi Jaya, tapi ia mengaku, ”Beberapa saat lalu, namaku Surya Jaya! Kalian benar-benar tak ingat?”

Ia bersikeras bahwa kami melupakan nama aslinya gara-gara perjalanan lintas waktu yang ia alami beberapa saat lalu. Cerita tentang perjalanan lintas waktu tersebut, tentu saja, membuat kami semakin mempertanyakan kewarasannya –terlebih ia menceritakan kisah tak bernalar itu tanpa menampakkan intensi bercanda.

***

Pagi tadi Budi Jaya –maksudku semasih namanya Surya Jaya (menurutnya)– mengantarkan seporsi soto ayam tujuh puluh ribu rupiah ke sebuah kompleks perumahan elite, yang portal depannya dijaga dua pria berseragam biru gelap dengan pistol terselip di pinggang. Suara kepadatan lalu lintas tak menembus kompleks itu. Hanya terdengar suara motor Surya Jaya yang melintasi barisan rumah bertingkat tiga sampai empat, dengan pos satpam di setiap gerbangnya, plus satpam-satpam yang menatapnya curiga.

Surya Jaya berhenti di hadapan rumah paling ujung, rumah bertingkat empat dengan gerbang hitam berkilau setinggi dua kali tubuhnya. Di gerbang itu tertulis, dengan cat emas dan huruf-huruf sebesar dada orang dewasa, sebuah nama: Surya Kencana. Persis nama pemilik akun yang memesan soto ayam tujuh puluh ribu rupiah.

Gerbang terbuka sedikit, menjauhkan Surya dari Kencana beberapa sentimeter, dan dari celah gerbang mengintip sepasang mata. ”Jaya?” tanya seorang satpam.

Tak pernah ada yang memanggilnya Jaya; orang-orang memanggilnya Surya –setidaknya ia merasa begitu, walau seingat kami panggilannya selalu Budi. Bagaimanapun, karena Jaya adalah bagian dari namanya, ia mengiyakan pertanyaan si satpam, yang segera membuka gerbang lebih lebar dan berkata, ”Silakan parkir motor di dalam. Tuan Surya ingin bercakap-cakap.”

Surya Jaya terdiam sesaat. Belum pernah ada pemesan yang ingin bercakap-cakap terlebih dahulu dengannya. Mungkin Surya Kencana ingin sekadar berbasa-basi sebagai sesama Surya.

Surya Jaya pun memarkir motor di halaman rumah Surya Kencana, halaman dengan permukaan batu sikat bermotif bunga-bunga. Setelah Surya Jaya menurunkan standar motor, dari pintu beranda keluar seorang wanita berjas dengan rambut pirang bondol. ”Jaya?” tanya si bondol, formal, dan Surya Jaya mengangguk. Wanita itu mengambil soto ayam dari cantolan motor Surya Jaya dan memintanya ikut ke ruang dalam karena, ”Tuan Surya ingin menemuimu.”

 

 

Ruang depan dipenuhi lukisan-lukisan seorang pria yang sama –bertubuh gempal pendek dan tersenyum miring dan bertatapan menghina –dengan pose berbeda-beda: dari duduk di sofa dengan satu kaki di atas kaki lain, duduk di balik meja kerja seraya menghitung uang, hingga duduk di atas tumpukan uang.

Dari segi hal-hal lain, ruang depan membuat Surya Jaya merasa begitu miskin hingga tak layak bernapas. Bagaimanapun ia terus mengikuti si bondol; ruapan aroma melati dari lantai membuatnya membayangkan kuburan; mereka menaiki tangga tiga kali hingga lututnya berdenyut-denyut, dan tibalah mereka di depan sebuah pintu ganda hitam mengilap, dan si bondol mengetuk sebelum membukanya –aroma cerutu menyerbu keluar bersama dingin pendingin ruangan.

Di dalam sana, di ruang temaram yang hanya diterangi cahaya kuning lampu berdiri, duduklah seorang pria berjas hitam yang lukisannya memenuhi ruang depan, kedua kakinya bertumpu di meja jati, cerutu di sela bibirnya menyala.

Apa yang membedakan wajahnya dengan lukisan-lukisan itu adalah tak ada senyum menghina di sana –jelas ia menahan kemarahan hingga sesekali terdengar dengus napasnya. Mudah ditebak: ialah Surya Kencana.

Baca Juga :  Mata Merah Pekat

”Silakan masuk,” kata si bondol. Kemudian, kepada sang tuan, si bondol berkata, ”Soto ayamnya akan saya siapkan di ruang makan, Tuan. Terima kasih.”

Surya Kencana tak berkata apa-apa. Surya Jaya pun ragu-ragu memasuki ruangan; si bondol mengunci pintu di belakangnya. Tak ada kursi lain selain yang pria gempal itu duduki, sehingga Surya Jaya hanya berdiri canggung di hadapan meja jatinya.

”Kau tahu arti dari Surya?” tanya Surya Kencana, berat dan serak dan dingin.

Surya Jaya baru akan menjawab, tapi Surya Kencana menyambung, ”Matahari. Aku diberi nama Surya karena aku adalah ’matahari’, alias sosok yang sangat penting di dunia. Apa kau sosok penting?”

”Tidak,” Surya Jaya terbata. ”Orang tua saya hanya berharap saya menjadi sosok penting, mungkin…?”

Pendingin ruangan berderak; udara dingin menggigilkan Surya Jaya. Jendela tertutup gorden marun tebal, segala hal yang menempel memenuhi dinding –hingga hampir menyentuh lantai dan langit-langit– agak sulit dikenali sebelum penglihatannya terbiasa dengan keremangan: ada medali-medali dan foto-foto Surya Kencana, semua berukuran variatif dan dipasang secara tak berpola.

Salah satu foto seukuran orang dewasa memperlihatkan Surya Kencana berseragam tentara, memberi hormat ke arah kamera; pigura foto itu tergeser sedikit ke samping, menampakkan celah tipis di mana laras senapan mencuat, membidik Surya Jaya hingga tungkainya gemetar.

”Sebagai Surya,” ucap Surya Kencana, ”aku agak tersinggung. Aku benci jika orang lain bernama Surya dan ia bukan sosok penting. Jadi, dengan rendah hati…” Surya Kencana menurunkan kaki dari meja dan berdiri, sepucuk pistol terselip di pinggangnya, ”aku harap kau menghilangkan Surya dari namamu.”

Urusan mengganti nama tak pernah terlintas di kepala Surya Jaya. Lagi pula, apa pentingnya nama? Nama sering kali menjadi doa omong kosong para orang tua: seorang anak bernama Muhammad tumbuh menjadi pembunuh; Ayu tumbuh menjadi gadis buruk rupa; Lanang tumbuh menjadi perempuan transgender –sudah terlalu sering nama tak menentukan identitas seseorang.

”Maaf, saya punya beberapa pertanyaan,” balas Surya Jaya. ”Pertama, bagaimana cara mengganti nama? Kedua, apa nama baru yang bagus buat saya?”

”Untuk pertanyaan kedua… mungkin Budi? Budi Jaya? Kau sudah cukup berbudi dengan bersedia mengganti nama. Dan untuk Jaya, masa bodoh, itu bukan namaku. Untuk pertanyaan pertama…” Surya Kencana mematikan cerutu ke asbak, melangkah ke belakang Surya Jaya, dan membelitkan lengan kiri ke lehernya. Lengan kemejanya lembap, meruapkan aroma keringat seperti sepatu basah; jam tangan digital melingkari pergelangan tangan kirinya. ”Kapan kau lahir?”

Terbata dan parau, Surya Jaya mengucapkan tanggal dan tahun lahirnya.

”Bagus. Kalau begitu, sehari setelah kau dilahirkan.”

Surya Kencana mengatur tanggal dan bulan dan tahun di jam tangan digitalnya, lalu menekan salah satu tombol dan mendadak cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan –Surya Jaya refleks memejam, tapi cahaya putih tetap menerobos kelopak mata.

Sesaat kemudian, Surya Kencana melepaskan belitan lengan kirinya di leher Surya Jaya; di balik mata tertutup terasa cahaya putih menghilang; Surya Jaya membuka mata. Mereka telah berada di kamar rumah sakit. Ibu duduk bersandar di kasur seraya menyusui bayi, ayah berdiri di sampingnya –ibu dan ayah sontak menoleh ke mereka berdua.

”Siapa kalian?” tanya ayah, waspada.

”Bayi itu Surya Jaya, betul?” kata Surya Kencana.

”Kami berencana menamainya begitu…” balas ibu.

”Sekarang,” bisik Surya Kencana pada Surya Jaya, ”bujuk mereka untuk mengganti namamu. Bicara baik-baik tentu lebih baik ketimbang menodongkan pistol.”

Surya Jaya mengangguk, keringat dingin melengketkan baju ke tubuhnya. Ia pun berdeham, menarik perhatian ibu dan ayah. ”Sebetulnya, Surya Jaya kurang bagus. Budi Jaya lebih bagus…”

Baca Juga :  Buku, Pembaca, dan Rating

”Maaf…?” balas ayah.

”Kau tidak pandai bicara,” bisik Surya Kencana.

”Omong-omong, aku ada rapat penting sembilan menit lagi. Aku harus mempercepat urusan ini.” Tiba-tiba ia menarik pistol dari pinggang dan menembak kasur beberapa milimeter di samping mata kaki ibu; ayah dan ibu refleks memekik; Surya Jaya yang masih bayi –dan belum resmi bernama– menangis. ”Jangan pakai nama Surya, paham? Aku sangat berbakat melubangi dahi orang.”

Dari koridor terdengar orang-orang berlari mendekat. Tangan Surya Kencana sama sekali tak gemetar selama menodongkan pistol; ia pasti benar-benar berbakat melubangi dahi orang.

Apa jadinya jika Surya Jaya bayi tumbuh besar tanpa orang tua? Seperti kisah perjalanan lintas waktu di film-film Hollywood, masa depan akan berubah ketika ada yang mengubah masa lalu secara signifikan.

Mungkin Surya Jaya akan menjadi jauh lebih menyedihkan ketimbang tukang ojek daring yang bermasalah dengan orang kaya. Mungkin Surya Jaya tak akan menikah dengan istrinya sekarang. Mungkin Surya Jaya tak akan ada di masa depan.

Surya Jaya bisa saja merebut pistol di tangan Surya Kencana dan membunuhnya –tapi ia tak akan bisa kembali ke masa depan, atau minimal terlambat mencari tahu bagaimana cara mengoperasikan jam tangan ajaibnya, sehingga orang-orang yang berlari dari koridor akan keburu menghajarnya.

Ia harus memaksa ayah dan ibu mengganti namanya tanpa mengubah masa depan secara signifikan.

Mendadak Surya Jaya merebut pistol Surya Kencana, berlari mendekati ayah, menempelkan moncong pistol ke kemaluannya, dan menarik pelatuk! Ayah tumbang dengan jerit pemecah telinga; Ibu pingsan; tangisan Surya Jaya bayi semakin nyaring.

”Pokoknya Budi Jaya, Budi Jaya, Budi Jaya!” pekik Surya Jaya.

Pintu kamar didobrak: para perawat berkerumun di balik pintu. Surya Kencana langsung mengoperasikan jam tangan, Surya Jaya memeluknya –cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan– sesaat kemudian mereka telah kembali ke ruangan Surya Kencana.

Surya Kencana menyambar pistolnya dari Surya Jaya; tukang ojek daring itu segera mengeluarkan dompet dan memeriksa KTP: Budi Jaya. Seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat, Budi segera meneleponku dan bertanya, ”Kau ingat siapa nama lengkapku?” dan kujawab, ”Tentu Budi Jaya… Ada apa?” Tak puas dengan jawabanku, ia menelepon beberapa orang lagi dan mendapat jawaban serupa.

Surya Kencana tersenyum puas. Ia duduk di balik meja jati, membuka laptop, dan berkata, ”Sekarang aku harus bersiap-siap untuk rapat.” Ia menoleh si penodong senapan yang mengintip dari celah di balik pigura. ”Antarkan dia keluar.”

Seseorang itu menggeser pigura lebih lebar dan memanjat keluar dari persembunyian, membiarkan senapannya tetap di sana. Ternyata, ia adalah si bondol.

”Omong-omong,” ucap Surya Kencana, ”aku tidak jadi ingin soto. Buang saja.”

Selama Budi Jaya mengendarai motor menuju pangkalan, ia merenungkan apa yang mungkin berubah secara signifikan selain namanya. Masalah kemaluan ayah, ia tak pusing: tiga hari setelah kelahiran Surya Jaya, ayah mengalami kecelakaan lalu lintas yang menghancurkan kemaluannya –mestinya tak ada perubahan signifikan akibat kemaluan yang hancur tiga hari lebih cepat.

Tapi, soal perubahan nama: Apakah itu termasuk perubahan signifikan? Apakah nama Surya dan Budi memberikan kesan berbeda di mata orang-orang, yang berpengaruh pada bagaimana mereka memperlakukannya? Apakah nama hanyalah doa omong kosong?

Satu-satunya perubahan signifikan yang Budi Jaya relatif cepat sadari adalah: semenjak bermasalah dengan orang kaya, tiap malam ia tak lagi hanya memikirkan makan apa keluarganya besok. (*)

SURYA GEMILANG, Penulis dan tinggal di Jakarta

Oleh SURYA GEMILANG

Bermasalah dengan orang kaya akan membuatmu gila –atau minimal kewarasanmu dipertanyakan. Di pangkalan ojek daring, kami mempertanyakan kewarasan salah satu rekan kami: Budi Jaya –yang dari dulu kami kenal sebagai Budi Jaya, tapi ia mengaku, ”Beberapa saat lalu, namaku Surya Jaya! Kalian benar-benar tak ingat?”

Ia bersikeras bahwa kami melupakan nama aslinya gara-gara perjalanan lintas waktu yang ia alami beberapa saat lalu. Cerita tentang perjalanan lintas waktu tersebut, tentu saja, membuat kami semakin mempertanyakan kewarasannya –terlebih ia menceritakan kisah tak bernalar itu tanpa menampakkan intensi bercanda.

***

Pagi tadi Budi Jaya –maksudku semasih namanya Surya Jaya (menurutnya)– mengantarkan seporsi soto ayam tujuh puluh ribu rupiah ke sebuah kompleks perumahan elite, yang portal depannya dijaga dua pria berseragam biru gelap dengan pistol terselip di pinggang. Suara kepadatan lalu lintas tak menembus kompleks itu. Hanya terdengar suara motor Surya Jaya yang melintasi barisan rumah bertingkat tiga sampai empat, dengan pos satpam di setiap gerbangnya, plus satpam-satpam yang menatapnya curiga.

Surya Jaya berhenti di hadapan rumah paling ujung, rumah bertingkat empat dengan gerbang hitam berkilau setinggi dua kali tubuhnya. Di gerbang itu tertulis, dengan cat emas dan huruf-huruf sebesar dada orang dewasa, sebuah nama: Surya Kencana. Persis nama pemilik akun yang memesan soto ayam tujuh puluh ribu rupiah.

Gerbang terbuka sedikit, menjauhkan Surya dari Kencana beberapa sentimeter, dan dari celah gerbang mengintip sepasang mata. ”Jaya?” tanya seorang satpam.

Tak pernah ada yang memanggilnya Jaya; orang-orang memanggilnya Surya –setidaknya ia merasa begitu, walau seingat kami panggilannya selalu Budi. Bagaimanapun, karena Jaya adalah bagian dari namanya, ia mengiyakan pertanyaan si satpam, yang segera membuka gerbang lebih lebar dan berkata, ”Silakan parkir motor di dalam. Tuan Surya ingin bercakap-cakap.”

Surya Jaya terdiam sesaat. Belum pernah ada pemesan yang ingin bercakap-cakap terlebih dahulu dengannya. Mungkin Surya Kencana ingin sekadar berbasa-basi sebagai sesama Surya.

Surya Jaya pun memarkir motor di halaman rumah Surya Kencana, halaman dengan permukaan batu sikat bermotif bunga-bunga. Setelah Surya Jaya menurunkan standar motor, dari pintu beranda keluar seorang wanita berjas dengan rambut pirang bondol. ”Jaya?” tanya si bondol, formal, dan Surya Jaya mengangguk. Wanita itu mengambil soto ayam dari cantolan motor Surya Jaya dan memintanya ikut ke ruang dalam karena, ”Tuan Surya ingin menemuimu.”

 

 

Ruang depan dipenuhi lukisan-lukisan seorang pria yang sama –bertubuh gempal pendek dan tersenyum miring dan bertatapan menghina –dengan pose berbeda-beda: dari duduk di sofa dengan satu kaki di atas kaki lain, duduk di balik meja kerja seraya menghitung uang, hingga duduk di atas tumpukan uang.

Dari segi hal-hal lain, ruang depan membuat Surya Jaya merasa begitu miskin hingga tak layak bernapas. Bagaimanapun ia terus mengikuti si bondol; ruapan aroma melati dari lantai membuatnya membayangkan kuburan; mereka menaiki tangga tiga kali hingga lututnya berdenyut-denyut, dan tibalah mereka di depan sebuah pintu ganda hitam mengilap, dan si bondol mengetuk sebelum membukanya –aroma cerutu menyerbu keluar bersama dingin pendingin ruangan.

Di dalam sana, di ruang temaram yang hanya diterangi cahaya kuning lampu berdiri, duduklah seorang pria berjas hitam yang lukisannya memenuhi ruang depan, kedua kakinya bertumpu di meja jati, cerutu di sela bibirnya menyala.

Apa yang membedakan wajahnya dengan lukisan-lukisan itu adalah tak ada senyum menghina di sana –jelas ia menahan kemarahan hingga sesekali terdengar dengus napasnya. Mudah ditebak: ialah Surya Kencana.

Baca Juga :  Mata Merah Pekat

”Silakan masuk,” kata si bondol. Kemudian, kepada sang tuan, si bondol berkata, ”Soto ayamnya akan saya siapkan di ruang makan, Tuan. Terima kasih.”

Surya Kencana tak berkata apa-apa. Surya Jaya pun ragu-ragu memasuki ruangan; si bondol mengunci pintu di belakangnya. Tak ada kursi lain selain yang pria gempal itu duduki, sehingga Surya Jaya hanya berdiri canggung di hadapan meja jatinya.

”Kau tahu arti dari Surya?” tanya Surya Kencana, berat dan serak dan dingin.

Surya Jaya baru akan menjawab, tapi Surya Kencana menyambung, ”Matahari. Aku diberi nama Surya karena aku adalah ’matahari’, alias sosok yang sangat penting di dunia. Apa kau sosok penting?”

”Tidak,” Surya Jaya terbata. ”Orang tua saya hanya berharap saya menjadi sosok penting, mungkin…?”

Pendingin ruangan berderak; udara dingin menggigilkan Surya Jaya. Jendela tertutup gorden marun tebal, segala hal yang menempel memenuhi dinding –hingga hampir menyentuh lantai dan langit-langit– agak sulit dikenali sebelum penglihatannya terbiasa dengan keremangan: ada medali-medali dan foto-foto Surya Kencana, semua berukuran variatif dan dipasang secara tak berpola.

Salah satu foto seukuran orang dewasa memperlihatkan Surya Kencana berseragam tentara, memberi hormat ke arah kamera; pigura foto itu tergeser sedikit ke samping, menampakkan celah tipis di mana laras senapan mencuat, membidik Surya Jaya hingga tungkainya gemetar.

”Sebagai Surya,” ucap Surya Kencana, ”aku agak tersinggung. Aku benci jika orang lain bernama Surya dan ia bukan sosok penting. Jadi, dengan rendah hati…” Surya Kencana menurunkan kaki dari meja dan berdiri, sepucuk pistol terselip di pinggangnya, ”aku harap kau menghilangkan Surya dari namamu.”

Urusan mengganti nama tak pernah terlintas di kepala Surya Jaya. Lagi pula, apa pentingnya nama? Nama sering kali menjadi doa omong kosong para orang tua: seorang anak bernama Muhammad tumbuh menjadi pembunuh; Ayu tumbuh menjadi gadis buruk rupa; Lanang tumbuh menjadi perempuan transgender –sudah terlalu sering nama tak menentukan identitas seseorang.

”Maaf, saya punya beberapa pertanyaan,” balas Surya Jaya. ”Pertama, bagaimana cara mengganti nama? Kedua, apa nama baru yang bagus buat saya?”

”Untuk pertanyaan kedua… mungkin Budi? Budi Jaya? Kau sudah cukup berbudi dengan bersedia mengganti nama. Dan untuk Jaya, masa bodoh, itu bukan namaku. Untuk pertanyaan pertama…” Surya Kencana mematikan cerutu ke asbak, melangkah ke belakang Surya Jaya, dan membelitkan lengan kiri ke lehernya. Lengan kemejanya lembap, meruapkan aroma keringat seperti sepatu basah; jam tangan digital melingkari pergelangan tangan kirinya. ”Kapan kau lahir?”

Terbata dan parau, Surya Jaya mengucapkan tanggal dan tahun lahirnya.

”Bagus. Kalau begitu, sehari setelah kau dilahirkan.”

Surya Kencana mengatur tanggal dan bulan dan tahun di jam tangan digitalnya, lalu menekan salah satu tombol dan mendadak cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan –Surya Jaya refleks memejam, tapi cahaya putih tetap menerobos kelopak mata.

Sesaat kemudian, Surya Kencana melepaskan belitan lengan kirinya di leher Surya Jaya; di balik mata tertutup terasa cahaya putih menghilang; Surya Jaya membuka mata. Mereka telah berada di kamar rumah sakit. Ibu duduk bersandar di kasur seraya menyusui bayi, ayah berdiri di sampingnya –ibu dan ayah sontak menoleh ke mereka berdua.

”Siapa kalian?” tanya ayah, waspada.

”Bayi itu Surya Jaya, betul?” kata Surya Kencana.

”Kami berencana menamainya begitu…” balas ibu.

”Sekarang,” bisik Surya Kencana pada Surya Jaya, ”bujuk mereka untuk mengganti namamu. Bicara baik-baik tentu lebih baik ketimbang menodongkan pistol.”

Surya Jaya mengangguk, keringat dingin melengketkan baju ke tubuhnya. Ia pun berdeham, menarik perhatian ibu dan ayah. ”Sebetulnya, Surya Jaya kurang bagus. Budi Jaya lebih bagus…”

Baca Juga :  Buku, Pembaca, dan Rating

”Maaf…?” balas ayah.

”Kau tidak pandai bicara,” bisik Surya Kencana.

”Omong-omong, aku ada rapat penting sembilan menit lagi. Aku harus mempercepat urusan ini.” Tiba-tiba ia menarik pistol dari pinggang dan menembak kasur beberapa milimeter di samping mata kaki ibu; ayah dan ibu refleks memekik; Surya Jaya yang masih bayi –dan belum resmi bernama– menangis. ”Jangan pakai nama Surya, paham? Aku sangat berbakat melubangi dahi orang.”

Dari koridor terdengar orang-orang berlari mendekat. Tangan Surya Kencana sama sekali tak gemetar selama menodongkan pistol; ia pasti benar-benar berbakat melubangi dahi orang.

Apa jadinya jika Surya Jaya bayi tumbuh besar tanpa orang tua? Seperti kisah perjalanan lintas waktu di film-film Hollywood, masa depan akan berubah ketika ada yang mengubah masa lalu secara signifikan.

Mungkin Surya Jaya akan menjadi jauh lebih menyedihkan ketimbang tukang ojek daring yang bermasalah dengan orang kaya. Mungkin Surya Jaya tak akan menikah dengan istrinya sekarang. Mungkin Surya Jaya tak akan ada di masa depan.

Surya Jaya bisa saja merebut pistol di tangan Surya Kencana dan membunuhnya –tapi ia tak akan bisa kembali ke masa depan, atau minimal terlambat mencari tahu bagaimana cara mengoperasikan jam tangan ajaibnya, sehingga orang-orang yang berlari dari koridor akan keburu menghajarnya.

Ia harus memaksa ayah dan ibu mengganti namanya tanpa mengubah masa depan secara signifikan.

Mendadak Surya Jaya merebut pistol Surya Kencana, berlari mendekati ayah, menempelkan moncong pistol ke kemaluannya, dan menarik pelatuk! Ayah tumbang dengan jerit pemecah telinga; Ibu pingsan; tangisan Surya Jaya bayi semakin nyaring.

”Pokoknya Budi Jaya, Budi Jaya, Budi Jaya!” pekik Surya Jaya.

Pintu kamar didobrak: para perawat berkerumun di balik pintu. Surya Kencana langsung mengoperasikan jam tangan, Surya Jaya memeluknya –cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan– sesaat kemudian mereka telah kembali ke ruangan Surya Kencana.

Surya Kencana menyambar pistolnya dari Surya Jaya; tukang ojek daring itu segera mengeluarkan dompet dan memeriksa KTP: Budi Jaya. Seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat, Budi segera meneleponku dan bertanya, ”Kau ingat siapa nama lengkapku?” dan kujawab, ”Tentu Budi Jaya… Ada apa?” Tak puas dengan jawabanku, ia menelepon beberapa orang lagi dan mendapat jawaban serupa.

Surya Kencana tersenyum puas. Ia duduk di balik meja jati, membuka laptop, dan berkata, ”Sekarang aku harus bersiap-siap untuk rapat.” Ia menoleh si penodong senapan yang mengintip dari celah di balik pigura. ”Antarkan dia keluar.”

Seseorang itu menggeser pigura lebih lebar dan memanjat keluar dari persembunyian, membiarkan senapannya tetap di sana. Ternyata, ia adalah si bondol.

”Omong-omong,” ucap Surya Kencana, ”aku tidak jadi ingin soto. Buang saja.”

Selama Budi Jaya mengendarai motor menuju pangkalan, ia merenungkan apa yang mungkin berubah secara signifikan selain namanya. Masalah kemaluan ayah, ia tak pusing: tiga hari setelah kelahiran Surya Jaya, ayah mengalami kecelakaan lalu lintas yang menghancurkan kemaluannya –mestinya tak ada perubahan signifikan akibat kemaluan yang hancur tiga hari lebih cepat.

Tapi, soal perubahan nama: Apakah itu termasuk perubahan signifikan? Apakah nama Surya dan Budi memberikan kesan berbeda di mata orang-orang, yang berpengaruh pada bagaimana mereka memperlakukannya? Apakah nama hanyalah doa omong kosong?

Satu-satunya perubahan signifikan yang Budi Jaya relatif cepat sadari adalah: semenjak bermasalah dengan orang kaya, tiap malam ia tak lagi hanya memikirkan makan apa keluarganya besok. (*)

SURYA GEMILANG, Penulis dan tinggal di Jakarta

Terpopuler

Artikel Terbaru