30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Santri, Politik Islam, dan Kaderisasi Ulama

DALAM sebuah perkuliahan, Prof David Grafton, seorang pastor Amerika yang menaruh minat begitu dalam terhadap studi keislaman, tampak heran. Penulis buku Teaching Islam: Muhammad, the Qur’an, and Arabic Studies in 19th Century American Seminary Education itu menyatakan betapa kajian dan praktik Islam terbentang begitu luas. Tidak hanya terkait urusan ritual dan personal, tapi juga sosial, budaya, dan politik kenegaraan sekalipun.

Merenungi keheranan tersebut, penulis terpikir pada momen Hari Santri Nasional tahun ini yang diperingati tiap 22 Oktober. Bertepatan dengan semakin dinamisnya konstelasi politik Indonesia yang telah memasuki tahapan demi tahapan Pemilu 2024, setiap orang yang merasa dirinya santri patut berbangga. Sebab, sosok santri ternyata masih dan terus menjadi daya tarik bagi setiap kutub perpolitikan.

Hingga artikel ini ditulis, rakyat Indonesia menyaksikan ada dua –dari kemungkinan tiga– calon wakil presiden yang resmi diangkat berbagai kelompok koalisi. Menariknya, dua sosok tersebut merupakan seorang santri; Muhaimin Iskandar yang berpendidikan di Pesantren Denanyar Jombang dan Moh. Mahfud MD di Pesantren Al-Mardhiyyah Pamekasan.

Selaras dengan pengakuan Grafton di atas, fakta itu menguatkan tesis sekian banyak sarjana bahwa Islam semakin memainkan peran penting dalam tatanan kehidupan politik, baik di tingkat lokal maupun global. Tidak mengherankan jika kemudian sosok santri (orang yang mendalami ajaran Islam) sering menjadi perebutan antarkelompok kekuasaan.

Politik Islam vis-à-vis Islam Politik

Indonesia patut berterima kasih kepada Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, dua sosok santri yang menjadi lokomotif pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia pada akhir abad ke-20. Terlepas dari beberapa sisi kontroversial mereka, moderasi pemikiran politiknya senantiasa memengaruhi paradigma berpikir masyarakat lintas golongan, generasi, agama, dan terutama para elite politik.

Baca Juga :  Perampok Pajak

Terkenal dengan masing-masing gagasan pribumisasi Islam dan ’’Islam Yes, Partai Islam No!’’, keduanya berusaha menempatkan Islam lebih sebagai nilai etis, bukan sekadar legal formal, agar kemudian ia mampu menjadi inspirasi bagi beragam aturan dan norma sosial kemasyarakatan. Dalam konteks percaturan politik, gagasan tersebut terkristalisasi pada apa yang disebut politik Islam –bukan Islam politik.

Jika dibandingkan dengan beberapa negara muslim lainnya, terutama di Timur Tengah, Indonesia yang demikian heterogen ternyata relatif aman dan nyaman. Tidak diragukan lagi, dalam batas tertentu, ini merupakan buah dari pilihan politik Islam tersebut.

Pilihan politik Islam lebih mengedepankan titik temu (golden mean) daripada titik beda. Terutama ketika bersinggungan dengan isu perbedaan. Cara pandang itu dapat dilihat lebih sebagai hasil kompromi politik keagamaan ketika melihat arus pluralitas dan globalisasi di tengah-tengah masyarakat semakin mengemuka.

Menyadari kontribusi Islam yang demikian signifikan, usaha untuk mencetak para ulama-intelektual muslim moderat agar kemudian menjadi pemimpin masa depan menjadi sebuah keniscayaan. Pada titik ini, beberapa program pendidikan kaderisasi ulama yang diselenggarakan berbagai instansi patut untuk mendapatkan perhatian lebih.

Konsolidasi Pendidikan Kaderisasi Ulama

Pendidikan kaderisasi ulama (PKU) sesungguhnya bukan hal baru. Sebagaimana diberitakan Panjimas (601/1989), program itu digagas sejak era 1980-an. Terutama ketika saat itu melihat semakin berkurangnya minat generasi muda untuk menjadi santri sehingga menekuni studi keagamaan.

Merespons hal tersebut, berbagai lembaga, baik di tingkat provinsi maupun nasional, akhirnya menginisiasi program itu. Di antaranya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang meluncurkan Beasiswa Kaderisasi Seribu Ulama, Universitas Darussalam Gontor dengan Program Kaderisasi Ulama (PKU), serta berbagai perguruan tinggi lain. Dan, tentu saja ribuan pesantren yang sudah melakukannya terlebih dahulu.

Baca Juga :  Roh Arkand Bodhana Zeshaprajna Datang, Butet Kartaredjasa Kesurupan

Salah satu perkembangan menarik adalah diadopsinya PKU menjadi salah satu segmen beasiswa yang didanai Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Program Pemerintah yang dimulai pada 2022 tersebut bernama Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).

Gagasan utama dari PKUMI adalah ’’melahirkan kader ulama yang berakhlak mulia dan berpandangan moderat sehingga dapat menjadi rujukan umat, baik tingkat lokal, nasional, maupun internasional” (PKUMI, 20023).

Menginjak angkatan ketiga ini, PKUMI sedang mendidik total 181 kader ulama. Selain mendapatkan program keulamaan, mereka mengejar gelar akreditasi, baik S-2 maupun S3, di Universitas PTIQ Jakarta.

Salah satu tantangan dari agenda itu adalah bagaimana mengelola sumber daya manusia yang demikian besar tersebut. Baik yang didanai pemerintah maupun swasta harus saling berkonsolidasi, menyiapkan program terukur pasca kelulusan. Hal itu semata-mata agar ia tidak hanya fokus pada masa pengaderan. Namun, juga mengawal para kader tersebut benar-benar menjadi seorang pemimpin siap pakai.

Pada akhirnya, di tengah pusparagam pengalaman pribadi dan tantangan sosial-politik seperti sekarang, seorang ulama-intelektual harus sadar bahwa dirinya tetap santri. Islam tetap menjadi api inspirasi dalam dirinya.

Di sini, pesan KH Imam Zarkasyi, pendiri Pondok Modern Gontor, patut dipertimbangkan: ’’Jadilah ulama yang intelek; bukan intelek yang [sekadar] tahu agama.” Selamat Hari Santri! (*)

*) MUHAMMAD ABDUL AZIZ, Peserta Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) Jakarta; Visiting PhD Researcher di Hartford International University for Religion and Peace, Amerika Serikat

DALAM sebuah perkuliahan, Prof David Grafton, seorang pastor Amerika yang menaruh minat begitu dalam terhadap studi keislaman, tampak heran. Penulis buku Teaching Islam: Muhammad, the Qur’an, and Arabic Studies in 19th Century American Seminary Education itu menyatakan betapa kajian dan praktik Islam terbentang begitu luas. Tidak hanya terkait urusan ritual dan personal, tapi juga sosial, budaya, dan politik kenegaraan sekalipun.

Merenungi keheranan tersebut, penulis terpikir pada momen Hari Santri Nasional tahun ini yang diperingati tiap 22 Oktober. Bertepatan dengan semakin dinamisnya konstelasi politik Indonesia yang telah memasuki tahapan demi tahapan Pemilu 2024, setiap orang yang merasa dirinya santri patut berbangga. Sebab, sosok santri ternyata masih dan terus menjadi daya tarik bagi setiap kutub perpolitikan.

Hingga artikel ini ditulis, rakyat Indonesia menyaksikan ada dua –dari kemungkinan tiga– calon wakil presiden yang resmi diangkat berbagai kelompok koalisi. Menariknya, dua sosok tersebut merupakan seorang santri; Muhaimin Iskandar yang berpendidikan di Pesantren Denanyar Jombang dan Moh. Mahfud MD di Pesantren Al-Mardhiyyah Pamekasan.

Selaras dengan pengakuan Grafton di atas, fakta itu menguatkan tesis sekian banyak sarjana bahwa Islam semakin memainkan peran penting dalam tatanan kehidupan politik, baik di tingkat lokal maupun global. Tidak mengherankan jika kemudian sosok santri (orang yang mendalami ajaran Islam) sering menjadi perebutan antarkelompok kekuasaan.

Politik Islam vis-à-vis Islam Politik

Indonesia patut berterima kasih kepada Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, dua sosok santri yang menjadi lokomotif pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia pada akhir abad ke-20. Terlepas dari beberapa sisi kontroversial mereka, moderasi pemikiran politiknya senantiasa memengaruhi paradigma berpikir masyarakat lintas golongan, generasi, agama, dan terutama para elite politik.

Baca Juga :  Perampok Pajak

Terkenal dengan masing-masing gagasan pribumisasi Islam dan ’’Islam Yes, Partai Islam No!’’, keduanya berusaha menempatkan Islam lebih sebagai nilai etis, bukan sekadar legal formal, agar kemudian ia mampu menjadi inspirasi bagi beragam aturan dan norma sosial kemasyarakatan. Dalam konteks percaturan politik, gagasan tersebut terkristalisasi pada apa yang disebut politik Islam –bukan Islam politik.

Jika dibandingkan dengan beberapa negara muslim lainnya, terutama di Timur Tengah, Indonesia yang demikian heterogen ternyata relatif aman dan nyaman. Tidak diragukan lagi, dalam batas tertentu, ini merupakan buah dari pilihan politik Islam tersebut.

Pilihan politik Islam lebih mengedepankan titik temu (golden mean) daripada titik beda. Terutama ketika bersinggungan dengan isu perbedaan. Cara pandang itu dapat dilihat lebih sebagai hasil kompromi politik keagamaan ketika melihat arus pluralitas dan globalisasi di tengah-tengah masyarakat semakin mengemuka.

Menyadari kontribusi Islam yang demikian signifikan, usaha untuk mencetak para ulama-intelektual muslim moderat agar kemudian menjadi pemimpin masa depan menjadi sebuah keniscayaan. Pada titik ini, beberapa program pendidikan kaderisasi ulama yang diselenggarakan berbagai instansi patut untuk mendapatkan perhatian lebih.

Konsolidasi Pendidikan Kaderisasi Ulama

Pendidikan kaderisasi ulama (PKU) sesungguhnya bukan hal baru. Sebagaimana diberitakan Panjimas (601/1989), program itu digagas sejak era 1980-an. Terutama ketika saat itu melihat semakin berkurangnya minat generasi muda untuk menjadi santri sehingga menekuni studi keagamaan.

Merespons hal tersebut, berbagai lembaga, baik di tingkat provinsi maupun nasional, akhirnya menginisiasi program itu. Di antaranya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang meluncurkan Beasiswa Kaderisasi Seribu Ulama, Universitas Darussalam Gontor dengan Program Kaderisasi Ulama (PKU), serta berbagai perguruan tinggi lain. Dan, tentu saja ribuan pesantren yang sudah melakukannya terlebih dahulu.

Baca Juga :  Roh Arkand Bodhana Zeshaprajna Datang, Butet Kartaredjasa Kesurupan

Salah satu perkembangan menarik adalah diadopsinya PKU menjadi salah satu segmen beasiswa yang didanai Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Program Pemerintah yang dimulai pada 2022 tersebut bernama Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).

Gagasan utama dari PKUMI adalah ’’melahirkan kader ulama yang berakhlak mulia dan berpandangan moderat sehingga dapat menjadi rujukan umat, baik tingkat lokal, nasional, maupun internasional” (PKUMI, 20023).

Menginjak angkatan ketiga ini, PKUMI sedang mendidik total 181 kader ulama. Selain mendapatkan program keulamaan, mereka mengejar gelar akreditasi, baik S-2 maupun S3, di Universitas PTIQ Jakarta.

Salah satu tantangan dari agenda itu adalah bagaimana mengelola sumber daya manusia yang demikian besar tersebut. Baik yang didanai pemerintah maupun swasta harus saling berkonsolidasi, menyiapkan program terukur pasca kelulusan. Hal itu semata-mata agar ia tidak hanya fokus pada masa pengaderan. Namun, juga mengawal para kader tersebut benar-benar menjadi seorang pemimpin siap pakai.

Pada akhirnya, di tengah pusparagam pengalaman pribadi dan tantangan sosial-politik seperti sekarang, seorang ulama-intelektual harus sadar bahwa dirinya tetap santri. Islam tetap menjadi api inspirasi dalam dirinya.

Di sini, pesan KH Imam Zarkasyi, pendiri Pondok Modern Gontor, patut dipertimbangkan: ’’Jadilah ulama yang intelek; bukan intelek yang [sekadar] tahu agama.” Selamat Hari Santri! (*)

*) MUHAMMAD ABDUL AZIZ, Peserta Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) Jakarta; Visiting PhD Researcher di Hartford International University for Religion and Peace, Amerika Serikat

Terpopuler

Artikel Terbaru