30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Perdamaian Uret dan Gangsir sebelum Masa Tanam

Di tangan dalang Sih Agung Prasetyo, wayang
menjelma menjadi tokoh-tokoh fabel yang menghadirkan cerita sederhana. Singkat
tapi sarat pesan yang membumi. Turut mengajarkan cara menjaga keseimbangan
alam. 


Taufiqurrahman, Magelang

 

NUN jauh di kedalaman tanah, di tlatah
Palemahan. Adalah Gangsir (jangkrik besar) bersama kawan-kawannya beriap-riap
di kedalaman tanah yang sudah gembur sehabis dicangkul petani. Sebentar lagi
mereka berpesta pora karena musim tanam telah tiba.

Saat asyik bergerilya di relung-relung
Palemahan, rombongan Gangsir dihadang sekelompok serangga lain, yakni Uret
alias ulat tanah berkaki empat. Seperti para gangsir, para uret pun sedang
bersukacita di relung-relung Palemahan karena musim tanam segera tiba.

Dalang dan pemilik pertunjukan Wayang Serangga,
Sih Agung Prasetyo, 33, menggambarkan dialog pertemuan dua kelompok besar
serangga tersebut.

”Kowe siapa?” bentak si ketua kelompok kawanan
Gangsir.

”Aku Uret, kowe sapa?” jawab pemimpin ulat-ulat
tanah dengan suara cempreng.

”Aku Gangsir. Ratu ing tlatah Palemahan!” jawab
si jangkrik besar.

Gangsir dengan pongahnya menegaskan bahwa
dirinya dan kawulanya adalah penguasa sejati tlatah Palemahan. Dengan begitu,
sudah tidak perlu dijelaskan lagi bahwa Uret dan kawan-kawannya harus segera
meninggalkan tempat itu karena musim tanam segera datang. Bangkai-bangkai
organik yang tenggelam ke dalam tanah serta akar-akar tumbuhan yang sebentar
lagi muncul adalah milik para gangsir.

Uret, tak senang dengan keangkuhan Gangsir,
menyatakan diri bahwa mereka dan kawulanya yang paling berhak atas limpahan
makanan di Palemahan. Semakin tegang, dua kelompok serangga itu pun terlibat
pertempuran sengit. Keduanya saling sikut dan bergelut.

Saat pertempuran memanas, turunlah dari pucuk
dedaunan, Ki Walang, sang belalang sembah. Sosok tua yang diliputi aura
kewibawaan, dengan suaranya yang karismatis dia berteriak agar kedua pihak
berhenti bertikai. ”O makhluk melata Uret dan Gangsir. Sesungguhnya kita semua
ciptaan Tuhan yang diberi tugas masing-masing…” tuturnya.

Baca Juga :  Di Ulang Tahun Abdul Rasyid, Agustiar Ajak Generasi Muda Belajar Seman

Kisah tersebut tentu tidak benar-benar terjadi
di dalam tanah. Tapi, di pinggiran ladang dekat sebuah dusun terpencil
Sudimoro, Desa Baleagung, Grabag, Magelang, Jawa Tengah, pada Rabu (22/1). Sih
Agung Prasetyo ndlosor di atas tanah gembur ladang dikelilingi anak-anak dusun
dan para petani.

Sebagaimana layaknya pertunjukan wayang, Agung
membuka dengan tembang pangkur, mengajak semuanya untuk mampir dan menyaksikan
pertunjukan dan pesan yang akan disampaikannya.

Agung siang itu mementaskan lakon konflik
antara Gangsir dan Uret.

Berbeda dengan gunungan wayang purwa yang
memuat gunung, istana, hewan penjaga mitologis seperti naga, garuda, ataupun
yaksha, gunungan wayang serangga milik Agung hanya terdiri atas puncak,
belantara, dan sebuah kolam kecil di bawahnya. Di dalam kolam, hidup ikan-ikan
dan hewan air. Di sekitarnya hewan-hewan berkerumun.

Agung dan wayang hewan bergerak dalam wadah
komunitas kesenian rakyat yang bernama Kelompok Lima Gunung. Diambil dari
daerah tempat tinggal mereka yang dikelilingi lima gunung (Sumbing, Sindoro,
Merapi, Merbabu, dan Andong). Agung belajar dalang mulai 2005. Selain Wayang
Serangga, Agung dan Komunitas Lima Gunung masih memiliki tema lain. Yakni,
Wayang Samudera. Tokohnya bisa ditebak, yakni para penghuni lautan. Misalnya,
ikan, kepiting, dan cumi-cumi.

Pementasannya pun selalu dilakukan sesuai
dengan karakteristik keduanya. Wayang Serangga biasanya dipentaskan di sawah,
ladang, dan perkebunan. Wayang Samudera biasanya dipentaskan di pinggir laut.

Namun, hal tersebut tidak pakem. Wayang
Serangga dan Samudera kerap diundang dan dipentaskan di mana pun dengan tema
yang bermacam-macam pula. Mulai motivasi pelajar sampai pendidikan seks.

Bahkan, karena tidak kondusif di pantai, Agung
pernah berpentas di kolam renang sebuah hotel di Bali dengan badannya terendam
air sampai dada. ”Tapi, cuma bertahan 20 menit. Saya kedinginan,” kenang Agung.

Tema Uret versus Gangsir diangkat beberapa
minggu terakhir karena memang populasi uret sedang tinggi di ladang-ladang
penduduk. Sekali cangkul, satu hingga tiga ekor uret nongol dari dalam tanah.
Uret dan para kawanannya mengurai dan memakan semua unsur yang masih keras dan
menyatukannya dalam tanah. ”Awal-awal bulan ini uret dan gangsir sedang
aktif-aktifnya mengurai. Jadi, kalau tanah ditanami sekarang, akar-akarnya
habis dimakan. Tanaman akan layu,” tutur Agung.

Baca Juga :  Memadukan Seni dengan Selera Pelanggan

Itu juga yang menjadi inisiatif Ki Walang
setelah berhasil mendamaikan dan menasihati Uret dan Gangsir. Ki Walang beralih
kepada para petani yang juga menjadi penonton. Lagi, dengan suaranya yang
bijaksana, dia memberikan nasihat kepada para petani.

”Mulo Uret dan Gangsir sedang beraktivitas dan
berpesta di tanah, menanamnya dipun tunda dulu. Sampai tugas mereka untuk
menguraikan unsur-unsur tanah selesai. Baru ditanam,” tutur Ki Walang.

Kemudian, datanglah Kismo, si pestisida. Dia
menawarkan solusi cepat dan praktis. Para petani bisa menanam lebih cepat jika
menggunakan pestisida. Semua hama tanaman langsung tandas dengan semprotan
bahan kimia tersebut. Namun, Ki Walang segera menukas. Mengatakan bahwa tidak
baik membunuh para gangsir dan uret. Keduanya bisa menjadi hama perusak kalau
waktu tanamnya salah. Namun, jika dibiarkan dahulu, keduanya justru bisa
menjadi penyubur.

”Kalau pakai pestisida dan insektisida
berlebihan, penguraiannya akan terlalu cepat. Konsekuensinya, semakin lama,
tanah jadi semakin tidak subur. Karena itu, jangan memakai pestisida
berlebihan. Nggih?” pesan Agung lewat suara Ki Walang. Dijawab nggih serentak
oleh para petani.

Dengan damainya Uret dan Gangsir serta
tertundanya kedatangan pasukan pestisida, kehidupan di tlatah Palemahan pun
kembali normal dengan siklus yang ditentukan alam. Palemahan kembali makmur dan
subur, siap melimpahkan anugerahnya untuk kesejahteraan petani.

Gunungan pun diangkat dan tembang pangkur
kembali dinyanyikan Agung. Sawah lan pategalan, dipun uri-uri. Urip raharjaning
bebrayan. Kabeh rahayu wilujeng mamayu hayuning bhumi. Ooo.. (*/c7/ayi/jpg)

Di tangan dalang Sih Agung Prasetyo, wayang
menjelma menjadi tokoh-tokoh fabel yang menghadirkan cerita sederhana. Singkat
tapi sarat pesan yang membumi. Turut mengajarkan cara menjaga keseimbangan
alam. 


Taufiqurrahman, Magelang

 

NUN jauh di kedalaman tanah, di tlatah
Palemahan. Adalah Gangsir (jangkrik besar) bersama kawan-kawannya beriap-riap
di kedalaman tanah yang sudah gembur sehabis dicangkul petani. Sebentar lagi
mereka berpesta pora karena musim tanam telah tiba.

Saat asyik bergerilya di relung-relung
Palemahan, rombongan Gangsir dihadang sekelompok serangga lain, yakni Uret
alias ulat tanah berkaki empat. Seperti para gangsir, para uret pun sedang
bersukacita di relung-relung Palemahan karena musim tanam segera tiba.

Dalang dan pemilik pertunjukan Wayang Serangga,
Sih Agung Prasetyo, 33, menggambarkan dialog pertemuan dua kelompok besar
serangga tersebut.

”Kowe siapa?” bentak si ketua kelompok kawanan
Gangsir.

”Aku Uret, kowe sapa?” jawab pemimpin ulat-ulat
tanah dengan suara cempreng.

”Aku Gangsir. Ratu ing tlatah Palemahan!” jawab
si jangkrik besar.

Gangsir dengan pongahnya menegaskan bahwa
dirinya dan kawulanya adalah penguasa sejati tlatah Palemahan. Dengan begitu,
sudah tidak perlu dijelaskan lagi bahwa Uret dan kawan-kawannya harus segera
meninggalkan tempat itu karena musim tanam segera datang. Bangkai-bangkai
organik yang tenggelam ke dalam tanah serta akar-akar tumbuhan yang sebentar
lagi muncul adalah milik para gangsir.

Uret, tak senang dengan keangkuhan Gangsir,
menyatakan diri bahwa mereka dan kawulanya yang paling berhak atas limpahan
makanan di Palemahan. Semakin tegang, dua kelompok serangga itu pun terlibat
pertempuran sengit. Keduanya saling sikut dan bergelut.

Saat pertempuran memanas, turunlah dari pucuk
dedaunan, Ki Walang, sang belalang sembah. Sosok tua yang diliputi aura
kewibawaan, dengan suaranya yang karismatis dia berteriak agar kedua pihak
berhenti bertikai. ”O makhluk melata Uret dan Gangsir. Sesungguhnya kita semua
ciptaan Tuhan yang diberi tugas masing-masing…” tuturnya.

Baca Juga :  Di Ulang Tahun Abdul Rasyid, Agustiar Ajak Generasi Muda Belajar Seman

Kisah tersebut tentu tidak benar-benar terjadi
di dalam tanah. Tapi, di pinggiran ladang dekat sebuah dusun terpencil
Sudimoro, Desa Baleagung, Grabag, Magelang, Jawa Tengah, pada Rabu (22/1). Sih
Agung Prasetyo ndlosor di atas tanah gembur ladang dikelilingi anak-anak dusun
dan para petani.

Sebagaimana layaknya pertunjukan wayang, Agung
membuka dengan tembang pangkur, mengajak semuanya untuk mampir dan menyaksikan
pertunjukan dan pesan yang akan disampaikannya.

Agung siang itu mementaskan lakon konflik
antara Gangsir dan Uret.

Berbeda dengan gunungan wayang purwa yang
memuat gunung, istana, hewan penjaga mitologis seperti naga, garuda, ataupun
yaksha, gunungan wayang serangga milik Agung hanya terdiri atas puncak,
belantara, dan sebuah kolam kecil di bawahnya. Di dalam kolam, hidup ikan-ikan
dan hewan air. Di sekitarnya hewan-hewan berkerumun.

Agung dan wayang hewan bergerak dalam wadah
komunitas kesenian rakyat yang bernama Kelompok Lima Gunung. Diambil dari
daerah tempat tinggal mereka yang dikelilingi lima gunung (Sumbing, Sindoro,
Merapi, Merbabu, dan Andong). Agung belajar dalang mulai 2005. Selain Wayang
Serangga, Agung dan Komunitas Lima Gunung masih memiliki tema lain. Yakni,
Wayang Samudera. Tokohnya bisa ditebak, yakni para penghuni lautan. Misalnya,
ikan, kepiting, dan cumi-cumi.

Pementasannya pun selalu dilakukan sesuai
dengan karakteristik keduanya. Wayang Serangga biasanya dipentaskan di sawah,
ladang, dan perkebunan. Wayang Samudera biasanya dipentaskan di pinggir laut.

Namun, hal tersebut tidak pakem. Wayang
Serangga dan Samudera kerap diundang dan dipentaskan di mana pun dengan tema
yang bermacam-macam pula. Mulai motivasi pelajar sampai pendidikan seks.

Bahkan, karena tidak kondusif di pantai, Agung
pernah berpentas di kolam renang sebuah hotel di Bali dengan badannya terendam
air sampai dada. ”Tapi, cuma bertahan 20 menit. Saya kedinginan,” kenang Agung.

Tema Uret versus Gangsir diangkat beberapa
minggu terakhir karena memang populasi uret sedang tinggi di ladang-ladang
penduduk. Sekali cangkul, satu hingga tiga ekor uret nongol dari dalam tanah.
Uret dan para kawanannya mengurai dan memakan semua unsur yang masih keras dan
menyatukannya dalam tanah. ”Awal-awal bulan ini uret dan gangsir sedang
aktif-aktifnya mengurai. Jadi, kalau tanah ditanami sekarang, akar-akarnya
habis dimakan. Tanaman akan layu,” tutur Agung.

Baca Juga :  Memadukan Seni dengan Selera Pelanggan

Itu juga yang menjadi inisiatif Ki Walang
setelah berhasil mendamaikan dan menasihati Uret dan Gangsir. Ki Walang beralih
kepada para petani yang juga menjadi penonton. Lagi, dengan suaranya yang
bijaksana, dia memberikan nasihat kepada para petani.

”Mulo Uret dan Gangsir sedang beraktivitas dan
berpesta di tanah, menanamnya dipun tunda dulu. Sampai tugas mereka untuk
menguraikan unsur-unsur tanah selesai. Baru ditanam,” tutur Ki Walang.

Kemudian, datanglah Kismo, si pestisida. Dia
menawarkan solusi cepat dan praktis. Para petani bisa menanam lebih cepat jika
menggunakan pestisida. Semua hama tanaman langsung tandas dengan semprotan
bahan kimia tersebut. Namun, Ki Walang segera menukas. Mengatakan bahwa tidak
baik membunuh para gangsir dan uret. Keduanya bisa menjadi hama perusak kalau
waktu tanamnya salah. Namun, jika dibiarkan dahulu, keduanya justru bisa
menjadi penyubur.

”Kalau pakai pestisida dan insektisida
berlebihan, penguraiannya akan terlalu cepat. Konsekuensinya, semakin lama,
tanah jadi semakin tidak subur. Karena itu, jangan memakai pestisida
berlebihan. Nggih?” pesan Agung lewat suara Ki Walang. Dijawab nggih serentak
oleh para petani.

Dengan damainya Uret dan Gangsir serta
tertundanya kedatangan pasukan pestisida, kehidupan di tlatah Palemahan pun
kembali normal dengan siklus yang ditentukan alam. Palemahan kembali makmur dan
subur, siap melimpahkan anugerahnya untuk kesejahteraan petani.

Gunungan pun diangkat dan tembang pangkur
kembali dinyanyikan Agung. Sawah lan pategalan, dipun uri-uri. Urip raharjaning
bebrayan. Kabeh rahayu wilujeng mamayu hayuning bhumi. Ooo.. (*/c7/ayi/jpg)

Terpopuler

Artikel Terbaru