33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Gratis dan Pelayanannya Kelas Sultan

Aktivitas keseharian Muhammad Wahyu dipantau
lewat jam tangan begitu dia dinyatakan lolos sebagai calon jemaah haji. Untuk
usir jenuh akibat ketatnya pengawasan, panitia menyediakan Rolex sebagai hadiah
cerdas cermat kehajian.

 

 

 

M HILMI SETIAWAN, Jakarta

 

DARI balik layar ponselnya saja terlihat jelas
betapa semringahnya wajah Muhammad Wahyu. Berkali-kali guru di Sekolah
Indonesia di Riyadh, Arab Saudi, itu mengucap syukur.

 

”Siapa yang tidak bahagia jadi satu dari seribu
orang saja yang bisa berhaji tahun ini,” kata dia kepada Jawa Pos yang
mewawancarainya melalui panggilan video. 

 

Keinginan untuk berhaji itu sebenarnya sudah
demikian besar begitu dia mendarat di Riyadh sebulan sebelum musim haji 2019.

 

Namun, waktu itu kesempatannya untuk bisa
berhaji tidak kesampaian. Sebab, untuk bisa mendapatkan surat izin berhaji,
ekspatriat wajib memiliki iqamah atau sejenis KTP untuk warga negara asing.
’’Untuk mendapatkan iqamah butuh waktu dua bulan,’’ katanya.

 

Apalagi, pada waktu itu perwakilan Indonesia di
Arab Saudi sedang berfokus dalam penyelenggaraan haji 2019. Akhirnya dia harus
memendam keinginan untuk berhaji.

 

Sebab, kartu iqamah-nya baru selesai setelah
musim haji 2019 selesai. Keinginan itu akhirnya baru terwujud di tahun ini. Dia
menjadi 1 di antara 13 warga negara Indonesia yang bisa menunaikan rukun Islam
kelima tersebut di masa pandemi Covid-19.

 

Suami Nisaiyatul Luthfia itu lolos dari ribuan
pendaftar haji di sistem milik Saudi. Wahyu menceritakan, proses pendaftaran
dilakukan secara online.

 

Dia tidak tahu pasti berapa banyak jumlah
pendaftar. Tapi, kabar yang dia terima, semula Saudi mengumumkan kuotanya tidak
lebih dari 10 ribu jemaah.

 

Bapak Azkayra Afsheen dan Suhaila Haseena itu
menuturkan, proses pendaftaran berlangsung selama lima hari. Pendaftar haji
harus melaporkan riwayat penyakit yang pernah diderita apa saja. Kemudian, ada
ketentuan lain seperti belum pernah berhaji sebelumnya. Dan, usia dibatasi
maksimal 65 tahun.

 

Pendaftar, kata Wahyu, tidak akan bisa
berbohong. Sebab, dalam proses berikutnya mereka harus melakukan kontrol atau
cek kesehatan di rumah sakit.

 

Nama Wahyu akhirnya masuk ke daftar pendaftar
haji yang dinyatakan lolos. Pada 17 Juli lalu dia menjalani tes swab dan
dinyatakan negatif Covid-19.

 

Setelah itu, panitia haji memberikan sejenis
jam tangan untuk memantau pergerakan calon jemaah haji. Jam tangan tersebut
tersambung dengan sebuah aplikasi di HP.

 

Setelah menerima perangkat jam tangan itu, dia
diwajibkan menjalani karantina mandiri. Tidak boleh keluar rumah. Jika keluar
rumah, terdeteksi melalui jam tangan itu. Kalau ketahuan, kepesertaannya
sebagai jemaah haji 2020 dicoret.

 

Berangkatlah Wahyu pada 25 Juli atau 4 Zulhijah
dari Riyadh menuju Jeddah dengan menggunakan pesawat. Penerbangan khusus jemaah
haji 2020.

 

Seluruh proses haji, mulai berangkat dari
Riyadh sampai pulang kembali ke ibu kota Arab Saudi itu, gratis. Dan, Wahyu
mengaku merasakan pengalaman pelayanan supermewah. Pelayanan layaknya seorang
sultan.

 

“Jika dibandingkan dengan haji seperti ini
di Indonesia, tarifnya sudah ratusan juta rupiah,”katanya, lantas
tersenyum.

 

Setiba di Jeddah, seluruh jamaah diangkut
dengan bus menuju Makkah. Mereka ditempatkan di Hotel Four Points. Sebuah hotel
bintang lima yang dioperasikan Sheraton di kawasan Aziziyah.

Baca Juga :  Membeludak, Ruang Dapur pun Dipakai Mengaji

 

Pria kelahiran Pontianak, Kalimantan Barat, 23
Mei 1992, itu menuturkan bahwa fasilitas yang diterima di hotel mewah itu
komplet. Satu kamar berisi satu orang. Perlengkapan untuk menjalani ibadah haji
sudah disiapkan. Misalnya, kain ihram dan payung.

 

Makan diantar petugas ke kamar masing-masing.
Secara berkala mereka juga menjalani pemeriksaan kesehatan. Petugas medis
datang ke setiap kamar.

 

Dia menegaskan, jemaah tidak boleh keluar
kamar. “Kalau ketahuan keluar kamar, didiskualifikasi,”katanya.
Proses karantina itu berlangsung pada 4 Zulhijah sampai 8 Zulhijah. Pagi buta
menjelang subuh, sekitar pukul 03.00 waktu setempat pada 8 Zulhijah itu,
seluruh jemaah diangkut dengan menggunakan bus untuk menjalani miqat atau
mengawali niat berhaji di Qarnul Manazil.

 

Umumnya orang yang mengambil miqat turun dari
bus. Kemudian, mandi besar, lalu menggunakan baju ihram. Setelah itu, salat
sunah di masjid, baru menuju Masjidilharam.

 

Namun, karena kali ini haji di tengah kondisi
pandemi, Wahyu mengatakan, sejak keluar hotel, mereka sudah mandi wajib dan
mengenakan baju ihram. ’’Kami di miqat tidak turun bus. Hanya memelankan
kecepatannya,’’ katanya.

 

Di dalam bus seluruh jamaah memasang niat
berhaji sambil memanjatkan doa. Setelah itu, bus secara beriringan berjalan
rapi dan dikawal mobil polisi melaju ke Masjidilharam.

 

Jamaah yang dibagi tiap kelompok berisi 20
orang itu kemudian menjalani tawaf qudum. Seperti banyak beredar di media
sosial, pelaksanaan tawaf berjalan sangat tertib.

 

Sebelum mulai memutari Kakbah, jamaah berdiri
mengelilingi Kakbah sesuai garis yang ditentukan. Lalu, secara serentak mulai
melakukan tawaf.

 

Setelah selesai tawaf, jemaah melakukan sai
atau lari kecil dari Safa ke Marwa. Proses sai yang biasanya bebas kini diawasi
ketat.

Wahyu yang sudah beberapa kali melaksanakan
umrah merasakan suasana yang sangat berbeda selama menjalani ibadah di
Masjidilharam. Biasanya sangat padat. Kali ini sangat longgar dan tertib.

 

Proses haji bisa berjalan tertib karena petugas
yang dikerahkan mencapai 60 ribu orang. “Bayangkan, jemaahnya seribu,
petugasnya 60 ribu,”tuturnya.

 

Bahkan, untuk sekadar ke toilet, jemaah tidak
boleh seenaknya keluar dari kelompok menuju toilet. Tapi, harus didampingi
pembimbing.

 

Pembimbing itu mengantar sampai ke toilet.
Kemudian, memastikan jumlah jemaah yang masuk ke toilet dan kembali ke tim
jumlahnya sama. Supaya tidak ada penyusup.

 

Setelah selesai rangkaian ibadah di
Masjidilharam, sekitar pukul 10 pagi mereka berangkat menuju Hotel Mina Towers.
Mereka menginap pada 8 Zulhijah untuk menjalani tarwiyah.

 

Hotel ini cukup dekat dengan lokasi melontar
jumrah. Hanya sekitar 200 meter. Sebagai perbandingan, jarak tenda jamaah haji
reguler dan tempat melontar jumrah bervariasi, mulai 3 km sampai 5 km.

 

Wahyu mendapat informasi bahwa tarif menginap
di Mina Towers itu sekitar 7.000 riyal atau Rp 27 juta.

 

Pada 9 Zulhijah atau 30 Juli seluruh jamaah
bergerak dari Mina Towers menuju Arafah untuk menjalani wukuf. Rangkaian wukuf
dimulai dengan mendengarkan khotbah wukuf. Setelah itu, melaksanakan salat
Duhur dan Asar dijamak.

 

“Inti khotbahnya itu kita diminta
bersabar,”katanya. Setelah itu, seluruh jemaah diberi waktu untuk
menjalankan ibadah masing-masing. Jamaah berdoa di tenda dengan sofa yang
ditata sedemikian rupa untuk menjalankan protokol jaga jarak.

Baca Juga :  Kunjungi Lokasi, Berikan Target dan Tekankan Lansia Menjadi Prioritas

 

Sekitar pukul 17.00 semua jamaah berjalan
dengan rapi di setiap kelompok menuju Jabal Rahmah. Jemaah berada di bukit
perjumpaan Nabi Adam dan Hawa sampai sekitar pukul 19.00 atau menjelang magrib.

 

Setelah di Arafah, jamaah bergerak menuju
Muzdalifah untuk menjalani mabit. Saat di Muzdalifah sempat turun hujan.
’’Jamaah yang tidak tertampung di dalam masjid sempat merasakan kehujanan.
Tetapi sebentar,’’ katanya.

 

Untuk makan, petugas mengantar sampai ke dalam
masjid. Jemaah menjalani iktikaf di Muzdalifah sampai pelaksanaan salat Subuh.

 

Sehabis salat Subuh, jemaah ke Mina untuk
melempar jumrah aqabah di tanggal 10 Zulhijah atau bertepatan dengan Idul Adha.
Dari tiga lantai jamarat atau tempat melontar jumrah, hanya satu lantai yang
digunakan. Jemaah diatur memanjang saat melaksanakan lempar jumrah.

 

Setelah selesai lempar jumrah aqabah, jemaah
menuju ke Masjiidlharam untuk tawaf ifadah. Lalu, kembali ke Mina Towers untuk
tahalul dan menanggalkan baju ihram.

 

Proses dilanjutkan dengan mabit di Mina Towers
dan melontar jumrah sampai tanggal 12 Zulhijah. Sekitar pukul 15.00 menuju
Masjidilharam untuk tawaf wada atau tawaf perpisahan. Proses haji pun sudah
selesai.

 

Wahyu mengamati lingkungan sekitar
Masjidilharam yang jauh berbeda dengan kondisi normal. Hotel dan pusat
perbelanjaan di Zam Zam Tower yang biasanya ramai saat musim haji seperti kota
mati kali ini. Semuanya tutup. Pedagang kaki lima di Terminal Syieb Amir yang ada
di sekitar Masjidilharam juga tidak ada.

 

Setelah selesai tawaf wada, seluruh jemaah
pulang sesuai rute. Ada yang ke bandara di Jeddah. Ada juga yang ke Madinah
atau kota-kota tempat asal jamaah lainnya. Perjalanan pulang itu tetap dikawal
petugas kepolisian sampai di rumah masing-masing. Wahyu mengatakan, tidak ada
pikiran untuk beli oleh-oleh. ’’Mau beli oleh-oleh di mana, kan tutup
semuanya,” katanya.

 

Dengan proses rangkaian ibadah haji yang cukup
ketat itu, panitia memiliki sejumlah cara untuk mengusir kebosanan. Di
antaranya adalah menjalankan program semacam cerdas cermat tentang ibadah haji.
Ada juga lomba tilawah. Perlombaan itu dilakukan secara online melalui ponsel
jamaah masing-masing.

 

Hadiah lomba itu lumayan. Yakni, jam tangan
Rolex. “Ada dua jamaah WNI yang mendapatkan jam tangan Rolex,”
jelasnya.

 

Sepuluh hari setiba di rumah dari haji,
kesehatannya tetap dipantau. Wahyu juga harus menjalani karantina mandiri di
rumah.

 

Bisa berhaji tahun ini memang menjadi momentum
langka. Banyak WNI di Arab Saudi yang mendaftar, tetapi tidak lolos. Misalnya,
yang dilakukan Konsul Haji KJRI Jeddah Endang Jumali. Dia mengatakan sudah
mendaftar online, tetapi dinyatakan tidak lolos.

 

Seluruh pendaftar dari keluarga besar KJRI
Jeddah tidak lolos. Hanya ada satu istri staf lokal KJRI Jeddah yang berhasil.

 

Endang mengatakan akan
menulis buku tentang cerita jemaah haji WNI musim 2020. Dia juga bersyukur
proses haji tahun ini berjalan lancar meski di tengah pandemi.

Aktivitas keseharian Muhammad Wahyu dipantau
lewat jam tangan begitu dia dinyatakan lolos sebagai calon jemaah haji. Untuk
usir jenuh akibat ketatnya pengawasan, panitia menyediakan Rolex sebagai hadiah
cerdas cermat kehajian.

 

 

 

M HILMI SETIAWAN, Jakarta

 

DARI balik layar ponselnya saja terlihat jelas
betapa semringahnya wajah Muhammad Wahyu. Berkali-kali guru di Sekolah
Indonesia di Riyadh, Arab Saudi, itu mengucap syukur.

 

”Siapa yang tidak bahagia jadi satu dari seribu
orang saja yang bisa berhaji tahun ini,” kata dia kepada Jawa Pos yang
mewawancarainya melalui panggilan video. 

 

Keinginan untuk berhaji itu sebenarnya sudah
demikian besar begitu dia mendarat di Riyadh sebulan sebelum musim haji 2019.

 

Namun, waktu itu kesempatannya untuk bisa
berhaji tidak kesampaian. Sebab, untuk bisa mendapatkan surat izin berhaji,
ekspatriat wajib memiliki iqamah atau sejenis KTP untuk warga negara asing.
’’Untuk mendapatkan iqamah butuh waktu dua bulan,’’ katanya.

 

Apalagi, pada waktu itu perwakilan Indonesia di
Arab Saudi sedang berfokus dalam penyelenggaraan haji 2019. Akhirnya dia harus
memendam keinginan untuk berhaji.

 

Sebab, kartu iqamah-nya baru selesai setelah
musim haji 2019 selesai. Keinginan itu akhirnya baru terwujud di tahun ini. Dia
menjadi 1 di antara 13 warga negara Indonesia yang bisa menunaikan rukun Islam
kelima tersebut di masa pandemi Covid-19.

 

Suami Nisaiyatul Luthfia itu lolos dari ribuan
pendaftar haji di sistem milik Saudi. Wahyu menceritakan, proses pendaftaran
dilakukan secara online.

 

Dia tidak tahu pasti berapa banyak jumlah
pendaftar. Tapi, kabar yang dia terima, semula Saudi mengumumkan kuotanya tidak
lebih dari 10 ribu jemaah.

 

Bapak Azkayra Afsheen dan Suhaila Haseena itu
menuturkan, proses pendaftaran berlangsung selama lima hari. Pendaftar haji
harus melaporkan riwayat penyakit yang pernah diderita apa saja. Kemudian, ada
ketentuan lain seperti belum pernah berhaji sebelumnya. Dan, usia dibatasi
maksimal 65 tahun.

 

Pendaftar, kata Wahyu, tidak akan bisa
berbohong. Sebab, dalam proses berikutnya mereka harus melakukan kontrol atau
cek kesehatan di rumah sakit.

 

Nama Wahyu akhirnya masuk ke daftar pendaftar
haji yang dinyatakan lolos. Pada 17 Juli lalu dia menjalani tes swab dan
dinyatakan negatif Covid-19.

 

Setelah itu, panitia haji memberikan sejenis
jam tangan untuk memantau pergerakan calon jemaah haji. Jam tangan tersebut
tersambung dengan sebuah aplikasi di HP.

 

Setelah menerima perangkat jam tangan itu, dia
diwajibkan menjalani karantina mandiri. Tidak boleh keluar rumah. Jika keluar
rumah, terdeteksi melalui jam tangan itu. Kalau ketahuan, kepesertaannya
sebagai jemaah haji 2020 dicoret.

 

Berangkatlah Wahyu pada 25 Juli atau 4 Zulhijah
dari Riyadh menuju Jeddah dengan menggunakan pesawat. Penerbangan khusus jemaah
haji 2020.

 

Seluruh proses haji, mulai berangkat dari
Riyadh sampai pulang kembali ke ibu kota Arab Saudi itu, gratis. Dan, Wahyu
mengaku merasakan pengalaman pelayanan supermewah. Pelayanan layaknya seorang
sultan.

 

“Jika dibandingkan dengan haji seperti ini
di Indonesia, tarifnya sudah ratusan juta rupiah,”katanya, lantas
tersenyum.

 

Setiba di Jeddah, seluruh jamaah diangkut
dengan bus menuju Makkah. Mereka ditempatkan di Hotel Four Points. Sebuah hotel
bintang lima yang dioperasikan Sheraton di kawasan Aziziyah.

Baca Juga :  Membeludak, Ruang Dapur pun Dipakai Mengaji

 

Pria kelahiran Pontianak, Kalimantan Barat, 23
Mei 1992, itu menuturkan bahwa fasilitas yang diterima di hotel mewah itu
komplet. Satu kamar berisi satu orang. Perlengkapan untuk menjalani ibadah haji
sudah disiapkan. Misalnya, kain ihram dan payung.

 

Makan diantar petugas ke kamar masing-masing.
Secara berkala mereka juga menjalani pemeriksaan kesehatan. Petugas medis
datang ke setiap kamar.

 

Dia menegaskan, jemaah tidak boleh keluar
kamar. “Kalau ketahuan keluar kamar, didiskualifikasi,”katanya.
Proses karantina itu berlangsung pada 4 Zulhijah sampai 8 Zulhijah. Pagi buta
menjelang subuh, sekitar pukul 03.00 waktu setempat pada 8 Zulhijah itu,
seluruh jemaah diangkut dengan menggunakan bus untuk menjalani miqat atau
mengawali niat berhaji di Qarnul Manazil.

 

Umumnya orang yang mengambil miqat turun dari
bus. Kemudian, mandi besar, lalu menggunakan baju ihram. Setelah itu, salat
sunah di masjid, baru menuju Masjidilharam.

 

Namun, karena kali ini haji di tengah kondisi
pandemi, Wahyu mengatakan, sejak keluar hotel, mereka sudah mandi wajib dan
mengenakan baju ihram. ’’Kami di miqat tidak turun bus. Hanya memelankan
kecepatannya,’’ katanya.

 

Di dalam bus seluruh jamaah memasang niat
berhaji sambil memanjatkan doa. Setelah itu, bus secara beriringan berjalan
rapi dan dikawal mobil polisi melaju ke Masjidilharam.

 

Jamaah yang dibagi tiap kelompok berisi 20
orang itu kemudian menjalani tawaf qudum. Seperti banyak beredar di media
sosial, pelaksanaan tawaf berjalan sangat tertib.

 

Sebelum mulai memutari Kakbah, jamaah berdiri
mengelilingi Kakbah sesuai garis yang ditentukan. Lalu, secara serentak mulai
melakukan tawaf.

 

Setelah selesai tawaf, jemaah melakukan sai
atau lari kecil dari Safa ke Marwa. Proses sai yang biasanya bebas kini diawasi
ketat.

Wahyu yang sudah beberapa kali melaksanakan
umrah merasakan suasana yang sangat berbeda selama menjalani ibadah di
Masjidilharam. Biasanya sangat padat. Kali ini sangat longgar dan tertib.

 

Proses haji bisa berjalan tertib karena petugas
yang dikerahkan mencapai 60 ribu orang. “Bayangkan, jemaahnya seribu,
petugasnya 60 ribu,”tuturnya.

 

Bahkan, untuk sekadar ke toilet, jemaah tidak
boleh seenaknya keluar dari kelompok menuju toilet. Tapi, harus didampingi
pembimbing.

 

Pembimbing itu mengantar sampai ke toilet.
Kemudian, memastikan jumlah jemaah yang masuk ke toilet dan kembali ke tim
jumlahnya sama. Supaya tidak ada penyusup.

 

Setelah selesai rangkaian ibadah di
Masjidilharam, sekitar pukul 10 pagi mereka berangkat menuju Hotel Mina Towers.
Mereka menginap pada 8 Zulhijah untuk menjalani tarwiyah.

 

Hotel ini cukup dekat dengan lokasi melontar
jumrah. Hanya sekitar 200 meter. Sebagai perbandingan, jarak tenda jamaah haji
reguler dan tempat melontar jumrah bervariasi, mulai 3 km sampai 5 km.

 

Wahyu mendapat informasi bahwa tarif menginap
di Mina Towers itu sekitar 7.000 riyal atau Rp 27 juta.

 

Pada 9 Zulhijah atau 30 Juli seluruh jamaah
bergerak dari Mina Towers menuju Arafah untuk menjalani wukuf. Rangkaian wukuf
dimulai dengan mendengarkan khotbah wukuf. Setelah itu, melaksanakan salat
Duhur dan Asar dijamak.

 

“Inti khotbahnya itu kita diminta
bersabar,”katanya. Setelah itu, seluruh jemaah diberi waktu untuk
menjalankan ibadah masing-masing. Jamaah berdoa di tenda dengan sofa yang
ditata sedemikian rupa untuk menjalankan protokol jaga jarak.

Baca Juga :  Kunjungi Lokasi, Berikan Target dan Tekankan Lansia Menjadi Prioritas

 

Sekitar pukul 17.00 semua jamaah berjalan
dengan rapi di setiap kelompok menuju Jabal Rahmah. Jemaah berada di bukit
perjumpaan Nabi Adam dan Hawa sampai sekitar pukul 19.00 atau menjelang magrib.

 

Setelah di Arafah, jamaah bergerak menuju
Muzdalifah untuk menjalani mabit. Saat di Muzdalifah sempat turun hujan.
’’Jamaah yang tidak tertampung di dalam masjid sempat merasakan kehujanan.
Tetapi sebentar,’’ katanya.

 

Untuk makan, petugas mengantar sampai ke dalam
masjid. Jemaah menjalani iktikaf di Muzdalifah sampai pelaksanaan salat Subuh.

 

Sehabis salat Subuh, jemaah ke Mina untuk
melempar jumrah aqabah di tanggal 10 Zulhijah atau bertepatan dengan Idul Adha.
Dari tiga lantai jamarat atau tempat melontar jumrah, hanya satu lantai yang
digunakan. Jemaah diatur memanjang saat melaksanakan lempar jumrah.

 

Setelah selesai lempar jumrah aqabah, jemaah
menuju ke Masjiidlharam untuk tawaf ifadah. Lalu, kembali ke Mina Towers untuk
tahalul dan menanggalkan baju ihram.

 

Proses dilanjutkan dengan mabit di Mina Towers
dan melontar jumrah sampai tanggal 12 Zulhijah. Sekitar pukul 15.00 menuju
Masjidilharam untuk tawaf wada atau tawaf perpisahan. Proses haji pun sudah
selesai.

 

Wahyu mengamati lingkungan sekitar
Masjidilharam yang jauh berbeda dengan kondisi normal. Hotel dan pusat
perbelanjaan di Zam Zam Tower yang biasanya ramai saat musim haji seperti kota
mati kali ini. Semuanya tutup. Pedagang kaki lima di Terminal Syieb Amir yang ada
di sekitar Masjidilharam juga tidak ada.

 

Setelah selesai tawaf wada, seluruh jemaah
pulang sesuai rute. Ada yang ke bandara di Jeddah. Ada juga yang ke Madinah
atau kota-kota tempat asal jamaah lainnya. Perjalanan pulang itu tetap dikawal
petugas kepolisian sampai di rumah masing-masing. Wahyu mengatakan, tidak ada
pikiran untuk beli oleh-oleh. ’’Mau beli oleh-oleh di mana, kan tutup
semuanya,” katanya.

 

Dengan proses rangkaian ibadah haji yang cukup
ketat itu, panitia memiliki sejumlah cara untuk mengusir kebosanan. Di
antaranya adalah menjalankan program semacam cerdas cermat tentang ibadah haji.
Ada juga lomba tilawah. Perlombaan itu dilakukan secara online melalui ponsel
jamaah masing-masing.

 

Hadiah lomba itu lumayan. Yakni, jam tangan
Rolex. “Ada dua jamaah WNI yang mendapatkan jam tangan Rolex,”
jelasnya.

 

Sepuluh hari setiba di rumah dari haji,
kesehatannya tetap dipantau. Wahyu juga harus menjalani karantina mandiri di
rumah.

 

Bisa berhaji tahun ini memang menjadi momentum
langka. Banyak WNI di Arab Saudi yang mendaftar, tetapi tidak lolos. Misalnya,
yang dilakukan Konsul Haji KJRI Jeddah Endang Jumali. Dia mengatakan sudah
mendaftar online, tetapi dinyatakan tidak lolos.

 

Seluruh pendaftar dari keluarga besar KJRI
Jeddah tidak lolos. Hanya ada satu istri staf lokal KJRI Jeddah yang berhasil.

 

Endang mengatakan akan
menulis buku tentang cerita jemaah haji WNI musim 2020. Dia juga bersyukur
proses haji tahun ini berjalan lancar meski di tengah pandemi.

Terpopuler

Artikel Terbaru