33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Kreasi Berbahan Tulang dan Tanduk

Lima sekawan dari Bandung ini
rajin berburu limbah tulang dan tanduk. Dikumpulkan lalu diolah menjadi jam
tangan. Tak semata mengejar materi, tapi lebih pada menyalurkan hobi dan
membagi inspirasi.

SAHRUL YUNIZAR, Bandung,
Jawa Pos

—

MARWAN Eka Fadillah,
Muhammad Rizky Fitriawan, Andika Gustianto Putra, Dale Nugraha, dan Dhimas K.
Panji adalah orang di balik keberadaan Groot Watch. Jam tangan itu unik karena
bodinya terbuat dari tulang belulang. Mayoritas tulang sapi meski kadang ada
tulang kerbau. Selain itu, ada tanduk kerbau atau domba. “Awal-awal kami dapat
tulang gratisan semua,” ujar Andika saat ditemui Kamis (19/12) lalu.

Andika mengingat, usaha
tersebut dimulai lima tahun silam. Mulanya mereka mendapatkan limbah tulang
secara cuma-cuma. Setelah datang beberapa kali, baru tulang-tulang itu
dihargai. Meski ya tetap tergolong murah. Setiap karung hanya Rp 25 ribu. Di
samping berulang datang, pedagang akhirnya mematok harga karena yang dicari
hanya tulang betis.

“Yang masih utuh. Itu bagian
paling keras,” kata Andika. “Ini contohnya,” sambung Marwan sambil menunjukkan
sampel di tempat tinggalnya di bilangan Regol, Bandung.

Di rumah Marwan itu pula
berdiri workshop. Di ruangan seluas 10 meter persegi tersebut tampak aneka
alat. Mulai gergaji besi, gerinda, pisau, sampai papan garis. Di ruangan itu
pula bertumpuk karung tulang sapi. Workshop tersebut menjadi tempat mereka
mendesain.

Ide memproduksi jam tangan
tulang maupun tanduk berawal dari hobi Marwan mengoleksi jam tangan unik. “Bukan
yang bermerek sebenarnya. Lebih ke jam tangan tak biasa. Misalnya jam tangan
kayu atau yang penunjuk waktunya aneh,” ucap alumnus Institut Teknologi Bandung
(ITB) itu.

Tertarik membuatnya, Marwan
melakukan riset kurang lebih satu tahun bersama empat temannya. Di tengah
perjalanan, muncul wacana membuat jam tangan dari tulang. Marwan yang memang
sering datang ke acara almamater bertemu perajin tulang di salah satu pameran
ITB. Mereka mengobrol hingga Marwan punya ide membuat jam dari tulang saja. “Kalau
saya buat jam tangan kayu yang sama (dengan koleksinya, Red), susah bersaing.
Saya minim modal dan relasi,” ungkap dia.

Baca Juga :  Berkat Aplikasi Curhat, Masuk Daftar 30 Under 30 Forbes Indonesia

Maka, tulang yang selama ini diketahui
bisa untuk aksesori sederhana dicoba jadi jam tangan. Merek Groot Watch yang
dipilih bukan sekadar nama. “Groot itu global root,” ucap Marwan.

Maknanya, mereka berniat
membawa konten lokal ke ruang yang lebih luas. Setiap produk dilabeli nama-nama
lokal. Ada Baduy, Dayak, Asmat, Madura, sampai Gantya. Sebelum jadi produk,
Dayak yang paling awal dibuat melalui fase uji coba. Ukurannya lebih kecil dari
bentuk final. “Ini dari awal sudah empat tahun masih kuat,” kata Marwan seraya
mengeluarkan dua jam tangan dari kotak kayu.

Dua jam tersebut sama-sama
produk pertama Groot Watch. Tidak dijual. Sebab, yang dijual hanya buatan
perajin tulang rekanan. Dari sedikit perajin tulang di Bandung, hanya satu yang
saat ini bersedia bekerja untuk Groot Watch. Namanya Mamad. Usianya sudah 70
tahun. Tergolong sepuh untuk perajin yang bekerja bersama pemuda seumur Marwan
dan rekan-rekannya. Itu pula yang membuat mereka resah. Sebab, tidak ada yang
mau jadi penerus para perajin tersebut. “Anak-anaknya lebih memilih kerja jadi
buruh,” ujar Marwan.

Mamad merangkai satu per satu
tulang yang sudah dibentuk menjadi komponen jam tangan. Tidak memakai perkakas
khusus, dia memilih alat sederhana. Pernah suatu kali, Marwan dkk membawakan
gerinda otomatis. Namun, perajin yang tinggal di daerah Ciwastra, Bandung, itu
menolak. Alat-alat otomatis tersebut kini lebih sering digunakan pendiri Groot
Watch untuk penyempurnaan produk.

Pembuatan jam dimulai dari
pembersihan tulang, pembentukan komponen, perakitan, pengasapan, dan pemasangan
mesin. Semua tulang digunakan tanpa bahan kimia maupun pengawet. Warna dan
corak yang berbeda-beda muncul saat tulang atau tanduk diasapi. “Warna alami,
bukan cat. Kalau cat di tulang pasti luntur,” ungkap Andika.

Baca Juga :  Ketika PSBB Bikin Kesenian Beralih ke Dunia Maya

Meski tanpa bahan pengawet,
Marwan menjamin jam yang mereka buat tahan lama. Selain itu, sama sekali tidak
berbau daging. Untuk saat ini semua jam tangan berupa analog. Mereka belum bisa
membuat jam tangan digital karena mesin yang dipakai juga mesin analog.

Khusus mesin, mereka
mengimpor. Memakai Miyota, mesin jam dari Jepang yang juga dipakai merek-merek
terkenal lain seperti Alexandre Christie. Sebagai variasi jenis, saat ini Groot
Watch tengah berkolaborasi dengan merek lokal Bandung lainnya untuk membuat jam
tangan analog otomatis. Sehingga tidak perlu lagi baterai dan tahan seumur
hidup.

Sepengetahuan Marwan, pembuat
jam dari tulang ini langka. Karena itulah, dia berminat membangun workshop baru
tempat orang belajar produksi jam tangan tulang dan tanduk. Mamad akan diminta
mengajari para perajin muda yang berminat. Di tempat tersebut nanti konsumen
juga bisa melihat langsung pembuatan jam tangan yang mereka kenakan.

Mereka ingin memberikan
inspirasi kepada perajin lainnya bahwa ada peluang untuk membuat produk keren
dari limbah tulang. Itu memang tujuan utama selain menjalankan hobi membuat
desain. Disebut hobi karena Groot Watch memang belum menjadi mata pencaharian
utama mereka. Masing-masing punya pekerjaan lain.

Empat tahun setelah produk
pertama dijual, jumlah jam tangan yang dihasilkan Groot Watch masih sangat
sedikit. Hanya sekitar 400 unit. Dari pemesanan sampai jadi, bisa dibutuhkan
waktu tiga sampai tujuh hari. Sangat terbatas dan langka. Tidak heran jika
konsumen mereka saat ini lebih banyak kolektor. Harga per item dipatok Rp 850 ribu
hingga Rp 1,9 juta. (*/jpc)

 

 

Lima sekawan dari Bandung ini
rajin berburu limbah tulang dan tanduk. Dikumpulkan lalu diolah menjadi jam
tangan. Tak semata mengejar materi, tapi lebih pada menyalurkan hobi dan
membagi inspirasi.

SAHRUL YUNIZAR, Bandung,
Jawa Pos

—

MARWAN Eka Fadillah,
Muhammad Rizky Fitriawan, Andika Gustianto Putra, Dale Nugraha, dan Dhimas K.
Panji adalah orang di balik keberadaan Groot Watch. Jam tangan itu unik karena
bodinya terbuat dari tulang belulang. Mayoritas tulang sapi meski kadang ada
tulang kerbau. Selain itu, ada tanduk kerbau atau domba. “Awal-awal kami dapat
tulang gratisan semua,” ujar Andika saat ditemui Kamis (19/12) lalu.

Andika mengingat, usaha
tersebut dimulai lima tahun silam. Mulanya mereka mendapatkan limbah tulang
secara cuma-cuma. Setelah datang beberapa kali, baru tulang-tulang itu
dihargai. Meski ya tetap tergolong murah. Setiap karung hanya Rp 25 ribu. Di
samping berulang datang, pedagang akhirnya mematok harga karena yang dicari
hanya tulang betis.

“Yang masih utuh. Itu bagian
paling keras,” kata Andika. “Ini contohnya,” sambung Marwan sambil menunjukkan
sampel di tempat tinggalnya di bilangan Regol, Bandung.

Di rumah Marwan itu pula
berdiri workshop. Di ruangan seluas 10 meter persegi tersebut tampak aneka
alat. Mulai gergaji besi, gerinda, pisau, sampai papan garis. Di ruangan itu
pula bertumpuk karung tulang sapi. Workshop tersebut menjadi tempat mereka
mendesain.

Ide memproduksi jam tangan
tulang maupun tanduk berawal dari hobi Marwan mengoleksi jam tangan unik. “Bukan
yang bermerek sebenarnya. Lebih ke jam tangan tak biasa. Misalnya jam tangan
kayu atau yang penunjuk waktunya aneh,” ucap alumnus Institut Teknologi Bandung
(ITB) itu.

Tertarik membuatnya, Marwan
melakukan riset kurang lebih satu tahun bersama empat temannya. Di tengah
perjalanan, muncul wacana membuat jam tangan dari tulang. Marwan yang memang
sering datang ke acara almamater bertemu perajin tulang di salah satu pameran
ITB. Mereka mengobrol hingga Marwan punya ide membuat jam dari tulang saja. “Kalau
saya buat jam tangan kayu yang sama (dengan koleksinya, Red), susah bersaing.
Saya minim modal dan relasi,” ungkap dia.

Baca Juga :  Berkat Aplikasi Curhat, Masuk Daftar 30 Under 30 Forbes Indonesia

Maka, tulang yang selama ini diketahui
bisa untuk aksesori sederhana dicoba jadi jam tangan. Merek Groot Watch yang
dipilih bukan sekadar nama. “Groot itu global root,” ucap Marwan.

Maknanya, mereka berniat
membawa konten lokal ke ruang yang lebih luas. Setiap produk dilabeli nama-nama
lokal. Ada Baduy, Dayak, Asmat, Madura, sampai Gantya. Sebelum jadi produk,
Dayak yang paling awal dibuat melalui fase uji coba. Ukurannya lebih kecil dari
bentuk final. “Ini dari awal sudah empat tahun masih kuat,” kata Marwan seraya
mengeluarkan dua jam tangan dari kotak kayu.

Dua jam tersebut sama-sama
produk pertama Groot Watch. Tidak dijual. Sebab, yang dijual hanya buatan
perajin tulang rekanan. Dari sedikit perajin tulang di Bandung, hanya satu yang
saat ini bersedia bekerja untuk Groot Watch. Namanya Mamad. Usianya sudah 70
tahun. Tergolong sepuh untuk perajin yang bekerja bersama pemuda seumur Marwan
dan rekan-rekannya. Itu pula yang membuat mereka resah. Sebab, tidak ada yang
mau jadi penerus para perajin tersebut. “Anak-anaknya lebih memilih kerja jadi
buruh,” ujar Marwan.

Mamad merangkai satu per satu
tulang yang sudah dibentuk menjadi komponen jam tangan. Tidak memakai perkakas
khusus, dia memilih alat sederhana. Pernah suatu kali, Marwan dkk membawakan
gerinda otomatis. Namun, perajin yang tinggal di daerah Ciwastra, Bandung, itu
menolak. Alat-alat otomatis tersebut kini lebih sering digunakan pendiri Groot
Watch untuk penyempurnaan produk.

Pembuatan jam dimulai dari
pembersihan tulang, pembentukan komponen, perakitan, pengasapan, dan pemasangan
mesin. Semua tulang digunakan tanpa bahan kimia maupun pengawet. Warna dan
corak yang berbeda-beda muncul saat tulang atau tanduk diasapi. “Warna alami,
bukan cat. Kalau cat di tulang pasti luntur,” ungkap Andika.

Baca Juga :  Ketika PSBB Bikin Kesenian Beralih ke Dunia Maya

Meski tanpa bahan pengawet,
Marwan menjamin jam yang mereka buat tahan lama. Selain itu, sama sekali tidak
berbau daging. Untuk saat ini semua jam tangan berupa analog. Mereka belum bisa
membuat jam tangan digital karena mesin yang dipakai juga mesin analog.

Khusus mesin, mereka
mengimpor. Memakai Miyota, mesin jam dari Jepang yang juga dipakai merek-merek
terkenal lain seperti Alexandre Christie. Sebagai variasi jenis, saat ini Groot
Watch tengah berkolaborasi dengan merek lokal Bandung lainnya untuk membuat jam
tangan analog otomatis. Sehingga tidak perlu lagi baterai dan tahan seumur
hidup.

Sepengetahuan Marwan, pembuat
jam dari tulang ini langka. Karena itulah, dia berminat membangun workshop baru
tempat orang belajar produksi jam tangan tulang dan tanduk. Mamad akan diminta
mengajari para perajin muda yang berminat. Di tempat tersebut nanti konsumen
juga bisa melihat langsung pembuatan jam tangan yang mereka kenakan.

Mereka ingin memberikan
inspirasi kepada perajin lainnya bahwa ada peluang untuk membuat produk keren
dari limbah tulang. Itu memang tujuan utama selain menjalankan hobi membuat
desain. Disebut hobi karena Groot Watch memang belum menjadi mata pencaharian
utama mereka. Masing-masing punya pekerjaan lain.

Empat tahun setelah produk
pertama dijual, jumlah jam tangan yang dihasilkan Groot Watch masih sangat
sedikit. Hanya sekitar 400 unit. Dari pemesanan sampai jadi, bisa dibutuhkan
waktu tiga sampai tujuh hari. Sangat terbatas dan langka. Tidak heran jika
konsumen mereka saat ini lebih banyak kolektor. Harga per item dipatok Rp 850 ribu
hingga Rp 1,9 juta. (*/jpc)

 

 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru