32.4 C
Jakarta
Friday, December 13, 2024

Sungai Hantipan dan Janji yang Tak Pernah Tuntas

JAM tepat menunjukan pukul 17.22 WIB, ketika sebuah
pesan WhatsApp masuk. Isinya adalah sebuah link menuju tulisan berjudul “Sungai
Hatipan: Elegi Perjalanan Masyarakat Pinggiran”.

Karena masih ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan, saya pun hanya
sepintas sempat membaca prolog tulisan yang dibuat Moh. Anis Romzi di blog
komunitas Guru Menulis dengan alamat mohanisromzi.gurusiana.id
itu. Itu pun hanya melalui browser ponsel.

Membaca tulisan pendidik yang juga penulis buku berjudul “Kepala Sekolah Belum
Berpengalaman” itu memang bukan yang pertama. Sebelumnya, dia juga pernah
mengirimkan sebuah tulisan opini untuk diterbitkan di Koran Kalteng Pos dan
laman Kalteng Pos Online (kaltengpos.co).

Setelah beberapa jam kemudian, saya mencoba kembali membuka dan membaca
tulisan tersebut melalui notebook. Tulisan itu telah diunggah pada Oktober 2018
lalu. Sebuah tulisan yang menarik dan mengalir, yang menggambarkan bagaimana
perjuangan masyarakat di pesisir Kabupaten Katingan, khususnya Kecamatan
Mendawai dan Katingan Kuala untuk bisa keluar dan masuk daerahnya di saat musim
kemarau.


Sejenak saya pun teringat sekitar setahun yang lalu, pernah membuatkan
sebuah
berita berdasarkan informasi yang dikirimkan seorang
teman yang tinggal di daerah tersebut. Bagaimana seorang ibu yang harus
meregang nyawa saat hendak melahirkan. Sang ibu malang akhinya gagal dibawa ke
rumah sakit karena kondisi terusan/sungai tak bisa dilalui. Beruntung anak di
kandungan berhasil diselamatkan.

Itu hanya salah satu contoh. Begitu banyak berita lain yang menceritakan
nestapa warga Mendawai dan Katingan Kuala dengan Sungai Hantipan.

Kembali ke tulisan tentang Sungai Hantipan, melalui perbincangan di
WhatsApp, saya pun meminta izin untuk mencoba menuliskan ulang tulisan
tersebut. Terlebih setelah melihat beberapa foto yang dikirimkan. Rasanya
sangat sulit untuk bisa membayangkan “perjuangan” atau mungkin tepatnya
“penderitaan” masyarakat untuk bisa melintasi terusan itu.

Hantipan sungai atau terusan, atau masyarakat lokal biasa menyebutnya kerukan,
yang di
buat pemerintah sekitar tahun 90-an. Hingga saat ini, sungai itu menjadi satu-satunya
penghubung perjalanan air antara dua kabupaten, yakni Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Katingan.

Terusan sepanjang 26 kilometer
itu
juga menjadi penghubung
dua sungai besar, Sungai
Mentaya dan Sungai Katingan.

Pada bagian muara, lebar terusan memang mencapai sekitar 10 meter. Akan tetapi saat kita mulai memasuki ke bagian dalam, maka
secara perlahan terusan semakin menyempit. P
ada bagian tengah mengalami
penyempitan akibat longsor. Bahkan ada satu titik pada sisi tengah sungai yang lebarnya kurang dari 1 meter.

Baca Juga :  Belajar dengan Mencari Pasangan


Kondisi itu menyebabkan
lalu lintas perjalanan di terusan
pasti
agak terhambat. Di saat
kondisi air normal saja, kelotok (perahu mesin)
yang digunakan
masyarakat lokal harus berhenti di salah satu sisinya untuk mengantre, jika berselisihan.

Kembali ke muara. Kedalaman sungai diperkirakan hanya sekitar 1,5 meter dalam kondisi air
normal
. Namun ketika beberapa
kilometer memasuki
bagian tengah, pendangkalan-pendangkalan
akan mulai terasa
. Bahkan di beberapa titik, tinggi air hanya semata kaki orang
dewasa.

Bisa dibayangkan, jika musim kemarau seperti saat ini. Tinggi air tak lagi
hanya semata kaki, tetapi bahkan kering sama sekali. Bagian tengah terusan
hanya menjadi tumpukan lumpur dan sampah berserakan. Jangankan kelotok besar,
kelotok kecil pun tak akan bisa melaluinya, kecuali harus didorong secara
manual melalui bagian sungai yang kering.

Kondisi-kondisi itu rupanya semakin parah saat kemarau panjang tahun ini.
Tak lagi hanya sekadar sungai yang kering. Kebakaran hutan yang terjadi di
kanan kiri sungai, membuat kondisi semakin parah. Pohon-pohon dengan berbagai
ukuran tumbang ke tengah sungai, tak ubah seperti semak belukar yang membuatnya
sama sekali tak bisa dilewati.

Di dalam tulisannya, Moh. Anis Romzi seakan mencoba menggambarkan bagaimana
selama puluhan tahun berlalu, masyarakat dua kecamatan di ujung selatan
Kabupaten Katingan yang berdampingan langsung dengan Laut Jawa itu tak ubahnya
seperti menjadi “orang pedalaman” yang terputus akses dengan dunia luar.

Sebagaimana lazimnya daerah
tepian, dua kecamatan ini mungkin
menjadi daerah yang “paling sedikit” menikmati
manisnya kue pembangunan.
Infrastruktur yang ada tidak jarang merupakan swadaya masyarakat karena
keterpaksaan keadaan.

Sungai Hantipan adalah hadiah
terakhir pemerintahan orde baru untuk masyarakar Katingan Kuala dan Mendawai.

Memang bisa saja untuk mencapai Sampit, masyarakat melalui pesisir pantai.
Namun risikonya tentu akan jauh lebih besar.

Terusan Hantipan lah satu-satunya akses yang paling aman dan singkat
untuk keluar dari keterisolasian. Aman, karena dapat menghindari
tingginya gelombang Laut
Jawa pada saat cuaca tidak bersahabat. Singkat, karena memotong waktu perjalanan dari beberapa hari jika melewati laut, menjadi hanya hitungan jam.

Baca Juga :  Desentralisasi Pasar, Solusi Sirkulasi Ekonomi di Tengah Pandemi

Semuanya sama. Tak ada pilihan yang lebih mudah dan nyaman.

Deskripsi di atas baru menggambarkan bagaimana sulitnya untuk menembus
Sungai Hantipan.

Lalu bagaimana dengan biaya yang harus dikeluarkan?

“Untuk menyusuri Sungai Hantipan istilah “semakin mahal,
semakin nyaman pelayanan” tidak berlaku. Malah sebaliknya,
semakin mahal semakin melelahkan. Prinsip ekonomi menjadi tak berlaku di tempat
kami. Tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau, suka-tidak suka harus kami lalui. Kami bergantung dengan cuaca
untuk dapat menikmati indahnya perjalanan dengan moda transportasi air.” Demikian tulis Anis Romzi.

Pada musim kemarau, warga
Mendawai dan Katingan Kuala sering menyebutnya dengan “Perjalanan  Perjuangan”. Disebut
demikian karena dalam perjalanan ini harus menyiapkan dua hal yang lebih
banyak. Pertama adalah biaya yang lebih mahal. Kedua adalah tenaga yang lebih kuat pula.


Pada musim kemarau,
biaya yang dikeluarkan 100 persen lebih
mahal dari pada saat musim penghujan. Itu pun pada titik-titik tertentu, para penumpang sering diminta atau turun dengan kemauan sendiri
untuk membantu nahkoda atau motoris mendorong
perahu.

Pada kejadian tertentu pula ‘ces
‘ kendaraan air yang lebih kecil harus diangkat atau digotong ramai-ramai hanya sekedar untuk bisa lewat daerah sungai yang tak lagi berair.

Kini, hampir 20 tahunan sudah berlalu sejak Sungai Hantipan dibuat. Anggota
dewan, bupati, gubernur hingga Presiden pun telah beberapa kali berganti.
Apakah para pemimpin dan politikus daerah belum pernah ke sana? Jawabannya pasti
pernah.

Janji pun mungkin sudah tak terhitung banyak dan berapa kalinya terucap. Janji
seakan hanya tinggal janji. Tak ada yang tuntas. Kondisi Sungai Hantipan tak
sedikit pun berubah membaik. M
asyarakat Mendawai dan Katingan Kuala tetap harus melalui “Perjalanan
Perjuangan” untuk bisa keluar dan masuk kampung halamannya
. Mungkin takdir hidup di Katingan
Kuala dan Mendawai memang harus “tidak
boleh sakit dan miskin”. (***)

JAM tepat menunjukan pukul 17.22 WIB, ketika sebuah
pesan WhatsApp masuk. Isinya adalah sebuah link menuju tulisan berjudul “Sungai
Hatipan: Elegi Perjalanan Masyarakat Pinggiran”.

Karena masih ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan, saya pun hanya
sepintas sempat membaca prolog tulisan yang dibuat Moh. Anis Romzi di blog
komunitas Guru Menulis dengan alamat mohanisromzi.gurusiana.id
itu. Itu pun hanya melalui browser ponsel.

Membaca tulisan pendidik yang juga penulis buku berjudul “Kepala Sekolah Belum
Berpengalaman” itu memang bukan yang pertama. Sebelumnya, dia juga pernah
mengirimkan sebuah tulisan opini untuk diterbitkan di Koran Kalteng Pos dan
laman Kalteng Pos Online (kaltengpos.co).

Setelah beberapa jam kemudian, saya mencoba kembali membuka dan membaca
tulisan tersebut melalui notebook. Tulisan itu telah diunggah pada Oktober 2018
lalu. Sebuah tulisan yang menarik dan mengalir, yang menggambarkan bagaimana
perjuangan masyarakat di pesisir Kabupaten Katingan, khususnya Kecamatan
Mendawai dan Katingan Kuala untuk bisa keluar dan masuk daerahnya di saat musim
kemarau.


Sejenak saya pun teringat sekitar setahun yang lalu, pernah membuatkan
sebuah
berita berdasarkan informasi yang dikirimkan seorang
teman yang tinggal di daerah tersebut. Bagaimana seorang ibu yang harus
meregang nyawa saat hendak melahirkan. Sang ibu malang akhinya gagal dibawa ke
rumah sakit karena kondisi terusan/sungai tak bisa dilalui. Beruntung anak di
kandungan berhasil diselamatkan.

Itu hanya salah satu contoh. Begitu banyak berita lain yang menceritakan
nestapa warga Mendawai dan Katingan Kuala dengan Sungai Hantipan.

Kembali ke tulisan tentang Sungai Hantipan, melalui perbincangan di
WhatsApp, saya pun meminta izin untuk mencoba menuliskan ulang tulisan
tersebut. Terlebih setelah melihat beberapa foto yang dikirimkan. Rasanya
sangat sulit untuk bisa membayangkan “perjuangan” atau mungkin tepatnya
“penderitaan” masyarakat untuk bisa melintasi terusan itu.

Hantipan sungai atau terusan, atau masyarakat lokal biasa menyebutnya kerukan,
yang di
buat pemerintah sekitar tahun 90-an. Hingga saat ini, sungai itu menjadi satu-satunya
penghubung perjalanan air antara dua kabupaten, yakni Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Katingan.

Terusan sepanjang 26 kilometer
itu
juga menjadi penghubung
dua sungai besar, Sungai
Mentaya dan Sungai Katingan.

Pada bagian muara, lebar terusan memang mencapai sekitar 10 meter. Akan tetapi saat kita mulai memasuki ke bagian dalam, maka
secara perlahan terusan semakin menyempit. P
ada bagian tengah mengalami
penyempitan akibat longsor. Bahkan ada satu titik pada sisi tengah sungai yang lebarnya kurang dari 1 meter.

Baca Juga :  Belajar dengan Mencari Pasangan


Kondisi itu menyebabkan
lalu lintas perjalanan di terusan
pasti
agak terhambat. Di saat
kondisi air normal saja, kelotok (perahu mesin)
yang digunakan
masyarakat lokal harus berhenti di salah satu sisinya untuk mengantre, jika berselisihan.

Kembali ke muara. Kedalaman sungai diperkirakan hanya sekitar 1,5 meter dalam kondisi air
normal
. Namun ketika beberapa
kilometer memasuki
bagian tengah, pendangkalan-pendangkalan
akan mulai terasa
. Bahkan di beberapa titik, tinggi air hanya semata kaki orang
dewasa.

Bisa dibayangkan, jika musim kemarau seperti saat ini. Tinggi air tak lagi
hanya semata kaki, tetapi bahkan kering sama sekali. Bagian tengah terusan
hanya menjadi tumpukan lumpur dan sampah berserakan. Jangankan kelotok besar,
kelotok kecil pun tak akan bisa melaluinya, kecuali harus didorong secara
manual melalui bagian sungai yang kering.

Kondisi-kondisi itu rupanya semakin parah saat kemarau panjang tahun ini.
Tak lagi hanya sekadar sungai yang kering. Kebakaran hutan yang terjadi di
kanan kiri sungai, membuat kondisi semakin parah. Pohon-pohon dengan berbagai
ukuran tumbang ke tengah sungai, tak ubah seperti semak belukar yang membuatnya
sama sekali tak bisa dilewati.

Di dalam tulisannya, Moh. Anis Romzi seakan mencoba menggambarkan bagaimana
selama puluhan tahun berlalu, masyarakat dua kecamatan di ujung selatan
Kabupaten Katingan yang berdampingan langsung dengan Laut Jawa itu tak ubahnya
seperti menjadi “orang pedalaman” yang terputus akses dengan dunia luar.

Sebagaimana lazimnya daerah
tepian, dua kecamatan ini mungkin
menjadi daerah yang “paling sedikit” menikmati
manisnya kue pembangunan.
Infrastruktur yang ada tidak jarang merupakan swadaya masyarakat karena
keterpaksaan keadaan.

Sungai Hantipan adalah hadiah
terakhir pemerintahan orde baru untuk masyarakar Katingan Kuala dan Mendawai.

Memang bisa saja untuk mencapai Sampit, masyarakat melalui pesisir pantai.
Namun risikonya tentu akan jauh lebih besar.

Terusan Hantipan lah satu-satunya akses yang paling aman dan singkat
untuk keluar dari keterisolasian. Aman, karena dapat menghindari
tingginya gelombang Laut
Jawa pada saat cuaca tidak bersahabat. Singkat, karena memotong waktu perjalanan dari beberapa hari jika melewati laut, menjadi hanya hitungan jam.

Baca Juga :  Desentralisasi Pasar, Solusi Sirkulasi Ekonomi di Tengah Pandemi

Semuanya sama. Tak ada pilihan yang lebih mudah dan nyaman.

Deskripsi di atas baru menggambarkan bagaimana sulitnya untuk menembus
Sungai Hantipan.

Lalu bagaimana dengan biaya yang harus dikeluarkan?

“Untuk menyusuri Sungai Hantipan istilah “semakin mahal,
semakin nyaman pelayanan” tidak berlaku. Malah sebaliknya,
semakin mahal semakin melelahkan. Prinsip ekonomi menjadi tak berlaku di tempat
kami. Tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau, suka-tidak suka harus kami lalui. Kami bergantung dengan cuaca
untuk dapat menikmati indahnya perjalanan dengan moda transportasi air.” Demikian tulis Anis Romzi.

Pada musim kemarau, warga
Mendawai dan Katingan Kuala sering menyebutnya dengan “Perjalanan  Perjuangan”. Disebut
demikian karena dalam perjalanan ini harus menyiapkan dua hal yang lebih
banyak. Pertama adalah biaya yang lebih mahal. Kedua adalah tenaga yang lebih kuat pula.


Pada musim kemarau,
biaya yang dikeluarkan 100 persen lebih
mahal dari pada saat musim penghujan. Itu pun pada titik-titik tertentu, para penumpang sering diminta atau turun dengan kemauan sendiri
untuk membantu nahkoda atau motoris mendorong
perahu.

Pada kejadian tertentu pula ‘ces
‘ kendaraan air yang lebih kecil harus diangkat atau digotong ramai-ramai hanya sekedar untuk bisa lewat daerah sungai yang tak lagi berair.

Kini, hampir 20 tahunan sudah berlalu sejak Sungai Hantipan dibuat. Anggota
dewan, bupati, gubernur hingga Presiden pun telah beberapa kali berganti.
Apakah para pemimpin dan politikus daerah belum pernah ke sana? Jawabannya pasti
pernah.

Janji pun mungkin sudah tak terhitung banyak dan berapa kalinya terucap. Janji
seakan hanya tinggal janji. Tak ada yang tuntas. Kondisi Sungai Hantipan tak
sedikit pun berubah membaik. M
asyarakat Mendawai dan Katingan Kuala tetap harus melalui “Perjalanan
Perjuangan” untuk bisa keluar dan masuk kampung halamannya
. Mungkin takdir hidup di Katingan
Kuala dan Mendawai memang harus “tidak
boleh sakit dan miskin”. (***)

Terpopuler

Artikel Terbaru