30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Masjid Vs Pasar, Dilema Pandemi Corona (bagian 1)

DI musim pandemic corona minggu terakhir bulan Ramadhan ini,
beredar luas tulisan di WA group berdebat seputar larangan melaksanakan ibadah
salat Ied,  ber-jumatan dan jamaah di
masjid dan kontradiksi dengan ramainya foto di medsos memuat gambar orang berdesakan  belanja di pasar, antrean belanja baju baru
di mal dan menumpuknya calon penumpang di bandara dan palabuhan.

Beredar luas sindiran sinis di
WAG: “Keluar rumah berani. Ke pasar berani. Ke ruang publik berani. Giliran ke
masjid takut corona?” “Tidak berjama’ah ke masjid, tapi masih keluar buat
bekerja. Situ waras?!” “Ke ATM berani, ke pasar berani, ke warung berani….
Giliran ke masjid ga berani takut corona katanya… Antum waras??”

Sementara yang pro larangan
berkumpul di masyarakat menentang balik sindiran tersebut, dengan
argumentasi:  “menganalogikan pasar
dengan Masjid, adalah bentuk perendahan kepada kemuliaan Masjid, bahwa analogi
masjid dengan pasar dalam kasus corona, tidak nyambung atau apple to apple,
masjid ada pengganti, sementara pasar tidak. perkumpulan masa di masjid,
sifatnya berulang setiap hari, sementara di pasar, tidak. physical distancing sangat susah dilakukan di masjid, sementara di
pasar lebih mudah.

Mari coba kita pelajari dan
luruskan dua argumen yang bertolak belakang ini, menurut penulis kedua argumen
kelompok  ini sama sekali tidak nyambung
visinya dengan keadaan di lapangan. Hanya debat kusir alias syafshathoh secara ilmu mantiq.

Baca Juga :  Mengentaskan Buta Aksara di Desa Terpencil

Kelompok pertama meremehkan
bahaya kerumunan massa yang dilarang pemerintah untuk memutus mata rantai
penyebaran virus, jika tidak dilaksanakan dengan protocol kesehatan yang ketat
apalagi dilakukan di zona merah.

Sementara kelompok kedua malah
permisif mentolelir kerumunan massa di pasar dan tempat umum yang secara
logikanya justru lebih kotor dan rentan menjadi titik penularan, karena di sana
pasti lebih sulit diatur ”shaf” nya
dan jelas terjadi proses interaksi jarak dekat. Tukar-menukar uang kotor dari
tangan ke tangan yang telah diyakini sebagai sumber penularan virus berbahaya
dengan alasan pembenaran yang cacat logika.

Seharusnya, kita bersama
mendukung pemerintah untuk mencegah penularan virus Covid-19 secara tegas dan
konsekwen dalam melaksanakan  PSBB,  dengan tidak mengizinkan kegiatan-kegiatan
yang mendorong orang berkerumun di tempat-tempat umum. Peraturan tersebut perlu
dilaksanakan secara berkeadilan,  bukan
hanya getol melarang umat Islam bersalat jamaah di masjid tapi mengizinkan
orang banyak menumpuk di bandara dan tempat keramaian lain.

Rapid tes dan pencegahan sudah
semestinya dilaksanakan kepada semua pihak tanpa membedakan antara masjid
dengan pasar, dimana  protokol kesehatan
harus diterapkan masyarakat di semua tempat sesuai standar kesehatan. Karena
akan sangat tidak berarti jika larangan berkumpul di masjid yang notabene dalam
keadaan lebih bersih, dilakukan oleh masyarakat taat beragama dan beradab dalam
lingkungan terbatas, tidak diimbangi dengan larangan berkumpul di pasar dan mal,
atau bandara dan terminal. Toh mereka
juga akan pulang kembali berkumpul keluarga kerumahnya membawa ancaman virus
dari luar?

Baca Juga :  Bangga Claudia

Menurut pengamatan penulis di
lapangan, kontroversi yang terjadi ditimbulkan oleh sikap aparat keamanan di
lapangan yang kadang terkesan sepihak dan membuat masyarakat merasa dicederai
rasa keadilannya. Ada ambivalensi atau pertentangan sikap pemerintah dalam
penanganan wabah Covid-19.

Di satu sisi, pemerintah dengan
lantang mencegah orang untuk berkumpul di masjid melaksanakan salat Jumat dan
salat berjamaah dengan peraturan, selebaran dan banner pemberitahuan. Bahkan di
beberapa daerah para petugas mencegat jamaah untuk  dilakukan rapid test di pintu gerbang masjid.

Di sisi lain, pemerintah terkesan
tidak mengambil tindakan tegas untuk menghadapi masyarakat yang berkumpul di
pasar, pusat perbelanjaan, hingga bandara dan pelabuhan dengan memberikan
perlakuan yang sama dan seimbang.

Belajar dari Berbagai Negara

SUKSES story penanganan
covid 19 di Wuhan,  mereka menetapkan
aturan lockdown yang berhasil efektif
dengan pengawasan super canggih. Penerapan karantina dilaksanakan secara ketat.
Polisi dan relawan secara tegas menjaga setiap pintu keluar masuk blok-blok
apartemen untuk memastikan terjadinya karantina.

Dengan aturan ketat ini, Cina
berhasil menurunkan tingkat infeksi baru dari ribuan sehari ketika puncak wabah
terjadi, hingga menjadi nol dalam waktu lima minggu. (bersambung)

(Penulis adalah pengasuh PP.
Annur 1 Malang, wakil ketua PWNU Jatim)

DI musim pandemic corona minggu terakhir bulan Ramadhan ini,
beredar luas tulisan di WA group berdebat seputar larangan melaksanakan ibadah
salat Ied,  ber-jumatan dan jamaah di
masjid dan kontradiksi dengan ramainya foto di medsos memuat gambar orang berdesakan  belanja di pasar, antrean belanja baju baru
di mal dan menumpuknya calon penumpang di bandara dan palabuhan.

Beredar luas sindiran sinis di
WAG: “Keluar rumah berani. Ke pasar berani. Ke ruang publik berani. Giliran ke
masjid takut corona?” “Tidak berjama’ah ke masjid, tapi masih keluar buat
bekerja. Situ waras?!” “Ke ATM berani, ke pasar berani, ke warung berani….
Giliran ke masjid ga berani takut corona katanya… Antum waras??”

Sementara yang pro larangan
berkumpul di masyarakat menentang balik sindiran tersebut, dengan
argumentasi:  “menganalogikan pasar
dengan Masjid, adalah bentuk perendahan kepada kemuliaan Masjid, bahwa analogi
masjid dengan pasar dalam kasus corona, tidak nyambung atau apple to apple,
masjid ada pengganti, sementara pasar tidak. perkumpulan masa di masjid,
sifatnya berulang setiap hari, sementara di pasar, tidak. physical distancing sangat susah dilakukan di masjid, sementara di
pasar lebih mudah.

Mari coba kita pelajari dan
luruskan dua argumen yang bertolak belakang ini, menurut penulis kedua argumen
kelompok  ini sama sekali tidak nyambung
visinya dengan keadaan di lapangan. Hanya debat kusir alias syafshathoh secara ilmu mantiq.

Baca Juga :  Mengentaskan Buta Aksara di Desa Terpencil

Kelompok pertama meremehkan
bahaya kerumunan massa yang dilarang pemerintah untuk memutus mata rantai
penyebaran virus, jika tidak dilaksanakan dengan protocol kesehatan yang ketat
apalagi dilakukan di zona merah.

Sementara kelompok kedua malah
permisif mentolelir kerumunan massa di pasar dan tempat umum yang secara
logikanya justru lebih kotor dan rentan menjadi titik penularan, karena di sana
pasti lebih sulit diatur ”shaf” nya
dan jelas terjadi proses interaksi jarak dekat. Tukar-menukar uang kotor dari
tangan ke tangan yang telah diyakini sebagai sumber penularan virus berbahaya
dengan alasan pembenaran yang cacat logika.

Seharusnya, kita bersama
mendukung pemerintah untuk mencegah penularan virus Covid-19 secara tegas dan
konsekwen dalam melaksanakan  PSBB,  dengan tidak mengizinkan kegiatan-kegiatan
yang mendorong orang berkerumun di tempat-tempat umum. Peraturan tersebut perlu
dilaksanakan secara berkeadilan,  bukan
hanya getol melarang umat Islam bersalat jamaah di masjid tapi mengizinkan
orang banyak menumpuk di bandara dan tempat keramaian lain.

Rapid tes dan pencegahan sudah
semestinya dilaksanakan kepada semua pihak tanpa membedakan antara masjid
dengan pasar, dimana  protokol kesehatan
harus diterapkan masyarakat di semua tempat sesuai standar kesehatan. Karena
akan sangat tidak berarti jika larangan berkumpul di masjid yang notabene dalam
keadaan lebih bersih, dilakukan oleh masyarakat taat beragama dan beradab dalam
lingkungan terbatas, tidak diimbangi dengan larangan berkumpul di pasar dan mal,
atau bandara dan terminal. Toh mereka
juga akan pulang kembali berkumpul keluarga kerumahnya membawa ancaman virus
dari luar?

Baca Juga :  Bangga Claudia

Menurut pengamatan penulis di
lapangan, kontroversi yang terjadi ditimbulkan oleh sikap aparat keamanan di
lapangan yang kadang terkesan sepihak dan membuat masyarakat merasa dicederai
rasa keadilannya. Ada ambivalensi atau pertentangan sikap pemerintah dalam
penanganan wabah Covid-19.

Di satu sisi, pemerintah dengan
lantang mencegah orang untuk berkumpul di masjid melaksanakan salat Jumat dan
salat berjamaah dengan peraturan, selebaran dan banner pemberitahuan. Bahkan di
beberapa daerah para petugas mencegat jamaah untuk  dilakukan rapid test di pintu gerbang masjid.

Di sisi lain, pemerintah terkesan
tidak mengambil tindakan tegas untuk menghadapi masyarakat yang berkumpul di
pasar, pusat perbelanjaan, hingga bandara dan pelabuhan dengan memberikan
perlakuan yang sama dan seimbang.

Belajar dari Berbagai Negara

SUKSES story penanganan
covid 19 di Wuhan,  mereka menetapkan
aturan lockdown yang berhasil efektif
dengan pengawasan super canggih. Penerapan karantina dilaksanakan secara ketat.
Polisi dan relawan secara tegas menjaga setiap pintu keluar masuk blok-blok
apartemen untuk memastikan terjadinya karantina.

Dengan aturan ketat ini, Cina
berhasil menurunkan tingkat infeksi baru dari ribuan sehari ketika puncak wabah
terjadi, hingga menjadi nol dalam waktu lima minggu. (bersambung)

(Penulis adalah pengasuh PP.
Annur 1 Malang, wakil ketua PWNU Jatim)

Terpopuler

Artikel Terbaru