28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Maryam Afifi dan Pesan dari Syaikh Jarrah

TENTARA Israel menarik rambut Maryam Afifi dan menyeretnya laiknya
menyeret binatang. Namun, musisi dan aktivis Palestina yang baru menginjak usia
26 tahun itu tetap tenang.

Tubuh wanita cantik anggota
Palestine Youth Orchestra itu kemudian ditendang, dipukuli, untuk kemudian
diborgol di hadapan puluhan tentara Israel dan ribuan demonstran di jalan
Perkampungan Syaikh Jarrah, Yerusalem Timur.

Malam itu di tengah aksi
solidaritas untuk mempertahankan Perkampungan Syaikh Jarrah, Maryam berusaha
untuk menolong seorang wanita muda yang tergeletak di tengah jalan sesudah
dipukuli dan ditendang secara brutal oleh tentara Israel.

Nuraninya menjerit, ia berusaha
menerobos tentara Israel yang melakukan tindakan biadab pada perempuan itu. Ia
berusaha merengkuh dan membopong wanita itu, namun Maryam ditarik, dipukuli,
dan ditendang untuk kemudian kedua tangannya diborgol.

Perlakuan kasar dan tidak
manusiawi yang Maryam terima dari tentara zionis Israel hanya karena
keinginannya menolong korban kekerasan aparat zionis Israel sama sekali tidak
membuat Maryam menangis atau berteriak meminta ampun.

Dengan pergelangan tangan yang
masih diborgol, ia mengirimkan senyum kepada para pemimpin negara-negara barat
yang selama ini diam membisu dengan kebiadaban dan kebrutalan penjajah zionis
Israel.

Senyuman bangga dan bahagia
menjadi satu dari puluhan ribu masyarakat Palestina yang membangun solidaritas
untuk mempertahankan setiap jengkal tanah Perkampungan Sheikh Jarrah yang akan
dirampas, penduduknya akan diusir oleh zionis Israel untuk kemudian akan
dibangun pemukiman Yahudi oleh mereka.

Sebuah senyum yang menggambarkan
kekuatan dan keberanian dirinya. Dengan tangan masih diborgol ia bertanya pada
tentara-tentara Israel yang menyeret dan memukulinya, “Apa yang kamu rasakan?
Aku tahu kamu seorang manusia. Dan mungkin kamu juga punya keluarga dan
anak-anak. Apakah kamu ingin anakmu tumbuh dewasa membela orang yang salah?
Membela penjajah?”

Tentara Israel hanya terdiam
dengan pertanyaan-pertanyaan Maryam yang menohok nurani kemanusiaan mereka.

Baca Juga :  Ketersinggungan dan Bom Waktu

Beberapa jam pasca penyerangan
jemaah shalat Taraweh di Masjid Al-Aqsha yang melukai 200 jamaah dan kerusuhan
di Syaikh Jarrah, Grand Syaikh al-Azhar Asyarif, Prof Dr Ahmad Tayyib
memberikan solidaritas dan mengutuk kebiadaban Israel melalui siaran persnya.

Keberpihakan Al-Azhar pada rakyat
Palestina tergambar jelas dalam siaran ini: “Sungguh perbuatan biadab di
serambi Masjidil Al-Aqsha, pelecehan tempat suci dengan tindakan represif pada
Jama’ah shalat tarawih, setelah sebelumnya juga tindakan keji kelompok
bersenjata terhadap aksi unjuk rasa damai di Kampung Syaikh Jarrah, Yerusalem
Timur dengan mengusir paksa penduduknya. Mereka yang bertindak adalah teroris
zionis di tengah “bungkamnya dunia” yang memilukan.”

Al-Azhar, ulama dan seluruh
kolega civitas akademiknya menyatakan solidaritas bulat bersama rakyat Palestina
yang teraniaya dalam menghadapi penindasan zionis dan kroninya, sembari memohon
kepada Allah, semoga Allah menjaga mereka dengan cara-Nya dan memenangkan
mereka dengan cara-Nya, karena mereka adalah yang berhak atas kebenaran, tanah
dan semua tentang keadilan.”

Pada Ramadan kali ini,
Perkampungan Syaikh Jarrah dengan penderitaan dan tangisan warganya tiba-tiba
mendunia karena menjadi pemantik konflik Palestina-Israel. Perkampungan yang
berada di Nablus dan berjarak sekira 3 km dari Serambi Al-Qasha itu mempunyai
akar historis yang begitu mendalam bagi umat Islam. Tidak banyak umat Islam
yang mengetahui sejarah tempat ini kenapa dinamai Perkampungan Syaikh Jarrah.

Bagi para peziarah Masjid
Al-Aqsha mungkin familiar dengan Perkampungan Syaikh Jarrah yang namanya
diambil dari nama Husamuddin bin Syarifuddin Isa al-Jarrahi (w. 598 H/1202 M).
Husamuddin bin Syarifuddin Isa pada masanya merupakan panglima perang ternama
yang membebaskan kota Yerusalem dalam perang Salib (20 September 1187).

Beliau juga merupakan salah satu
Amir (Gubernur) pada era kepemimpinan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Kepandaianya dalam ilmu medis membuat Husamuddin diangkat menjadi tabib pribadi
Shalahudin al-Ayubi. Shalahudin al-Ayyubi jualah yang menjuluki Husamuddin bin
Syarifuddin Isa dengan julukan al-Jaraakhi yang berarti orang yang pandai
menyembuhkan sakit orang lain.

Baca Juga :  Masjidpreneur

Pada perjalanannya, julukan yang
diberikan oleh Shalahudin al-Ayyubi itu mashur dikenal masyarakat luas sampai
beliau meninggal di Nablus, Yerusalem Timur untuk kemudian jasadnya
disemayamkan di kawasan tersebut. Kawasan di sekitar pusara beliau inilah yang
kemudian disebut perkampungan Syaikh Jarrah.

Setiap harinya pusara beliau
dipenuhi oleh para peziarah dari berbagai penjuru dunia sehingga menyebabkan
pusara beliau tak pernah sepi dari lantunan tahlil, tasbeh, dan tilawah Al
Quran.Di samping pusara beliau terdapat sebuah masjid dengan prasasti
bertuliskan kalimat yang berbunyi: “Inilah kuburan Amir Husamuddin al-Husain
bin Isa al-Jarrahi. Semoga Allah merahmatinya dan merahmati orang-orang yang
mencintai beliau. Wafat menuju Rahmat Allah pada bulan Shafar 598.”

Solidaritas, perjuangan, dan
kebersamaan masyarakat Palestina dari Perkampungan Syaikh Jarrah dan Senyum
Maryam Afifi seumpama mengajarkan kepada kita umat Islam di dunia bahwa menjaga
al-Aqsha adalah panggilan spiritual seperti engkau dipanggil oleh Tuhanmu untuk
melakukan ibadah-ibadah lainnya.

Di sana, di sudut kota Nablus,
dari Perkampungan Syaikh Jarrah, Maryam Afifi mengajarkan kepada kita heroisme,
keberanian, kegigihan, dan kesungguhan dalam melawan tirani dan penjajahan
zionis Israel yang ia tiru dari heroisme dan kesatrianya Salahuddin al-Ayyubi
dan Husamuddin al-Husain bin Isa al-Jarrahi ketika menaklukkan Yerusalem.

Alhasil, apabila qiblat pertama
umat Islam dan tempat mikraj Rasulullah ini tidak lagi bisa memanggil hatimu
untuk membangun solidaritas bersama masyarakat Palestina, niscaya kelak
Al-Aqsha hanyalah tersisa sebagai lembaran-lembaran sejarah yang akan dibaca
oleh anak cucu Anda.

Al-Aqsha bukanlah sebatas
kordinat dalam peta geografi, ia adalah keimanan dan aqidah yang seharusnya
senantiasa hidup dan tertanam dalam sanubari umat Islam di manapun Anda berada!
(*)

(MUJAHIDIN NUR. Anggota Komisi
Infokom MUI, Direktur The Islah Centre, Jakarta)

TENTARA Israel menarik rambut Maryam Afifi dan menyeretnya laiknya
menyeret binatang. Namun, musisi dan aktivis Palestina yang baru menginjak usia
26 tahun itu tetap tenang.

Tubuh wanita cantik anggota
Palestine Youth Orchestra itu kemudian ditendang, dipukuli, untuk kemudian
diborgol di hadapan puluhan tentara Israel dan ribuan demonstran di jalan
Perkampungan Syaikh Jarrah, Yerusalem Timur.

Malam itu di tengah aksi
solidaritas untuk mempertahankan Perkampungan Syaikh Jarrah, Maryam berusaha
untuk menolong seorang wanita muda yang tergeletak di tengah jalan sesudah
dipukuli dan ditendang secara brutal oleh tentara Israel.

Nuraninya menjerit, ia berusaha
menerobos tentara Israel yang melakukan tindakan biadab pada perempuan itu. Ia
berusaha merengkuh dan membopong wanita itu, namun Maryam ditarik, dipukuli,
dan ditendang untuk kemudian kedua tangannya diborgol.

Perlakuan kasar dan tidak
manusiawi yang Maryam terima dari tentara zionis Israel hanya karena
keinginannya menolong korban kekerasan aparat zionis Israel sama sekali tidak
membuat Maryam menangis atau berteriak meminta ampun.

Dengan pergelangan tangan yang
masih diborgol, ia mengirimkan senyum kepada para pemimpin negara-negara barat
yang selama ini diam membisu dengan kebiadaban dan kebrutalan penjajah zionis
Israel.

Senyuman bangga dan bahagia
menjadi satu dari puluhan ribu masyarakat Palestina yang membangun solidaritas
untuk mempertahankan setiap jengkal tanah Perkampungan Sheikh Jarrah yang akan
dirampas, penduduknya akan diusir oleh zionis Israel untuk kemudian akan
dibangun pemukiman Yahudi oleh mereka.

Sebuah senyum yang menggambarkan
kekuatan dan keberanian dirinya. Dengan tangan masih diborgol ia bertanya pada
tentara-tentara Israel yang menyeret dan memukulinya, “Apa yang kamu rasakan?
Aku tahu kamu seorang manusia. Dan mungkin kamu juga punya keluarga dan
anak-anak. Apakah kamu ingin anakmu tumbuh dewasa membela orang yang salah?
Membela penjajah?”

Tentara Israel hanya terdiam
dengan pertanyaan-pertanyaan Maryam yang menohok nurani kemanusiaan mereka.

Baca Juga :  Ketersinggungan dan Bom Waktu

Beberapa jam pasca penyerangan
jemaah shalat Taraweh di Masjid Al-Aqsha yang melukai 200 jamaah dan kerusuhan
di Syaikh Jarrah, Grand Syaikh al-Azhar Asyarif, Prof Dr Ahmad Tayyib
memberikan solidaritas dan mengutuk kebiadaban Israel melalui siaran persnya.

Keberpihakan Al-Azhar pada rakyat
Palestina tergambar jelas dalam siaran ini: “Sungguh perbuatan biadab di
serambi Masjidil Al-Aqsha, pelecehan tempat suci dengan tindakan represif pada
Jama’ah shalat tarawih, setelah sebelumnya juga tindakan keji kelompok
bersenjata terhadap aksi unjuk rasa damai di Kampung Syaikh Jarrah, Yerusalem
Timur dengan mengusir paksa penduduknya. Mereka yang bertindak adalah teroris
zionis di tengah “bungkamnya dunia” yang memilukan.”

Al-Azhar, ulama dan seluruh
kolega civitas akademiknya menyatakan solidaritas bulat bersama rakyat Palestina
yang teraniaya dalam menghadapi penindasan zionis dan kroninya, sembari memohon
kepada Allah, semoga Allah menjaga mereka dengan cara-Nya dan memenangkan
mereka dengan cara-Nya, karena mereka adalah yang berhak atas kebenaran, tanah
dan semua tentang keadilan.”

Pada Ramadan kali ini,
Perkampungan Syaikh Jarrah dengan penderitaan dan tangisan warganya tiba-tiba
mendunia karena menjadi pemantik konflik Palestina-Israel. Perkampungan yang
berada di Nablus dan berjarak sekira 3 km dari Serambi Al-Qasha itu mempunyai
akar historis yang begitu mendalam bagi umat Islam. Tidak banyak umat Islam
yang mengetahui sejarah tempat ini kenapa dinamai Perkampungan Syaikh Jarrah.

Bagi para peziarah Masjid
Al-Aqsha mungkin familiar dengan Perkampungan Syaikh Jarrah yang namanya
diambil dari nama Husamuddin bin Syarifuddin Isa al-Jarrahi (w. 598 H/1202 M).
Husamuddin bin Syarifuddin Isa pada masanya merupakan panglima perang ternama
yang membebaskan kota Yerusalem dalam perang Salib (20 September 1187).

Beliau juga merupakan salah satu
Amir (Gubernur) pada era kepemimpinan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Kepandaianya dalam ilmu medis membuat Husamuddin diangkat menjadi tabib pribadi
Shalahudin al-Ayubi. Shalahudin al-Ayyubi jualah yang menjuluki Husamuddin bin
Syarifuddin Isa dengan julukan al-Jaraakhi yang berarti orang yang pandai
menyembuhkan sakit orang lain.

Baca Juga :  Masjidpreneur

Pada perjalanannya, julukan yang
diberikan oleh Shalahudin al-Ayyubi itu mashur dikenal masyarakat luas sampai
beliau meninggal di Nablus, Yerusalem Timur untuk kemudian jasadnya
disemayamkan di kawasan tersebut. Kawasan di sekitar pusara beliau inilah yang
kemudian disebut perkampungan Syaikh Jarrah.

Setiap harinya pusara beliau
dipenuhi oleh para peziarah dari berbagai penjuru dunia sehingga menyebabkan
pusara beliau tak pernah sepi dari lantunan tahlil, tasbeh, dan tilawah Al
Quran.Di samping pusara beliau terdapat sebuah masjid dengan prasasti
bertuliskan kalimat yang berbunyi: “Inilah kuburan Amir Husamuddin al-Husain
bin Isa al-Jarrahi. Semoga Allah merahmatinya dan merahmati orang-orang yang
mencintai beliau. Wafat menuju Rahmat Allah pada bulan Shafar 598.”

Solidaritas, perjuangan, dan
kebersamaan masyarakat Palestina dari Perkampungan Syaikh Jarrah dan Senyum
Maryam Afifi seumpama mengajarkan kepada kita umat Islam di dunia bahwa menjaga
al-Aqsha adalah panggilan spiritual seperti engkau dipanggil oleh Tuhanmu untuk
melakukan ibadah-ibadah lainnya.

Di sana, di sudut kota Nablus,
dari Perkampungan Syaikh Jarrah, Maryam Afifi mengajarkan kepada kita heroisme,
keberanian, kegigihan, dan kesungguhan dalam melawan tirani dan penjajahan
zionis Israel yang ia tiru dari heroisme dan kesatrianya Salahuddin al-Ayyubi
dan Husamuddin al-Husain bin Isa al-Jarrahi ketika menaklukkan Yerusalem.

Alhasil, apabila qiblat pertama
umat Islam dan tempat mikraj Rasulullah ini tidak lagi bisa memanggil hatimu
untuk membangun solidaritas bersama masyarakat Palestina, niscaya kelak
Al-Aqsha hanyalah tersisa sebagai lembaran-lembaran sejarah yang akan dibaca
oleh anak cucu Anda.

Al-Aqsha bukanlah sebatas
kordinat dalam peta geografi, ia adalah keimanan dan aqidah yang seharusnya
senantiasa hidup dan tertanam dalam sanubari umat Islam di manapun Anda berada!
(*)

(MUJAHIDIN NUR. Anggota Komisi
Infokom MUI, Direktur The Islah Centre, Jakarta)

Terpopuler

Artikel Terbaru