30.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Heboh Penyakit Cacar Monyet, Ini Penjelasan Kemenkes

MASYARAKAT diimbau tidak perlu panik dengan adanya pemberitaan
mengenai adanya penyakit cacar monyet atau Monkeypox yang kemungkinan dapat
masuk ke Indonesia. Meski demikian, masyarakat diimbau untuk senantiasa waspada
dan menjaga kebersihan.

“Sampai saat ini belum ditemukan
kasus Monkeypox di Indonesia,” jelas Direktur Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit dr. Anung Sugihantono, MKes, dalam keterangan persnya
melalui Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI,
yang diterima INDOPOS, Rabu (15/5/2019).

Monkeypox adalah penyakit akibat
virus yang ditularkan melalui binatang (zoonosis). Penularan dapat terjadi
melalui kontak dengan darah, cairan tubuh, atau lesi pada kulit atau mukosa
dari binatang yang tertular virus.

Penularan pada manusia, menurut
Anung, terjadi karena kontak dengan monyet, tikus gambia dan tupai. Atau
mengonsumsi daging binatang yang sudah terkontaminasi. Inang utama dari virus
ini adalah rodent (tikus). Penularan dari manusia ke manusia sangat jarang.

“Wilayah terjangkit
Monkeypox secara global yaitu Afrika Tengah dan Barat (Republik Demokratik
Kongo, Republik Kongo, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Nigeria, Ivory Coast,
Liberia, Sierra Leone, Gabon and Sudan Selatan),” jelasnya.

Lebih lanjut Dirjen Anung
menyatakan, Monkeypox dapat dicegah. Untuk itu ia mengimbau masyarakat untuk
Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Seperti cuci tangan dengan sabun.
Menghindari kontak langsung dengan tikus atau primata. Dan membatasi pajanan
langsung dengan darah atau daging yang tidak dimasak dengan baik.

Baca Juga :  Lima Manfaat Lidah Mertua dan Cara Cegah Efek Negatifnya

Menghindari kontak fisik dengan
orang yang terinfeksi atau material yang terkontaminasi; Menghindari kontak
dengan hewan liar atau mengkonsumsi daging yang diburu dari hewan liar (bush
meat).

Pelaku perjalanan yang baru
kembali dari wilayah terjangkit Monkeypox agar segera memeriksakan dirinya jika
mengalami gejala-gejala demam tinggi yang mendadak, pembesaran kelenjar getah
bening dan ruam kulit, dalam waktu kurang dari 3 minggu setelah kepulangan,
serta menginformasikan kepada petugas kesehatan tentang riwayat perjalanannya.

Kepada petugas kesehatan, Dirjen
Anung mengingatkan agar menggunakan alat pelindung, minimal sarung tangan dan
masker saat menangani pasien atau binatang yang sakit.

Masa inkubasi (interval dari
infeksi sampai timbulnya gejala) Monkeypox biasanya 6 – 16 hari, tetapi dapat
berkisar dari 5 – 21 hari. Gejala yang timbul berupa demam, sakit kepala hebat,
limfadenopati (pembesaran kelenjar getah bening), nyeri punggung, nyeri otot
dan lemas.

Ruam pada kulit muncul pada wajah
kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya. Ruam ini berkembang mulai dari
bintik merah seperti cacar (makulopapula), lepuh berisi cairan bening, lepuh
berisi nanah, kemudian mengeras. Biasanya diperlukan waktu hingga 3 minggu
sampai ruam tersebut menghilang.

Baca Juga :  Manfaat Melakukan Olahraga Seumur Hidup

Monkeypox biasanya merupakan
penyakit yang dapat sembuh sendiri dengan gejala yang berlangsung selama 14 –
21 hari. Kasus yang parah lebih sering terjadi pada anak-anak dan terkait
dengan tingkat paparan virus, status kesehatan pasien dan tingkat keparahan
komplikasi.

Kasus kematian bervariasi tetapi
kurang dari 10% kasus yang dilaporkan, sebagian besar di antaranya adalah
anak-anak. Secara umum, kelompok usia yang lebih muda tampaknya lebih rentan
terhadap penyakit Monkeypox.

Dirjen Anung menegaskan Monkeypox
hanya dapat didiagnosis melalui pemeriksaan laboratorium.

“Tidak ada pengobatan khusus atau
vaksinasi yang tersedia untuk infeksi virus Monkeypox. Pengobatan simptomatik
dan suportif dapat diberikan untuk meringankan keluhan yang muncul,” ujar
Anung.

Monkeypox pernah menjadi KLB di
beberapa wilayah. Tahun 1970 terjadi kejadian luar biasa pada manusia pertama
kali di Republik Demokratik Kongo. Tahun 2003 dilaporkan kasus di Amerika
Serikat, akibat riwayat kontak manusia dengan binatang peliharaan prairie dog
yang terinfeksi oleh tikus Afrika yang masuk ke Amerika. Tahun 2017 terjadi
kejadian luar biasa di Nigeria.

“Bulan Mei 2019 dilaporkan
seorang warga negara Nigeria menderita Monkeypox, saat mengikuti lokakarya di
Singapura. Saat ini pasien dan 23 orang yang kontak dekat dengannya diisolasi
untuk mencegah penularan lebih lanjut,” pungkasnya. (dai/indopos/kpc)

MASYARAKAT diimbau tidak perlu panik dengan adanya pemberitaan
mengenai adanya penyakit cacar monyet atau Monkeypox yang kemungkinan dapat
masuk ke Indonesia. Meski demikian, masyarakat diimbau untuk senantiasa waspada
dan menjaga kebersihan.

“Sampai saat ini belum ditemukan
kasus Monkeypox di Indonesia,” jelas Direktur Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit dr. Anung Sugihantono, MKes, dalam keterangan persnya
melalui Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI,
yang diterima INDOPOS, Rabu (15/5/2019).

Monkeypox adalah penyakit akibat
virus yang ditularkan melalui binatang (zoonosis). Penularan dapat terjadi
melalui kontak dengan darah, cairan tubuh, atau lesi pada kulit atau mukosa
dari binatang yang tertular virus.

Penularan pada manusia, menurut
Anung, terjadi karena kontak dengan monyet, tikus gambia dan tupai. Atau
mengonsumsi daging binatang yang sudah terkontaminasi. Inang utama dari virus
ini adalah rodent (tikus). Penularan dari manusia ke manusia sangat jarang.

“Wilayah terjangkit
Monkeypox secara global yaitu Afrika Tengah dan Barat (Republik Demokratik
Kongo, Republik Kongo, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Nigeria, Ivory Coast,
Liberia, Sierra Leone, Gabon and Sudan Selatan),” jelasnya.

Lebih lanjut Dirjen Anung
menyatakan, Monkeypox dapat dicegah. Untuk itu ia mengimbau masyarakat untuk
Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Seperti cuci tangan dengan sabun.
Menghindari kontak langsung dengan tikus atau primata. Dan membatasi pajanan
langsung dengan darah atau daging yang tidak dimasak dengan baik.

Baca Juga :  Lima Manfaat Lidah Mertua dan Cara Cegah Efek Negatifnya

Menghindari kontak fisik dengan
orang yang terinfeksi atau material yang terkontaminasi; Menghindari kontak
dengan hewan liar atau mengkonsumsi daging yang diburu dari hewan liar (bush
meat).

Pelaku perjalanan yang baru
kembali dari wilayah terjangkit Monkeypox agar segera memeriksakan dirinya jika
mengalami gejala-gejala demam tinggi yang mendadak, pembesaran kelenjar getah
bening dan ruam kulit, dalam waktu kurang dari 3 minggu setelah kepulangan,
serta menginformasikan kepada petugas kesehatan tentang riwayat perjalanannya.

Kepada petugas kesehatan, Dirjen
Anung mengingatkan agar menggunakan alat pelindung, minimal sarung tangan dan
masker saat menangani pasien atau binatang yang sakit.

Masa inkubasi (interval dari
infeksi sampai timbulnya gejala) Monkeypox biasanya 6 – 16 hari, tetapi dapat
berkisar dari 5 – 21 hari. Gejala yang timbul berupa demam, sakit kepala hebat,
limfadenopati (pembesaran kelenjar getah bening), nyeri punggung, nyeri otot
dan lemas.

Ruam pada kulit muncul pada wajah
kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya. Ruam ini berkembang mulai dari
bintik merah seperti cacar (makulopapula), lepuh berisi cairan bening, lepuh
berisi nanah, kemudian mengeras. Biasanya diperlukan waktu hingga 3 minggu
sampai ruam tersebut menghilang.

Baca Juga :  Manfaat Melakukan Olahraga Seumur Hidup

Monkeypox biasanya merupakan
penyakit yang dapat sembuh sendiri dengan gejala yang berlangsung selama 14 –
21 hari. Kasus yang parah lebih sering terjadi pada anak-anak dan terkait
dengan tingkat paparan virus, status kesehatan pasien dan tingkat keparahan
komplikasi.

Kasus kematian bervariasi tetapi
kurang dari 10% kasus yang dilaporkan, sebagian besar di antaranya adalah
anak-anak. Secara umum, kelompok usia yang lebih muda tampaknya lebih rentan
terhadap penyakit Monkeypox.

Dirjen Anung menegaskan Monkeypox
hanya dapat didiagnosis melalui pemeriksaan laboratorium.

“Tidak ada pengobatan khusus atau
vaksinasi yang tersedia untuk infeksi virus Monkeypox. Pengobatan simptomatik
dan suportif dapat diberikan untuk meringankan keluhan yang muncul,” ujar
Anung.

Monkeypox pernah menjadi KLB di
beberapa wilayah. Tahun 1970 terjadi kejadian luar biasa pada manusia pertama
kali di Republik Demokratik Kongo. Tahun 2003 dilaporkan kasus di Amerika
Serikat, akibat riwayat kontak manusia dengan binatang peliharaan prairie dog
yang terinfeksi oleh tikus Afrika yang masuk ke Amerika. Tahun 2017 terjadi
kejadian luar biasa di Nigeria.

“Bulan Mei 2019 dilaporkan
seorang warga negara Nigeria menderita Monkeypox, saat mengikuti lokakarya di
Singapura. Saat ini pasien dan 23 orang yang kontak dekat dengannya diisolasi
untuk mencegah penularan lebih lanjut,” pungkasnya. (dai/indopos/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru