30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Kampanye Tak Bisa Digital Penuh

JAKARTA–
Pelaksanaan Pilkada di masa pandemi COVID-19 membuat aktivitas kampanye tatap
muka dibatasi. Sebagai gantinya, penggunaan alat peraga dan kampanye media akan
banyak digunakan. Media mainstream atau media arus utama disebut masih cukup
efektif untuk menyampaikan pesan.

Hal itu
didasarkan dari survei yang dilakukan Politika Research & Consulting (PRC).
Direktur Media & Komunikasi Publik PRC Dudi Iskandar mengatakan, rencana
penyelenggara memaksimalkan penggunaan digitalisasi dalam kampanye Pilkada 2020
menghadapi tantangan yang tidak mudah. Pasalnya, tidak semua pemilih memiliki
akses tersebut.

“Dari 270
daerah pemilihan, sebagian besar dipedesaan,” ujarnya alam diskusi pada Minggu (28/6).
Fakta itu, lanjutnya, menjadi problem tersendiri bagi pelaksanaan kampanye
digital.

Dan
berdasarkan kajian yang dilakukan PRC tahun ini, lanjutnya, penggunaan smartphone
atau telepon dengan fasilitas internet di Indonesia belum menjangkau semua
masyarakat. Di mana hanya 58 persen saja yang menggunakannya.

Baca Juga :  Prabowo Dukung Rencana Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan

“40 persen
mengatakan tidak memiliki,” imbuhnya. Itupun, sebagian besar dipergunakan untuk
percakapan whatsapp. Baru setelahnya digunakan untuk sosial media.

 

Sebagian
masyarakat, kata Dudi masih menggunakan media mainstream untuk menjaring
informasi. Mulai dari media cetak maupun elektronik. Oleh karenanya, dia
menyebut para calon tidak bisa sepenuhnya menggunakan cara-cara digital untuk
menjangkau pemilihnya.

Untuk media
cetak, data PRC menyebut masih ada 28,2 persen masyarakat yang mengaksesnya.
Kemudian media televisi, ada 89,3 persen public yang masih mengaksesnya. “Di
Cetak, Jawa pos menduduki peringkat pertama dengan 7 persen selanjutnya kompas
5,8 persen,”ungkapnya.

Pakar
Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada Nyarwi Ahmad menambahkan, migrasi
dari kampanye lama ke digital tidak bisa dilakukan sepenuhnya. Terbukti, hasil
survei PRC menyebut tidak sepenuhnya memiliki akses. “Media mainstream masih
diperlukan dan jadi kebutuhan masyarakat,” ujarnya.

Baca Juga :  Konsolidasi DPP Partai Golkar, Airlangga: Semua Kader Harus Kerja

Meski
demikian, diakuinya, penggunaan media mainstream saja sudah tidak cukup dalam
situasi saat ini. Harus diakui, sosial media memainkan peran penting di era
sekarang. “Media mainstream masih dibutuhkan tapi ga cukup,” tuturnya.

Untuk itu,
Nyarwi menyebut para calon perlu melakukan pemetaan dalam menentukan media
seperti apa yang cocok untuk menyasar basis pemilihnya. Sebab, kultur atau
kondisi sosial masing-masing daerah di Indonesia sangat beragam.

“Perlu data
ilmiah, prioritas media apa yang sering digunakan masyarakat sebagai platform
penyebaran informasi,” ungkapnya.

 

JAKARTA–
Pelaksanaan Pilkada di masa pandemi COVID-19 membuat aktivitas kampanye tatap
muka dibatasi. Sebagai gantinya, penggunaan alat peraga dan kampanye media akan
banyak digunakan. Media mainstream atau media arus utama disebut masih cukup
efektif untuk menyampaikan pesan.

Hal itu
didasarkan dari survei yang dilakukan Politika Research & Consulting (PRC).
Direktur Media & Komunikasi Publik PRC Dudi Iskandar mengatakan, rencana
penyelenggara memaksimalkan penggunaan digitalisasi dalam kampanye Pilkada 2020
menghadapi tantangan yang tidak mudah. Pasalnya, tidak semua pemilih memiliki
akses tersebut.

“Dari 270
daerah pemilihan, sebagian besar dipedesaan,” ujarnya alam diskusi pada Minggu (28/6).
Fakta itu, lanjutnya, menjadi problem tersendiri bagi pelaksanaan kampanye
digital.

Dan
berdasarkan kajian yang dilakukan PRC tahun ini, lanjutnya, penggunaan smartphone
atau telepon dengan fasilitas internet di Indonesia belum menjangkau semua
masyarakat. Di mana hanya 58 persen saja yang menggunakannya.

Baca Juga :  Prabowo Dukung Rencana Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan

“40 persen
mengatakan tidak memiliki,” imbuhnya. Itupun, sebagian besar dipergunakan untuk
percakapan whatsapp. Baru setelahnya digunakan untuk sosial media.

 

Sebagian
masyarakat, kata Dudi masih menggunakan media mainstream untuk menjaring
informasi. Mulai dari media cetak maupun elektronik. Oleh karenanya, dia
menyebut para calon tidak bisa sepenuhnya menggunakan cara-cara digital untuk
menjangkau pemilihnya.

Untuk media
cetak, data PRC menyebut masih ada 28,2 persen masyarakat yang mengaksesnya.
Kemudian media televisi, ada 89,3 persen public yang masih mengaksesnya. “Di
Cetak, Jawa pos menduduki peringkat pertama dengan 7 persen selanjutnya kompas
5,8 persen,”ungkapnya.

Pakar
Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada Nyarwi Ahmad menambahkan, migrasi
dari kampanye lama ke digital tidak bisa dilakukan sepenuhnya. Terbukti, hasil
survei PRC menyebut tidak sepenuhnya memiliki akses. “Media mainstream masih
diperlukan dan jadi kebutuhan masyarakat,” ujarnya.

Baca Juga :  Konsolidasi DPP Partai Golkar, Airlangga: Semua Kader Harus Kerja

Meski
demikian, diakuinya, penggunaan media mainstream saja sudah tidak cukup dalam
situasi saat ini. Harus diakui, sosial media memainkan peran penting di era
sekarang. “Media mainstream masih dibutuhkan tapi ga cukup,” tuturnya.

Untuk itu,
Nyarwi menyebut para calon perlu melakukan pemetaan dalam menentukan media
seperti apa yang cocok untuk menyasar basis pemilihnya. Sebab, kultur atau
kondisi sosial masing-masing daerah di Indonesia sangat beragam.

“Perlu data
ilmiah, prioritas media apa yang sering digunakan masyarakat sebagai platform
penyebaran informasi,” ungkapnya.

 

Terpopuler

Artikel Terbaru