27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Bawaslu Ungkap Ini Penyebab Banyak ASN Tidak Netral di Pilkada

JAKARTA – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengungkapkan
data motif pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Beberapa alasan
adalah adanya paksaan dari pihak lain untuk berlaku tidak netral.

Dari data analisis pelanggaran
netralitas ASN tahun 2017-2018 terlihat, sebanyak 10 persen ASN mencoba-coba
tidak netral. Sementara sekitar 20 persen ketidaknetralan ASN karena ada niat.
Lalu 70 persen karena terpaksa atau ada paksaan pihak lain.

Anggota Bawaslu Fritz Edward
Siregar menuturkan, masalah ketidaknetralan ASN itu seperti penurunan jabatan
atau pergantian pejabat daerah. Padahal, ASN sudah mengikuti proses teknis
untuk mendapatkan jabatan tersebut. “Ada yang diturunkan dari jabatan
Sekretaris Daerah, ada kepala dinas yang diganti, dan sebagainya,” ujar Fritz
di Jakarta, Kamis (20/2).

Selain itu, lanjutnya, larangan
netralitas ASN terbagi atas aturan disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS),
pembinaan jiwa korps dan kode etik PNS. Dia menegaskan, disiplin pegawai negeri
diatur dalam Pasal 4 ayat (15) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010. Dalam
aturan tersebut, PNS dilarang memberi dukungan kepada calon kepala daerah.
“Bentuknya, ikut kampanye, menggunakan fasilitas pemerintah untuk kampanye, membuat
keputusan yang menguntungkan/merugikan salah satu Paslon. Selain itu,
mengadakan kegiatan yang memihak salah satu Paslon,” terangnya.

Baca Juga :  Kembali Pimpin PKB Mura, Ini Target Rahmanto

Untuk aturan kedua, dia
menyebutkan, tujuh jenis larangan ASN yang termuat pada PP 42/2004 tentang
Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS. Pertama, lanjutnya, PNS dilarang
melakukan pendekatan politik untuk mengusulkan orang lain atau dirinya sendiri
menjadi calon. Kedua, PNS dilarang memasang spanduk/baliho untuk dirinya
sendiri atau orang lain. “Ketiga, ASN dilarang juga mendeklarasikan diri
sebagai bakal calon kepala daerah,” sebutnya.

Larangan keempat, sambung Fritz,
PNS dilarang menghadiri deklarasi calon kepala daerah. Baik menggunakan atau
tidak menggunakan atribut dinas. Kelima, PNS juga dilarang membubuhi tanda suka,
mengomentari, atau membagikan postingan calon kepala daerah di media sosial.
“Keenam, ASN dilarang menjadi narasumber atau pembicara pada kegiatan pertemuan
parpol,” tuturnya. Ia mengharapkan kepala daerah tidak menggunakan ASN untuk
memenangkan kontestasi pemilihan 2020.

Baca Juga :  Fahri Desak DPR Revisi UU MD3 soal Nomenklatur Pelantikan Presiden

Sementara itu, Ketua Bawaslu RI
Abhan mengatakan, pelanggaran yang terjadi pada Pemilu 2019 berpotensi akan
terulang dalam Pilkada Serentak 2020. Bentuk pelanggaran tersebut seperti
praktik politik uang, ujaran kebencian, dan netralitas ASN.

Untuk mengantisipasi pelanggaran
itu, Abhan memastikan jajaran Bawaslu akan terus melakukan upaya pencegahan.
“Terutama terhadap praktik politik uang. Bawaslu mengajak masyarakat,
mahasiswa, dan peserta pemilu untuk menolak uang dari peserta pemilu,” jelas
Abhan.

Dia mengungkapkan, dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota atau biasa disebut UU Pilkada, pemberi dan penerima uang dalam pesta
demokrasi bisa dikenakan sanksi pidana. Hanya, lanjutnya, tak mudah memberantas
politik uang. Salah satu alasan menurutnya saksi penerima yang tak mungkin mau
melaporkan karena bisa jadi tersangka. “Sisi positifnya aturan tersebut untuk
sosialisasi kepada masyarakat bahwa sanksinya berat,” paparnya. (khf/fin/rh/kpc)

JAKARTA – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengungkapkan
data motif pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Beberapa alasan
adalah adanya paksaan dari pihak lain untuk berlaku tidak netral.

Dari data analisis pelanggaran
netralitas ASN tahun 2017-2018 terlihat, sebanyak 10 persen ASN mencoba-coba
tidak netral. Sementara sekitar 20 persen ketidaknetralan ASN karena ada niat.
Lalu 70 persen karena terpaksa atau ada paksaan pihak lain.

Anggota Bawaslu Fritz Edward
Siregar menuturkan, masalah ketidaknetralan ASN itu seperti penurunan jabatan
atau pergantian pejabat daerah. Padahal, ASN sudah mengikuti proses teknis
untuk mendapatkan jabatan tersebut. “Ada yang diturunkan dari jabatan
Sekretaris Daerah, ada kepala dinas yang diganti, dan sebagainya,” ujar Fritz
di Jakarta, Kamis (20/2).

Selain itu, lanjutnya, larangan
netralitas ASN terbagi atas aturan disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS),
pembinaan jiwa korps dan kode etik PNS. Dia menegaskan, disiplin pegawai negeri
diatur dalam Pasal 4 ayat (15) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010. Dalam
aturan tersebut, PNS dilarang memberi dukungan kepada calon kepala daerah.
“Bentuknya, ikut kampanye, menggunakan fasilitas pemerintah untuk kampanye, membuat
keputusan yang menguntungkan/merugikan salah satu Paslon. Selain itu,
mengadakan kegiatan yang memihak salah satu Paslon,” terangnya.

Baca Juga :  Kembali Pimpin PKB Mura, Ini Target Rahmanto

Untuk aturan kedua, dia
menyebutkan, tujuh jenis larangan ASN yang termuat pada PP 42/2004 tentang
Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS. Pertama, lanjutnya, PNS dilarang
melakukan pendekatan politik untuk mengusulkan orang lain atau dirinya sendiri
menjadi calon. Kedua, PNS dilarang memasang spanduk/baliho untuk dirinya
sendiri atau orang lain. “Ketiga, ASN dilarang juga mendeklarasikan diri
sebagai bakal calon kepala daerah,” sebutnya.

Larangan keempat, sambung Fritz,
PNS dilarang menghadiri deklarasi calon kepala daerah. Baik menggunakan atau
tidak menggunakan atribut dinas. Kelima, PNS juga dilarang membubuhi tanda suka,
mengomentari, atau membagikan postingan calon kepala daerah di media sosial.
“Keenam, ASN dilarang menjadi narasumber atau pembicara pada kegiatan pertemuan
parpol,” tuturnya. Ia mengharapkan kepala daerah tidak menggunakan ASN untuk
memenangkan kontestasi pemilihan 2020.

Baca Juga :  Fahri Desak DPR Revisi UU MD3 soal Nomenklatur Pelantikan Presiden

Sementara itu, Ketua Bawaslu RI
Abhan mengatakan, pelanggaran yang terjadi pada Pemilu 2019 berpotensi akan
terulang dalam Pilkada Serentak 2020. Bentuk pelanggaran tersebut seperti
praktik politik uang, ujaran kebencian, dan netralitas ASN.

Untuk mengantisipasi pelanggaran
itu, Abhan memastikan jajaran Bawaslu akan terus melakukan upaya pencegahan.
“Terutama terhadap praktik politik uang. Bawaslu mengajak masyarakat,
mahasiswa, dan peserta pemilu untuk menolak uang dari peserta pemilu,” jelas
Abhan.

Dia mengungkapkan, dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota atau biasa disebut UU Pilkada, pemberi dan penerima uang dalam pesta
demokrasi bisa dikenakan sanksi pidana. Hanya, lanjutnya, tak mudah memberantas
politik uang. Salah satu alasan menurutnya saksi penerima yang tak mungkin mau
melaporkan karena bisa jadi tersangka. “Sisi positifnya aturan tersebut untuk
sosialisasi kepada masyarakat bahwa sanksinya berat,” paparnya. (khf/fin/rh/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru