30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Kuartal III 2020 Indonesia Dipastikan Alami Resesi

JAKARTA, KALTENGPOS.CO – Kuartal ketiga 2020 tinggal beberapa hari
lagi. Akhir September ini menjadi penentu bagi perekonomian Indonesia. Menteri
Keuangan Sri Mulyani menegaskan pada kuartal III mendatang, Indonesia masih
berada dalam teritori negatif.

“Kementerian Keuangan melakukan
revisi prakiraan pada September ini. Yang sebelumnya diperkirakan tahun ini
minus 1,1 hingga positif 0,2, prakiraan terbaru adalah kisaran minus 1,7 hingga
minus 0,6 persen,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (22/9).

Hal itu, lanjutnya, menandakan
pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III mendatang, masih berada dalam
teritori negatif. Sedangkan kuartal IV diperkirakan mendekati nol persen. “Kita
akan upayakan pada kuartal IV bisa mendekati nol persen atau positif,” paparnya.

Satu-satunya komponen pengeluaran
yang masih bisa berkontribusi positif adalah konsumsi pemerintah. Pada akhir
2020 diperkirakan tumbuh 0,6 persen hingga 4,8 persen.

Sedangkan, konsumsi rumah tangga
pada akhir 2020 diperkirakan tumbuh negatif pada kisaran minus 2,1 persen
hingga minus 1 persen, PMTB terkontraksi pada kisaran minus 5,6 persen hingga
minus 4,4 persen. Selanjutnya ekspor tumbuh negatif pada kisaran minus 9 persen
hingga minus 5,5 persen.

Dengan perkiraan tersebut,
Indonesia diproyeksikan akan mengalami resesi alias pertumbuhan negatif.
Kondisi serupa juga sudah lebih dulu dialami negara-negara besar maupun
berkembang lainnya.

Seperti diketahui, pertumbuhan
ekonomi kuartal I 2020 masih positif di 2,97 persen. Sementara di kuartal II
2020 minus 5,32 persen. Jika dua kuartal berturut-turut ekonomi negatif, maka
Indonesia masuk resesi.

Meski berada di zona negatif,
mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengaku proyeksi Kementerian Keuangan
tidak sedalam proyeksi beberapa lembaga internasional.

Di tengah pandemi COVID-19, jelas
Sri Mulyani, pemerintah juga berupaya mempertahankan akuntabilitas laporan
keuangan pemerintah pusat (LKPP). Sebab, wabah Corona tersebut tidak akan
selesai pada tahun ini.

Baca Juga :  IWAPI Barsel Diharapkan Mengayomi Pelaku UMKM

“COVID tidak akan selesai tahun
2020. Maka, tahun depan mungkin kita masih dihadapkan dengan kondisi ini. Jadi
jangan pernah berpikir ini adalah kondisi sementara untuk beberapa bulan,”
tukasnya.

Dia meminta kepada seluruh
jajaran, baik di kementerian, lembaga di pusat dan daerah bisa menjaga tata
kelola keuangan dengan baik dan hati-hati. “Pengelolaan ini harus terus dijaga
hingga 2021. Atau bahkan sesudah itu. Sehingga tetap akuntabel terhadap
keuangan negara,” ucapnya.

Sri Mulyani menekankan, petinggi
kementerian dan lembaga negara berani mengambil keputusan. Terutama terkait
aspek urgensi dan darurat. “Namun tetap bertanggung jawab. Kita juga mampu
memitigasi risiko akibat langkah-langkah tersebut. Selama niatnya baik, dan
selama ingin ada transparan dan akuntabel, maka mengkoordinasikan kondisi
emergency dengan akuntabilitas bisa tetap dilaksanakan,” paparnya.

Terkait hal itu, Ketua Badan
Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah meminta pemerintah fokus melakukan
optimalisasi serapan program belanja pembangunan 2020. Menurutnya, belanja
pemerintah berkontribusi positif menopang pertumbuhan Produk Domestik Bruto
(PDB). “Belanja kesehatan per 31 Agustus 2020 baru Rp15 triliun dari Rp75
triliun. Ini perlu ditingkatkan,” kata Said di Jakarta, Selasa (22/9).

Menurutnya, dukungan untuk sektor
Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai jantung ekonomi rakyat juga perlu
dioptimalkan. Dikatakan, tingkat penyerapan per 31 Agustus 2020 masih Rp52
triliun dari Rp123,46 triliun. Insentif usaha, yang menyasar keringanan pajak
bagi para pelaku usaha juga baru terserap Rp18,8 triliun dari Rp120,61 triliun.

Baca Juga :  Airlangga Optimistis Penjualan Mobil Tembus 850 Ribu Unit

Untuk optimalisasi tersebut,
seluruh jajaran penyelenggara pemerintah perlu kerja keras. Hal tersebut,
lanjutnya, tidak mudah dilakukan di tengah pandemi. Sebabm terdapat
keterbatasan ruang gerak. Termasuk keterbatasan personil serta daya dukung.

Kendati demikian, diperkirakan
pertumbuhan negatif ini tidak sedalam pada kuartal II. “Kita perlu
mempersiapkan diri menghadapi tekanan ekonomi ke depan. Tidak perlu membuat
kegaduhan. Resesi sudah hampir pasti akan kita hadapi,” tegas Said.

Hal senada disampaikan pengamat
ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal. Dia
optimistis tren ekonomi nasional ke depan akan mengalami perbaikan seiring
dengan upaya menjaga konsumsi masyarakat.

“Kuartal ketiga ini memang masih
kontraksi. Namun yang jelas tren ekonomi ke depan akan membaik. Kita tetap
harus antisipasi dampak langsung dari pembatasan aktivitas di masyarakat. Yakni
menjaga konsumsi melalui bansos tunai,” jelas Faisal.

Pemerintah, kata Faisal, harus
ekspansif menyalurkan belanja pemerintah guna menstimulasi konsumsi rumah
tangga. Salah satunya melalui bantuan sosial tunai kepada masyarakat rentan
COVID-19. Seperti pekerja informal dan UMKM.

Terpisah, Direktur Riset
Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya,
menjelaskan pemulihan ekonomi nasional bisa terjadi cukup cepat jika COVID-19
berhasil dikendalikan.

“Jika pandemi mereda, penambahan
penderita COVID-19 juga melambat, ada kemungkinan resesi ekonomi hanya
berlangsung sekitar dua atau tiga kuartal,” ujar Berly. Namun jika pandemi
tidak kunjung mereda, upaya pemulihan ekonomi nasional sangat sulit dilakukan
pemerintah.

“Pandemi yang tak kunjung mereda
berisiko membuat penderita penyakit bertambah banyak. Kemudian resesi ekonomi
juga berpeluang terjadi lebih dari tiga kuartal atau lebih dari setahun,”
pungkasnya.

JAKARTA, KALTENGPOS.CO – Kuartal ketiga 2020 tinggal beberapa hari
lagi. Akhir September ini menjadi penentu bagi perekonomian Indonesia. Menteri
Keuangan Sri Mulyani menegaskan pada kuartal III mendatang, Indonesia masih
berada dalam teritori negatif.

“Kementerian Keuangan melakukan
revisi prakiraan pada September ini. Yang sebelumnya diperkirakan tahun ini
minus 1,1 hingga positif 0,2, prakiraan terbaru adalah kisaran minus 1,7 hingga
minus 0,6 persen,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (22/9).

Hal itu, lanjutnya, menandakan
pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III mendatang, masih berada dalam
teritori negatif. Sedangkan kuartal IV diperkirakan mendekati nol persen. “Kita
akan upayakan pada kuartal IV bisa mendekati nol persen atau positif,” paparnya.

Satu-satunya komponen pengeluaran
yang masih bisa berkontribusi positif adalah konsumsi pemerintah. Pada akhir
2020 diperkirakan tumbuh 0,6 persen hingga 4,8 persen.

Sedangkan, konsumsi rumah tangga
pada akhir 2020 diperkirakan tumbuh negatif pada kisaran minus 2,1 persen
hingga minus 1 persen, PMTB terkontraksi pada kisaran minus 5,6 persen hingga
minus 4,4 persen. Selanjutnya ekspor tumbuh negatif pada kisaran minus 9 persen
hingga minus 5,5 persen.

Dengan perkiraan tersebut,
Indonesia diproyeksikan akan mengalami resesi alias pertumbuhan negatif.
Kondisi serupa juga sudah lebih dulu dialami negara-negara besar maupun
berkembang lainnya.

Seperti diketahui, pertumbuhan
ekonomi kuartal I 2020 masih positif di 2,97 persen. Sementara di kuartal II
2020 minus 5,32 persen. Jika dua kuartal berturut-turut ekonomi negatif, maka
Indonesia masuk resesi.

Meski berada di zona negatif,
mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengaku proyeksi Kementerian Keuangan
tidak sedalam proyeksi beberapa lembaga internasional.

Di tengah pandemi COVID-19, jelas
Sri Mulyani, pemerintah juga berupaya mempertahankan akuntabilitas laporan
keuangan pemerintah pusat (LKPP). Sebab, wabah Corona tersebut tidak akan
selesai pada tahun ini.

Baca Juga :  IWAPI Barsel Diharapkan Mengayomi Pelaku UMKM

“COVID tidak akan selesai tahun
2020. Maka, tahun depan mungkin kita masih dihadapkan dengan kondisi ini. Jadi
jangan pernah berpikir ini adalah kondisi sementara untuk beberapa bulan,”
tukasnya.

Dia meminta kepada seluruh
jajaran, baik di kementerian, lembaga di pusat dan daerah bisa menjaga tata
kelola keuangan dengan baik dan hati-hati. “Pengelolaan ini harus terus dijaga
hingga 2021. Atau bahkan sesudah itu. Sehingga tetap akuntabel terhadap
keuangan negara,” ucapnya.

Sri Mulyani menekankan, petinggi
kementerian dan lembaga negara berani mengambil keputusan. Terutama terkait
aspek urgensi dan darurat. “Namun tetap bertanggung jawab. Kita juga mampu
memitigasi risiko akibat langkah-langkah tersebut. Selama niatnya baik, dan
selama ingin ada transparan dan akuntabel, maka mengkoordinasikan kondisi
emergency dengan akuntabilitas bisa tetap dilaksanakan,” paparnya.

Terkait hal itu, Ketua Badan
Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah meminta pemerintah fokus melakukan
optimalisasi serapan program belanja pembangunan 2020. Menurutnya, belanja
pemerintah berkontribusi positif menopang pertumbuhan Produk Domestik Bruto
(PDB). “Belanja kesehatan per 31 Agustus 2020 baru Rp15 triliun dari Rp75
triliun. Ini perlu ditingkatkan,” kata Said di Jakarta, Selasa (22/9).

Menurutnya, dukungan untuk sektor
Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai jantung ekonomi rakyat juga perlu
dioptimalkan. Dikatakan, tingkat penyerapan per 31 Agustus 2020 masih Rp52
triliun dari Rp123,46 triliun. Insentif usaha, yang menyasar keringanan pajak
bagi para pelaku usaha juga baru terserap Rp18,8 triliun dari Rp120,61 triliun.

Baca Juga :  Airlangga Optimistis Penjualan Mobil Tembus 850 Ribu Unit

Untuk optimalisasi tersebut,
seluruh jajaran penyelenggara pemerintah perlu kerja keras. Hal tersebut,
lanjutnya, tidak mudah dilakukan di tengah pandemi. Sebabm terdapat
keterbatasan ruang gerak. Termasuk keterbatasan personil serta daya dukung.

Kendati demikian, diperkirakan
pertumbuhan negatif ini tidak sedalam pada kuartal II. “Kita perlu
mempersiapkan diri menghadapi tekanan ekonomi ke depan. Tidak perlu membuat
kegaduhan. Resesi sudah hampir pasti akan kita hadapi,” tegas Said.

Hal senada disampaikan pengamat
ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal. Dia
optimistis tren ekonomi nasional ke depan akan mengalami perbaikan seiring
dengan upaya menjaga konsumsi masyarakat.

“Kuartal ketiga ini memang masih
kontraksi. Namun yang jelas tren ekonomi ke depan akan membaik. Kita tetap
harus antisipasi dampak langsung dari pembatasan aktivitas di masyarakat. Yakni
menjaga konsumsi melalui bansos tunai,” jelas Faisal.

Pemerintah, kata Faisal, harus
ekspansif menyalurkan belanja pemerintah guna menstimulasi konsumsi rumah
tangga. Salah satunya melalui bantuan sosial tunai kepada masyarakat rentan
COVID-19. Seperti pekerja informal dan UMKM.

Terpisah, Direktur Riset
Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya,
menjelaskan pemulihan ekonomi nasional bisa terjadi cukup cepat jika COVID-19
berhasil dikendalikan.

“Jika pandemi mereda, penambahan
penderita COVID-19 juga melambat, ada kemungkinan resesi ekonomi hanya
berlangsung sekitar dua atau tiga kuartal,” ujar Berly. Namun jika pandemi
tidak kunjung mereda, upaya pemulihan ekonomi nasional sangat sulit dilakukan
pemerintah.

“Pandemi yang tak kunjung mereda
berisiko membuat penderita penyakit bertambah banyak. Kemudian resesi ekonomi
juga berpeluang terjadi lebih dari tiga kuartal atau lebih dari setahun,”
pungkasnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru