27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Pemberian Amnesti Baiq Nuril Jadi Momentum Revisi UU ITE dan KUHAP

Pemberian
Amnesti Baiq Nuril oleh Presiden Joko Widodo mendapat apresiasi dari
banyak pihak. Di antaranya adalah, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) dan Institute for Criminal
Justice Reform (ICJR).

“Kami MaPPI FH UI dan ICJR mengapreasiasi langkah yang diambil
oleh Presiden Joko Widodo. Pemberian amnesti ini menegaskan bahwa perlindungan
bagi korban kekerasan seksual merupakan hal penting dalam penyelenggaraan
negara,” kata peneliti ICJR Maidina Rahmawati dalam keterangan
tertulisnya, Selasa (30/7).

Namun, Maidina berharap Proses panjang sampai dengan pemberian
amnesti ini tidak harus terjadi jika ada perbaikan yang dilakukan. Bisa dimulai
dari revisi UU ITE, hingga evaluasi berkala aparat penegak hukum untuk
menjamin terlindungannya korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan
pidana.

“Amnesti ini harusnya bisa menjadi momentum untuk dilakukan
perbaikan atau revisi pada UU ITE,” ujarnya.

Diketahui, keputusan untuk memberikan Amnesti terhadap Baiq
Nuril merupakan tindak lanjut atas proses hukum yang dialami oleh mantan
guru honorer SMAN 7 Mataram itu. Karena Mahkamah Agung (MA) telah menolak
permohonan gugatan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril.

Baca Juga :  HAYU KAM! Jaksa Bidik Dugaan Tindak Pidana Gratifikasi di Kapuas

Putusan tersebut memperkuat putusan pengadilan sebelumnya, yakni
putusan Mahkamah Agung yang menghukum Baiq Nuril dengan pidana 6 bulan penjara
dan denda 500 juta subsidier 3 bulan kurungan.

“Kasus ini sebetulnya adalah tamparan keras kepada Pemerintah,
bahwa sistem peradilan pidana telah gagal melindungi warga negara,” tegas
Maidina.

Karena itu, melalui perjalanan panjang kasus Baiq Nuril,
sebenarnya banyak hal yang harus dijadikan cambuk bagi pemerintah dan DPR untuk
melakukan reformasi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Seperti
penerapan UU ITE.

Menurutnya, pada Pasal 27 ayat (1) bukan satu-satunya masalah
dalam UU ITE, Pasal 27 ayat (3) UU ITE memuat ketentuan pidana tentang
penghinaan dalam sistem elektronik, yang dalam penjelasan dimuat bahwa pasal
ini merujuk pada ketentuan KUHP, namun UU ITE gagal menjelaskan rujukkan pasal
KUHP mana yang dimaksud, karena mengenai penghinaan.

Sebab, pada praktiknya UU ITE justru menyasar kelompok dan
individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah. Bahkan, kata
Maidina, lebih memprihatinkan lagi pasal ini kerap digunakan untuk membungkam
pengkritik Presiden, padahal Mahkamah Konstitusi sudah menghapus pidana
penghinaan terhadap Presiden.

Baca Juga :  Ini Perkembangan Terbaru Kasus Dugaan Korupsi di KPU Kapuas

“Selain itu, pembaruan KUHAP mutlak diperlukan. Kasus Baiq Nuril
menunjukkan masalah hukum acara pidana, bahwa Baiq Nuril sempat ditahan
dalam proses penyidikan,” paparnya.

Dijelaskanya, penahanan tunduk pada ketentuan Pasal 21 KUHAP
dengan syarat yang wajib dielaborasi oleh setiap pejabat yang memiliki
kewenangan untuk melakukan penahanan, termasuk alasan kekhawatiran tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan
atau mengulangi tindak pidana.

“Artinya penahanan terhadap tersangka atau terdakwa bukanlah hal
yang wajib dilakukan,” papar Maidina.

Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo telah menandatangani
Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pemberian amnesti bagi Baiq Nuril Maknun.
Maka dengan terbitnya amnesti ini, maka Nuril yang sebelumnya divonis Mahkamah
Agung (MA) melanggar UU ITE pada tingkat kasasi, bebas dari jerat hukum.(jpg)

Pemberian
Amnesti Baiq Nuril oleh Presiden Joko Widodo mendapat apresiasi dari
banyak pihak. Di antaranya adalah, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) dan Institute for Criminal
Justice Reform (ICJR).

“Kami MaPPI FH UI dan ICJR mengapreasiasi langkah yang diambil
oleh Presiden Joko Widodo. Pemberian amnesti ini menegaskan bahwa perlindungan
bagi korban kekerasan seksual merupakan hal penting dalam penyelenggaraan
negara,” kata peneliti ICJR Maidina Rahmawati dalam keterangan
tertulisnya, Selasa (30/7).

Namun, Maidina berharap Proses panjang sampai dengan pemberian
amnesti ini tidak harus terjadi jika ada perbaikan yang dilakukan. Bisa dimulai
dari revisi UU ITE, hingga evaluasi berkala aparat penegak hukum untuk
menjamin terlindungannya korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan
pidana.

“Amnesti ini harusnya bisa menjadi momentum untuk dilakukan
perbaikan atau revisi pada UU ITE,” ujarnya.

Diketahui, keputusan untuk memberikan Amnesti terhadap Baiq
Nuril merupakan tindak lanjut atas proses hukum yang dialami oleh mantan
guru honorer SMAN 7 Mataram itu. Karena Mahkamah Agung (MA) telah menolak
permohonan gugatan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril.

Baca Juga :  HAYU KAM! Jaksa Bidik Dugaan Tindak Pidana Gratifikasi di Kapuas

Putusan tersebut memperkuat putusan pengadilan sebelumnya, yakni
putusan Mahkamah Agung yang menghukum Baiq Nuril dengan pidana 6 bulan penjara
dan denda 500 juta subsidier 3 bulan kurungan.

“Kasus ini sebetulnya adalah tamparan keras kepada Pemerintah,
bahwa sistem peradilan pidana telah gagal melindungi warga negara,” tegas
Maidina.

Karena itu, melalui perjalanan panjang kasus Baiq Nuril,
sebenarnya banyak hal yang harus dijadikan cambuk bagi pemerintah dan DPR untuk
melakukan reformasi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Seperti
penerapan UU ITE.

Menurutnya, pada Pasal 27 ayat (1) bukan satu-satunya masalah
dalam UU ITE, Pasal 27 ayat (3) UU ITE memuat ketentuan pidana tentang
penghinaan dalam sistem elektronik, yang dalam penjelasan dimuat bahwa pasal
ini merujuk pada ketentuan KUHP, namun UU ITE gagal menjelaskan rujukkan pasal
KUHP mana yang dimaksud, karena mengenai penghinaan.

Sebab, pada praktiknya UU ITE justru menyasar kelompok dan
individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah. Bahkan, kata
Maidina, lebih memprihatinkan lagi pasal ini kerap digunakan untuk membungkam
pengkritik Presiden, padahal Mahkamah Konstitusi sudah menghapus pidana
penghinaan terhadap Presiden.

Baca Juga :  Ini Perkembangan Terbaru Kasus Dugaan Korupsi di KPU Kapuas

“Selain itu, pembaruan KUHAP mutlak diperlukan. Kasus Baiq Nuril
menunjukkan masalah hukum acara pidana, bahwa Baiq Nuril sempat ditahan
dalam proses penyidikan,” paparnya.

Dijelaskanya, penahanan tunduk pada ketentuan Pasal 21 KUHAP
dengan syarat yang wajib dielaborasi oleh setiap pejabat yang memiliki
kewenangan untuk melakukan penahanan, termasuk alasan kekhawatiran tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan
atau mengulangi tindak pidana.

“Artinya penahanan terhadap tersangka atau terdakwa bukanlah hal
yang wajib dilakukan,” papar Maidina.

Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo telah menandatangani
Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pemberian amnesti bagi Baiq Nuril Maknun.
Maka dengan terbitnya amnesti ini, maka Nuril yang sebelumnya divonis Mahkamah
Agung (MA) melanggar UU ITE pada tingkat kasasi, bebas dari jerat hukum.(jpg)

Terpopuler

Artikel Terbaru