30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Sengketa Tanah Wakaf Kamuk Ranggan Bergulir Hingga Kasasi

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Sengketa tanah wakaf seluas 58 hektare
di Jalan Karanggan Kota Palangka Raya terus bergulir, hingga ke tingkat kasasi.
Pasalnya, nadzir atau pihak pembela tanah wakaf tidak terima dengan putusan
Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Palangka Raya, yang memutuskan bahwa Pengadilan
Agama (PA) tidak berwenang mengadili sengketa tanah wakaf.

Putusan hakim PTA Palangka Raya
tersebut berbeda dengan putusan hakim PA Palangka Raya, yang menyatakan PA
berwenang mengadili sengeketa tanah kawaf. Hal itu mengacu pada Pasal 62 ayat 2
UU Nomor 41 tahun 2004 Tentang Tanah Wakaf dan Pasal 49 Huruf c UU Nomor 7
tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU Nomor 3 tahun
2006 pasal 49 huruf e perkara wakaf merupakan kewenangan Pengadilan Agama.

Dan pada pasal 50 ayat 2 UU Nomor
3 Tahun 2006 Perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud ayat 1 yang subjek
hukumnya antara orang-orang beragama Islam, objek sengketa itu diputus oleh
peradilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49,
perkara wakaf merupakan wewenang pengadilan agama.

Atas putusan tersebut, nadzir
tanah wakaf H Kamuk Ranggan, Wikarya F Dirun akan mengajukan kasasi. Sebab,
putusan hakim PTA yang menyatakan sengketa tanah wakaf bukan kewenangan
Pengadilan Agama dinilai keliru. 

“Kita melakukan uapaya
kasasi atas putusan majelis hakim pada Pengadilan Tinggi Agama. Sebab, sengketa
tanah wakaf termasuk kewenangan Pengadilan Agama,” ucap Wikarya, Selasa
(23/2).

Menurut Wikarya, bahwa dengan
hanya menggunakan pasal  49 dan pasal 50 ayat (2) UU Peradilan Agama
sebagai pisau analisa yuridis dalam memberikan pertimbangan hukum, maka
sangatlah jelas dan terang pisau analisa yang digunakan Judex Factie sangatlah tumpul.

Baca Juga :  Selamat Datang Kombes Pol Dwi Tunggal Jaladri, Selamat Bertugas di Tem

Pada UU Peradilan Agama tentang
wakaf tidak dijelaskan secara rinci dan hanya ada penjelasannya bahwa wakaf
adalah “perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah” (Vide pasal 49 huruf e dan
penjelasan UU Peradilan Agama)”. 

Dengan adanya kelemahan dalam UU
Peradilan Agama tersebut, seyogyanya Judex
Factie
menggunakan pula pisau analisa yuridis  lainnya, yaitu 
yang diatur dalam UU No. 41 tahun 2004 Tentang Wakaf (selanjutnya dalam memori
kasasi ini disebut “UU Wakaf” dan ketentuan-ketentuan terkait lainnya dalam
KHI, Buku III, Bab I hingga Bab V, yang mencakup 14 pasal. 

Pasal-pasal tersebut, lanjut
Wikarya, mengatur ketentuan umum, yaitu definisi wakaf, wakif, ikrar, benda
wakaf, nadzir, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, fungsi wakaf, subjek hukum
yang dapat mewakafkan harta bendanya, syarat benda wakaf, prosedur mewakafkan,
syarat-syarat nadzir. Kemudian juga kewajiban dan hak-hak nadzir, pendaftaran
benda wakaf, perubahan, penyelesaian dan pengawasan benda wakaf.

“Seyogyanya agar bisa bisa
memberikan analisa yang tepat dan tuntas untuk mengetahui apa benar perkara ini
kewenangan pengadilan agama atau bukan, setidak-tidaknya Judex Factie harus mengacu pada pasal 1 butir 1 Jo. Pasal 2 dan
Penjelasannya Jo. Penjelasan Umum Alenea 1 Jo. Pasal 49 dan Penjelasannya Jo.
Pasal 50 dan penjelasan pada ayat (2) Jo. Pasal 54  Jo. Pasal 62
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Peradilan Agama yang dihubungkan pula dengan
Pasal 1 butir 5 Jo. Pasal 3, pasal 6, pasal 32, pasal 34, pasal 36 dan pasal 62
UU No. 41 Tahun  2004 Tentang wakaf serta wajib pula dikaitkan dengan
Kompilasi Hukum Islam khususnya pasal 215 ayat (1) dan (2) Jo. Pasal 217 ayat
(3),” beber Wikarya.

Baca Juga :  Jika Terbukti akan Ditindak Tegas

Menurutnya, analisa tidak hanya
sampai berhenti dengan makna-makna pasal tersebut saja. Seyogyanya Judex Factie juga wajib menerapkan
berbagai asas hukum, antara lain, â€œLex
Specialis derogate lex generali
” dimana hukum tentang wakaf bersifat khusus
dan hal yayasan bersifat umum, oleh karena perkara pokok adalah tentang wakaf
dan perkara ikutan (accesoir). Juga
wajib untuk mengikuti berbagai yurisprudensi dalam praktik peradilan tentang
kompetensi absolut  Pengadilan agama Vs Pengadilan Negeri antara lain
Putusan MARI No. 001-SKM/MA/2015  serta praktik hukum anatar peradilan dengan
obyek yang sama namun antarpengadilan yang satu dengan pengadilan lainnya semua
berjalan simultan tanpa menyentuh kewenangan absolut masing-masing 
pengadilan, seperti kasus-kasus dengan obyek sertifikat hak milik yang oleh
peradilan umum dinyatakan cacat hukum dan tidak berlaku mengikat, oleh PTUN
dinyatakan  tidak sah dan batal demi hukum, oleh hakim pidana dinyatakan
surat palsu dan oleh pengadilan agama misalnya, bisa dinyatakan tidak memiliki
kekuatan hukum sebagai alas hak sebagai bundle warisan yang belum terbagi.

“Dengan demikian jelas dan nyata
pertimbangan Judex Factie dalam
perkara a quo adalah sangat tidak
cukup dipertimbangkan (onvoldoende
gemotiveed
) yang harus dibatalkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi,”
pungkasnya.

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Sengketa tanah wakaf seluas 58 hektare
di Jalan Karanggan Kota Palangka Raya terus bergulir, hingga ke tingkat kasasi.
Pasalnya, nadzir atau pihak pembela tanah wakaf tidak terima dengan putusan
Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Palangka Raya, yang memutuskan bahwa Pengadilan
Agama (PA) tidak berwenang mengadili sengketa tanah wakaf.

Putusan hakim PTA Palangka Raya
tersebut berbeda dengan putusan hakim PA Palangka Raya, yang menyatakan PA
berwenang mengadili sengeketa tanah kawaf. Hal itu mengacu pada Pasal 62 ayat 2
UU Nomor 41 tahun 2004 Tentang Tanah Wakaf dan Pasal 49 Huruf c UU Nomor 7
tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU Nomor 3 tahun
2006 pasal 49 huruf e perkara wakaf merupakan kewenangan Pengadilan Agama.

Dan pada pasal 50 ayat 2 UU Nomor
3 Tahun 2006 Perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud ayat 1 yang subjek
hukumnya antara orang-orang beragama Islam, objek sengketa itu diputus oleh
peradilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49,
perkara wakaf merupakan wewenang pengadilan agama.

Atas putusan tersebut, nadzir
tanah wakaf H Kamuk Ranggan, Wikarya F Dirun akan mengajukan kasasi. Sebab,
putusan hakim PTA yang menyatakan sengketa tanah wakaf bukan kewenangan
Pengadilan Agama dinilai keliru. 

“Kita melakukan uapaya
kasasi atas putusan majelis hakim pada Pengadilan Tinggi Agama. Sebab, sengketa
tanah wakaf termasuk kewenangan Pengadilan Agama,” ucap Wikarya, Selasa
(23/2).

Menurut Wikarya, bahwa dengan
hanya menggunakan pasal  49 dan pasal 50 ayat (2) UU Peradilan Agama
sebagai pisau analisa yuridis dalam memberikan pertimbangan hukum, maka
sangatlah jelas dan terang pisau analisa yang digunakan Judex Factie sangatlah tumpul.

Baca Juga :  Selamat Datang Kombes Pol Dwi Tunggal Jaladri, Selamat Bertugas di Tem

Pada UU Peradilan Agama tentang
wakaf tidak dijelaskan secara rinci dan hanya ada penjelasannya bahwa wakaf
adalah “perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah” (Vide pasal 49 huruf e dan
penjelasan UU Peradilan Agama)”. 

Dengan adanya kelemahan dalam UU
Peradilan Agama tersebut, seyogyanya Judex
Factie
menggunakan pula pisau analisa yuridis  lainnya, yaitu 
yang diatur dalam UU No. 41 tahun 2004 Tentang Wakaf (selanjutnya dalam memori
kasasi ini disebut “UU Wakaf” dan ketentuan-ketentuan terkait lainnya dalam
KHI, Buku III, Bab I hingga Bab V, yang mencakup 14 pasal. 

Pasal-pasal tersebut, lanjut
Wikarya, mengatur ketentuan umum, yaitu definisi wakaf, wakif, ikrar, benda
wakaf, nadzir, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, fungsi wakaf, subjek hukum
yang dapat mewakafkan harta bendanya, syarat benda wakaf, prosedur mewakafkan,
syarat-syarat nadzir. Kemudian juga kewajiban dan hak-hak nadzir, pendaftaran
benda wakaf, perubahan, penyelesaian dan pengawasan benda wakaf.

“Seyogyanya agar bisa bisa
memberikan analisa yang tepat dan tuntas untuk mengetahui apa benar perkara ini
kewenangan pengadilan agama atau bukan, setidak-tidaknya Judex Factie harus mengacu pada pasal 1 butir 1 Jo. Pasal 2 dan
Penjelasannya Jo. Penjelasan Umum Alenea 1 Jo. Pasal 49 dan Penjelasannya Jo.
Pasal 50 dan penjelasan pada ayat (2) Jo. Pasal 54  Jo. Pasal 62
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Peradilan Agama yang dihubungkan pula dengan
Pasal 1 butir 5 Jo. Pasal 3, pasal 6, pasal 32, pasal 34, pasal 36 dan pasal 62
UU No. 41 Tahun  2004 Tentang wakaf serta wajib pula dikaitkan dengan
Kompilasi Hukum Islam khususnya pasal 215 ayat (1) dan (2) Jo. Pasal 217 ayat
(3),” beber Wikarya.

Baca Juga :  Jika Terbukti akan Ditindak Tegas

Menurutnya, analisa tidak hanya
sampai berhenti dengan makna-makna pasal tersebut saja. Seyogyanya Judex Factie juga wajib menerapkan
berbagai asas hukum, antara lain, â€œLex
Specialis derogate lex generali
” dimana hukum tentang wakaf bersifat khusus
dan hal yayasan bersifat umum, oleh karena perkara pokok adalah tentang wakaf
dan perkara ikutan (accesoir). Juga
wajib untuk mengikuti berbagai yurisprudensi dalam praktik peradilan tentang
kompetensi absolut  Pengadilan agama Vs Pengadilan Negeri antara lain
Putusan MARI No. 001-SKM/MA/2015  serta praktik hukum anatar peradilan dengan
obyek yang sama namun antarpengadilan yang satu dengan pengadilan lainnya semua
berjalan simultan tanpa menyentuh kewenangan absolut masing-masing 
pengadilan, seperti kasus-kasus dengan obyek sertifikat hak milik yang oleh
peradilan umum dinyatakan cacat hukum dan tidak berlaku mengikat, oleh PTUN
dinyatakan  tidak sah dan batal demi hukum, oleh hakim pidana dinyatakan
surat palsu dan oleh pengadilan agama misalnya, bisa dinyatakan tidak memiliki
kekuatan hukum sebagai alas hak sebagai bundle warisan yang belum terbagi.

“Dengan demikian jelas dan nyata
pertimbangan Judex Factie dalam
perkara a quo adalah sangat tidak
cukup dipertimbangkan (onvoldoende
gemotiveed
) yang harus dibatalkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi,”
pungkasnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru