33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Menyorot Vonis Juliari Batubara, Korupsi Struktural dan Ujian KPK

NEGERI ini sepertinya sudah tersandera oleh kasus-kasus korupsi. Berbagai kasus korupsi terjadi, baik pada level pusat maupun daerah. Melibatkan pejabat pusat maupun pejabat daerah. Korupsi sudah menggurita mulai Sabang sampai Merauke.

Terkait dengan mengguritanya korupsi, Buya Syafii Maarif pernah mengatakan, ”Korupsi sudah sedemikian kuat membelenggu kita, mulai istana sampai ke kantor kelurahan, sejak bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, sejak lahir sampai meninggal. Merambah dari tempat ibadah sampai ke toilet.”

Kasus-kasus korupsi yang besar muaranya terkait dengan poros kekuasaan. Contohnya kasus megaskandal Century, BLBI, Wisma Atlet Hambalang, KTP elektronik (e-KTP), Jiwasraya, ASABRI, bansos pandemi Covid-19, dan skandal Djoko Tjandra. Selain merugikan keuangan negara ratusan triliun rupiah, juga menyengsarakan kehidupan masyarakat dan mematikan sendi-sendi kehidupan bangsa.

Yang paling tragis, hampir semua pelaku korupsi melibatkan ”segitiga emas”, yakni penguasa, pengusaha, dan politikus partai politik. Model korupsi seperti ini yang sering kita sebut sebagai korupsi struktural karena melibatkan poros-poros kekuasaan. Karena itu sulit diberantas sampai ke akar-akarnya.

 

Layak Dihukum Berat

 

Model korupsi struktural kembali terjadi dalam skandal bantuan sosial (bansos) pandemi Covid-19 yang melibatkan penguasa, politikus, dan pengusaha. Kali ini yang menjadi terdakwa adalah mantan Mensos Juliari Batubara. Dalam sidang di Pengadilan Tipikor DKI Jakarta, majelis hakim menjatuhkan vonis 12 tahun penjara kepada Juliari plus denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Dia dinyatakan terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan jumlah Rp 3,46 miliar.

Meskipun vonis itu lebih tinggi daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut 11 tahun penjara, tentu saja masih terasa sangat mengecewakan. Hal ini mengingat sejak awal Ketua KPK Firli Bahuri mengancam Juliari dengan hukuman mati.

Baca Juga :  Belajar Investasi dari Miliarder Tuban

Setidaknya ada lima alasan Juliari layak dihukum berat atau maksimal. Pertama, ketika melakukan kejahatan korupsi, Juliari adalah seorang pejabat publik. Pejabat publik yang tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi. Kedua, dalam pleidoi di persidangan, terdakwa tidak mengakui kesalahannya dan tidak merasa bersalah. Ketiga, tindak kejahatan terdakwa dilakukan dalam situasi negara sedang mengalami bencana, yakni pandemi Covid-19. Keempat, tindak kejahatan terdakwa secara jelas telah merugikan dan menyengsarakan kehidupan masyarakat, terutama masyarakat terdampak Covid-19. Kelima, vonis berat dan maksimal akan memberikan pesan yang sangat jelas kepada para pejabat negara agar tidak ”bermain api” dengan korupsi di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.

 

Seperti skandal korupsi struktural lainnya, kasus korupsi bansos pandemi Covid-19 tentu tidak mudah diusut sampai tuntas. Kita tahu kasus bansos tidak hanya melibatkan pejabat dan pengusaha, tetapi juga politikus poros kekuasaan. Korupsi struktural yang melibatkan ranah-ranah kekuasaan inilah yang menjadikan korupsi di Indonesia sulit diberantas. Banyak kepentingan politik yang bermain. Antarsimpul jaringan dan jejaring kekuasaan saling melindungi dan pasang kuda-kuda. Hanya oknum kelas teri yang dikorbankan. Namun, sumber dan akar korupsi tak pernah tersentuh.

Secara teoretis, korupsi struktural memiliki hukum kekuasaan sendiri sehingga sulit diurai dengan menggunakan hukum positif konvensional. Menurut Star dan Collier (1985), dalam pandangan paradigma hukum kritikal, hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi merupakan ”sesuatu” yang diciptakan oleh suatu badan hukum dengan tujuan memberi keuntungan kepada sekelompok orang di atas kerugian sekelompok orang lain. Hukum bagi pendekatan kritik adalah cara untuk mendefinisikan dan menegakkan tertib yang menguntungkan kelompok tertentu di atas pengorbanan kelompok lain.

Baca Juga :  Fenomena Susu Beruang dan Resiliensi di Masa Pandemi

Sementara dalam pandangan Wallace dan Wolf (1980), hukum tidak dipandang sebagai norma yang berasal dari konsensus sosial, tetapi ditentukan dan dijalankan oleh kekuasaan dan substansi hukum dijelaskan dari kacamata kepentingan mereka yang berkuasa.

Ujian KPK

 

Bagi negara kekuasaan, penyimpangan dan pelanggaran oleh kelas elite kekuasaan dianggap sesuatu yang biasa karena menilai dirinya yang memiliki otoritas kekuasaan. Hukum adalah kekuasaan dan kekuasaan adalah hukum itu sendiri. Ini yang menurut Marx sebagai wajah orisinal kekuasaan negara yang sangat kapitalistik.

Hukum merupakan cerminan kepentingan kelas yang berkuasa (Sunarto, 1993). Hukum dimanfaatkan sebagai instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk mempertahankan dan mengembangkan kekuasaannya (Wignjosoebroto, 2002). Hukum adalah representasi dari kepentingan elite yang berkuasa.

Berdasar fakta-fakta di persidangan skandal bansos, ada indikasi yang mengarah pada keterlibatan orang-orang di lingkaran kekuasaan. Karena itu, dalam konteks kasus korupsi struktural, ini akan menjadi ujian dan pertaruhan bagi KPK, apakah berani dan profesional dalam menegakkan hukum tanpa tebang pilih. Ujian apakah berani dan konsisten untuk membongkar korupsi struktural ini sampai melahirkan ”big fish”.

Kasus korupsi tersebut diduga melibatkan orang-orang besar dengan kekuasaan yang besar pula. Kita berharap KPK bekerja secara profesional dan konsisten. Tidak terpengaruh dengan desakan publik atau tekanan politik dari mana pun dan siapa pun. Gebrakan KPK akan ditunggu publik, terutama terkait dengan calon tersangka lain yang berasal dari lingkaran kekuasaan. (*)

UMAR SHOLAHUDIN, Dosen Sosiologi Korupsi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, penulis buku Hukum dan Keadilan Masyarakat (2011)

NEGERI ini sepertinya sudah tersandera oleh kasus-kasus korupsi. Berbagai kasus korupsi terjadi, baik pada level pusat maupun daerah. Melibatkan pejabat pusat maupun pejabat daerah. Korupsi sudah menggurita mulai Sabang sampai Merauke.

Terkait dengan mengguritanya korupsi, Buya Syafii Maarif pernah mengatakan, ”Korupsi sudah sedemikian kuat membelenggu kita, mulai istana sampai ke kantor kelurahan, sejak bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, sejak lahir sampai meninggal. Merambah dari tempat ibadah sampai ke toilet.”

Kasus-kasus korupsi yang besar muaranya terkait dengan poros kekuasaan. Contohnya kasus megaskandal Century, BLBI, Wisma Atlet Hambalang, KTP elektronik (e-KTP), Jiwasraya, ASABRI, bansos pandemi Covid-19, dan skandal Djoko Tjandra. Selain merugikan keuangan negara ratusan triliun rupiah, juga menyengsarakan kehidupan masyarakat dan mematikan sendi-sendi kehidupan bangsa.

Yang paling tragis, hampir semua pelaku korupsi melibatkan ”segitiga emas”, yakni penguasa, pengusaha, dan politikus partai politik. Model korupsi seperti ini yang sering kita sebut sebagai korupsi struktural karena melibatkan poros-poros kekuasaan. Karena itu sulit diberantas sampai ke akar-akarnya.

 

Layak Dihukum Berat

 

Model korupsi struktural kembali terjadi dalam skandal bantuan sosial (bansos) pandemi Covid-19 yang melibatkan penguasa, politikus, dan pengusaha. Kali ini yang menjadi terdakwa adalah mantan Mensos Juliari Batubara. Dalam sidang di Pengadilan Tipikor DKI Jakarta, majelis hakim menjatuhkan vonis 12 tahun penjara kepada Juliari plus denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Dia dinyatakan terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan jumlah Rp 3,46 miliar.

Meskipun vonis itu lebih tinggi daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut 11 tahun penjara, tentu saja masih terasa sangat mengecewakan. Hal ini mengingat sejak awal Ketua KPK Firli Bahuri mengancam Juliari dengan hukuman mati.

Baca Juga :  Belajar Investasi dari Miliarder Tuban

Setidaknya ada lima alasan Juliari layak dihukum berat atau maksimal. Pertama, ketika melakukan kejahatan korupsi, Juliari adalah seorang pejabat publik. Pejabat publik yang tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi. Kedua, dalam pleidoi di persidangan, terdakwa tidak mengakui kesalahannya dan tidak merasa bersalah. Ketiga, tindak kejahatan terdakwa dilakukan dalam situasi negara sedang mengalami bencana, yakni pandemi Covid-19. Keempat, tindak kejahatan terdakwa secara jelas telah merugikan dan menyengsarakan kehidupan masyarakat, terutama masyarakat terdampak Covid-19. Kelima, vonis berat dan maksimal akan memberikan pesan yang sangat jelas kepada para pejabat negara agar tidak ”bermain api” dengan korupsi di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.

 

Seperti skandal korupsi struktural lainnya, kasus korupsi bansos pandemi Covid-19 tentu tidak mudah diusut sampai tuntas. Kita tahu kasus bansos tidak hanya melibatkan pejabat dan pengusaha, tetapi juga politikus poros kekuasaan. Korupsi struktural yang melibatkan ranah-ranah kekuasaan inilah yang menjadikan korupsi di Indonesia sulit diberantas. Banyak kepentingan politik yang bermain. Antarsimpul jaringan dan jejaring kekuasaan saling melindungi dan pasang kuda-kuda. Hanya oknum kelas teri yang dikorbankan. Namun, sumber dan akar korupsi tak pernah tersentuh.

Secara teoretis, korupsi struktural memiliki hukum kekuasaan sendiri sehingga sulit diurai dengan menggunakan hukum positif konvensional. Menurut Star dan Collier (1985), dalam pandangan paradigma hukum kritikal, hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi merupakan ”sesuatu” yang diciptakan oleh suatu badan hukum dengan tujuan memberi keuntungan kepada sekelompok orang di atas kerugian sekelompok orang lain. Hukum bagi pendekatan kritik adalah cara untuk mendefinisikan dan menegakkan tertib yang menguntungkan kelompok tertentu di atas pengorbanan kelompok lain.

Baca Juga :  Fenomena Susu Beruang dan Resiliensi di Masa Pandemi

Sementara dalam pandangan Wallace dan Wolf (1980), hukum tidak dipandang sebagai norma yang berasal dari konsensus sosial, tetapi ditentukan dan dijalankan oleh kekuasaan dan substansi hukum dijelaskan dari kacamata kepentingan mereka yang berkuasa.

Ujian KPK

 

Bagi negara kekuasaan, penyimpangan dan pelanggaran oleh kelas elite kekuasaan dianggap sesuatu yang biasa karena menilai dirinya yang memiliki otoritas kekuasaan. Hukum adalah kekuasaan dan kekuasaan adalah hukum itu sendiri. Ini yang menurut Marx sebagai wajah orisinal kekuasaan negara yang sangat kapitalistik.

Hukum merupakan cerminan kepentingan kelas yang berkuasa (Sunarto, 1993). Hukum dimanfaatkan sebagai instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk mempertahankan dan mengembangkan kekuasaannya (Wignjosoebroto, 2002). Hukum adalah representasi dari kepentingan elite yang berkuasa.

Berdasar fakta-fakta di persidangan skandal bansos, ada indikasi yang mengarah pada keterlibatan orang-orang di lingkaran kekuasaan. Karena itu, dalam konteks kasus korupsi struktural, ini akan menjadi ujian dan pertaruhan bagi KPK, apakah berani dan profesional dalam menegakkan hukum tanpa tebang pilih. Ujian apakah berani dan konsisten untuk membongkar korupsi struktural ini sampai melahirkan ”big fish”.

Kasus korupsi tersebut diduga melibatkan orang-orang besar dengan kekuasaan yang besar pula. Kita berharap KPK bekerja secara profesional dan konsisten. Tidak terpengaruh dengan desakan publik atau tekanan politik dari mana pun dan siapa pun. Gebrakan KPK akan ditunggu publik, terutama terkait dengan calon tersangka lain yang berasal dari lingkaran kekuasaan. (*)

UMAR SHOLAHUDIN, Dosen Sosiologi Korupsi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, penulis buku Hukum dan Keadilan Masyarakat (2011)

Terpopuler

Artikel Terbaru