28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Asa Reformasi DK PBB untuk Palestina

SERANGAN Israel ke Palestina terus menjatuhkan korban.
Sampai Senin (17/5), korban tewas mencapai 197 jiwa, termasuk 58 anak-anak dan
34 perempuan dengan 1.230 orang luka-luka. Tindakan Israel yang melakukan
serangan bertubi-tubi tanpa mengindahkan perikemanusiaan menuai kecaman dari
negara-negara tetangga, termasuk Turki dan Iran.

Tahun ini suara dukungan terhadap Palestina sebenarnya
tampak sumbang ketika beberapa negara di Jazirah Arab membuka hubungan
diplomatik dan perdagangan dengan Israel. Dukungan yang konsisten dan konkret
justru mengalir dari negara-negara Asia Tenggara. Senin malam (17/5) dukungan
diungkapkan Presiden Jokowi bersama dua pemimpin negara Asia Tenggara, yakni
Raja Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah dan Perdana Menteri Malaysia Tan
Muhyiddin Yassin.

Ada beberapa poin menarik dari pernyataan yang
disampaikan secara terbuka dan disebarluaskan oleh Kementerian Luar Negeri
ketiga negara. Pertama, desakan agar Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(DK PBB) segera menjamin keselamatan dan perlindungan warga sipil Palestina
dalam rangka menegakkan perdamaian internasional. Kedua, meminta Majelis Umum
PBB mengadakan sesi darurat guna membahas perkembangan dan menghasilkan
resolusi perdamaian dengan tujuan mengakhiri kekejaman yang dilakukan Israel
terhadap rakyat Palestina.

Kedua poin di atas mempertanyakan kembali kedudukan PBB
sebagai ”juru damai” dunia internasional yang berdiri sejak 24 Oktober 1945.
Terutama peran dewan keamanan yang memiliki wewenang melakukan intervensi dan
tanggung jawab untuk melindungi (R2P) dalam menangani isu-isu kemanusiaan. PBB
telah lama menerima berbagai kritik pedas, terutama terkait dengan keberpihakan
pada kekuatan-kekuatan besar yang menyokong dewan keamanan. Poin ini secara
umum dipahami sebagai salah satu faktor yang menghambat pengakuan kedaulatan
dan pengabaian terhadap krisis kemanusiaan di Palestina.

Pengakuan terhadap Negara Palestina

 

Dari sudut Palestina, perjuangan untuk memasukkan seteru
Israel ini ke dalam keanggotaan PBB dimulai jauh sebelum 1988. Pada 14 Oktober
1974, PLO mendapatkan pengakuan dalam Sidang Umum PBB sebagai perwakilan rakyat
Palestina dalam pertemuan tahunan. Sebulan berselang, PLO naik status menjadi
pengamat nonnegara untuk mengikuti semua sesi sidang.

Baca Juga :  Profil Pelajar Pancasila Lahirkan Pemuda Unggul

 

Akhir Desember 1988, PLO secara resmi digantikan dengan
panggilan ”Palestina”. Langkah konkret diwakili Presiden Mahmoud Abbas yang
mewakili PLO mengajukan Palestina sebagai anggota PBB pada 23 September 2011
dan kemudian oleh sidang umum 29 November 2012 diakui sebagai negara pengamat
nonanggota.

Sedangkan dari sudut negara-negara lain, per hari ini
(19/5) Palestina diakui 138 dari 193 atau 71,5 persen dari keseluruhan negara
anggota PBB. Pengakuan terhadap Palestina pun memiliki bentuk yang
bermacam-macam. Seperti pengakuan penuh dengan hubungan diplomatik, pengakuan
tanpa hubungan diplomatik, dan pengakuan negara terhadap Palestina ”versi”
kesepakatan 4 Juni 1967 pasca-Perang Enam Hari. Pengakuan pertama negara-negara
anggota PBB dimulai dari permintaan untuk memasukkan Palestina sebagai negara
anggota UNESCO pada November 1988 sampai Mei 1989.

Setidaknya terdapat tiga negara besar anggota tetap Dewan
Keamanan PBB yang tidak mengakui Palestina sebagai negara berdaulat: Amerika
Serikat, Inggris, dan Prancis. Disusul di belakangnya negara-negara yang
memiliki kekuatan seperti Australia, Kanada, Jerman, dan sebagian besar
negara-negara Uni Eropa. Daftar ini mengindikasikan sebuah tren dalam memandang
pengakuan Palestina akan menghalangi kepentingan negara-negara Barat. Meskipun
Perang Dingin usai pada awal 1990-an dan telah merobek tirai besi yang
memisahkan ”timur” dan ”barat”, unjuk kekuatan pemain besar dalam hubungan antarnegara
masih sangat kental.

Desakan Reformasi

Daftar negara-negara anggota PBB yang mengakui Palestina
menunjukkan bahwa Barat masih sangat berkepentingan dalam mendominasi
negara-negara Timur yang dianggap ”eksotis”. Sejumlah negara pun telah mendesak
untuk melakukan perombakan struktur dan keanggotaan DK PBB agar lebih inklusif
dan terbuka sehingga dapat terbebas dari kooptasi kepentingan Barat.

Baca Juga :  Sudahkah Lima Sila Itu Terimplementasi dengan Benar?

Dari Indonesia, Presiden Soekarno sejak lama
melakukannya. Melalui pidato berjudul To Build the World Anew pada 1960, ia
telah memasukkan kritik bahwa keanggotaan DK PBB harus menyesuaikan konteks
zaman. Hal ini juga sejalan dengan langkah-langkah diplomasi Indonesia dalam
memperkuat solidaritas Asia-Afrika melalui Deklarasi Bandung 1955 dan diwujudkan
melalui Gerakan Nonblok.

Presiden Abdurrahman Wahid pernah memberikan pernyataan
lewat media pada 2001 bahwa PBB terlalu disetir kepentingan AS. Dengan kondisi
itu, tentu saja PBB akan lebih berpihak pada Israel saat berbicara mengenai
nasib rakyat Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Desakan reformasi PBB kali terakhir disampaikan Presiden
Joko Widodo pada 23 September 2020, ketika Indonesia masih duduk sebagai
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Pada waktu itu, Jokowi juga mengkritik
bahwa PBB harus lebih responsif dan efektif dalam menyelesaikan tantangan
global sesuai dengan Piagam PBB yang tidak lagi diindahkan. Desakan senada
dilakukan pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan dari seluruh dunia tanpa
diindahkan dengan baik.

Pada akhirnya, upaya kecam-mengecam yang sampai sejauh ini
dilakukan berbagai pihak secara luas terancam akan tetap jalan di tempat saja.
Kecuali bila sistem di dunia internasional bisa didorong untuk berubah agar
semakin mengakomodasi kekuatan yang lebih inklusif di Dewan Keamanan PBB.
Begitu pula dengan proses perdamaian di Palestina. (*)

*) Probo Darono Yakti, Dosen Hubungan Internasional UPN
Veteran Jawa Timur, pengamat Timur Tengah di Stratagem Indonesia

SERANGAN Israel ke Palestina terus menjatuhkan korban.
Sampai Senin (17/5), korban tewas mencapai 197 jiwa, termasuk 58 anak-anak dan
34 perempuan dengan 1.230 orang luka-luka. Tindakan Israel yang melakukan
serangan bertubi-tubi tanpa mengindahkan perikemanusiaan menuai kecaman dari
negara-negara tetangga, termasuk Turki dan Iran.

Tahun ini suara dukungan terhadap Palestina sebenarnya
tampak sumbang ketika beberapa negara di Jazirah Arab membuka hubungan
diplomatik dan perdagangan dengan Israel. Dukungan yang konsisten dan konkret
justru mengalir dari negara-negara Asia Tenggara. Senin malam (17/5) dukungan
diungkapkan Presiden Jokowi bersama dua pemimpin negara Asia Tenggara, yakni
Raja Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah dan Perdana Menteri Malaysia Tan
Muhyiddin Yassin.

Ada beberapa poin menarik dari pernyataan yang
disampaikan secara terbuka dan disebarluaskan oleh Kementerian Luar Negeri
ketiga negara. Pertama, desakan agar Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(DK PBB) segera menjamin keselamatan dan perlindungan warga sipil Palestina
dalam rangka menegakkan perdamaian internasional. Kedua, meminta Majelis Umum
PBB mengadakan sesi darurat guna membahas perkembangan dan menghasilkan
resolusi perdamaian dengan tujuan mengakhiri kekejaman yang dilakukan Israel
terhadap rakyat Palestina.

Kedua poin di atas mempertanyakan kembali kedudukan PBB
sebagai ”juru damai” dunia internasional yang berdiri sejak 24 Oktober 1945.
Terutama peran dewan keamanan yang memiliki wewenang melakukan intervensi dan
tanggung jawab untuk melindungi (R2P) dalam menangani isu-isu kemanusiaan. PBB
telah lama menerima berbagai kritik pedas, terutama terkait dengan keberpihakan
pada kekuatan-kekuatan besar yang menyokong dewan keamanan. Poin ini secara
umum dipahami sebagai salah satu faktor yang menghambat pengakuan kedaulatan
dan pengabaian terhadap krisis kemanusiaan di Palestina.

Pengakuan terhadap Negara Palestina

 

Dari sudut Palestina, perjuangan untuk memasukkan seteru
Israel ini ke dalam keanggotaan PBB dimulai jauh sebelum 1988. Pada 14 Oktober
1974, PLO mendapatkan pengakuan dalam Sidang Umum PBB sebagai perwakilan rakyat
Palestina dalam pertemuan tahunan. Sebulan berselang, PLO naik status menjadi
pengamat nonnegara untuk mengikuti semua sesi sidang.

Baca Juga :  Profil Pelajar Pancasila Lahirkan Pemuda Unggul

 

Akhir Desember 1988, PLO secara resmi digantikan dengan
panggilan ”Palestina”. Langkah konkret diwakili Presiden Mahmoud Abbas yang
mewakili PLO mengajukan Palestina sebagai anggota PBB pada 23 September 2011
dan kemudian oleh sidang umum 29 November 2012 diakui sebagai negara pengamat
nonanggota.

Sedangkan dari sudut negara-negara lain, per hari ini
(19/5) Palestina diakui 138 dari 193 atau 71,5 persen dari keseluruhan negara
anggota PBB. Pengakuan terhadap Palestina pun memiliki bentuk yang
bermacam-macam. Seperti pengakuan penuh dengan hubungan diplomatik, pengakuan
tanpa hubungan diplomatik, dan pengakuan negara terhadap Palestina ”versi”
kesepakatan 4 Juni 1967 pasca-Perang Enam Hari. Pengakuan pertama negara-negara
anggota PBB dimulai dari permintaan untuk memasukkan Palestina sebagai negara
anggota UNESCO pada November 1988 sampai Mei 1989.

Setidaknya terdapat tiga negara besar anggota tetap Dewan
Keamanan PBB yang tidak mengakui Palestina sebagai negara berdaulat: Amerika
Serikat, Inggris, dan Prancis. Disusul di belakangnya negara-negara yang
memiliki kekuatan seperti Australia, Kanada, Jerman, dan sebagian besar
negara-negara Uni Eropa. Daftar ini mengindikasikan sebuah tren dalam memandang
pengakuan Palestina akan menghalangi kepentingan negara-negara Barat. Meskipun
Perang Dingin usai pada awal 1990-an dan telah merobek tirai besi yang
memisahkan ”timur” dan ”barat”, unjuk kekuatan pemain besar dalam hubungan antarnegara
masih sangat kental.

Desakan Reformasi

Daftar negara-negara anggota PBB yang mengakui Palestina
menunjukkan bahwa Barat masih sangat berkepentingan dalam mendominasi
negara-negara Timur yang dianggap ”eksotis”. Sejumlah negara pun telah mendesak
untuk melakukan perombakan struktur dan keanggotaan DK PBB agar lebih inklusif
dan terbuka sehingga dapat terbebas dari kooptasi kepentingan Barat.

Baca Juga :  Sudahkah Lima Sila Itu Terimplementasi dengan Benar?

Dari Indonesia, Presiden Soekarno sejak lama
melakukannya. Melalui pidato berjudul To Build the World Anew pada 1960, ia
telah memasukkan kritik bahwa keanggotaan DK PBB harus menyesuaikan konteks
zaman. Hal ini juga sejalan dengan langkah-langkah diplomasi Indonesia dalam
memperkuat solidaritas Asia-Afrika melalui Deklarasi Bandung 1955 dan diwujudkan
melalui Gerakan Nonblok.

Presiden Abdurrahman Wahid pernah memberikan pernyataan
lewat media pada 2001 bahwa PBB terlalu disetir kepentingan AS. Dengan kondisi
itu, tentu saja PBB akan lebih berpihak pada Israel saat berbicara mengenai
nasib rakyat Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Desakan reformasi PBB kali terakhir disampaikan Presiden
Joko Widodo pada 23 September 2020, ketika Indonesia masih duduk sebagai
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Pada waktu itu, Jokowi juga mengkritik
bahwa PBB harus lebih responsif dan efektif dalam menyelesaikan tantangan
global sesuai dengan Piagam PBB yang tidak lagi diindahkan. Desakan senada
dilakukan pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan dari seluruh dunia tanpa
diindahkan dengan baik.

Pada akhirnya, upaya kecam-mengecam yang sampai sejauh ini
dilakukan berbagai pihak secara luas terancam akan tetap jalan di tempat saja.
Kecuali bila sistem di dunia internasional bisa didorong untuk berubah agar
semakin mengakomodasi kekuatan yang lebih inklusif di Dewan Keamanan PBB.
Begitu pula dengan proses perdamaian di Palestina. (*)

*) Probo Darono Yakti, Dosen Hubungan Internasional UPN
Veteran Jawa Timur, pengamat Timur Tengah di Stratagem Indonesia

Terpopuler

Artikel Terbaru