30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Mencermati Diskon Besar Hukuman Jaksa Pinangki

KITA sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Karena itu perlu dihadapi dan ditangani dengan cara-cara yang luar biasa (extrajudicial action) pula. Perlakuan dan penanganan hukumnya pun harus dengan tindakan yang tegas dan berani dari para aparatur penegak hukumnya.

Namun, dalam kenyataannya, semangat pemberantasan korupsi tidak dibarengi dengan semangat pemidanaan yang maksimal dari lembaga peradilan terhadap para koruptor. Hal ini bisa dilihat dari semakin menggejalanya vonis ringan dan atau bebas terhadap para terpidana korupsi.

Di tengah gencar-gencarnya kita bersemangat memberantas korupsi, justru para penegak hukum dengan mudah mengobral vonis ringan dan bahkan vonis bebas terhadap para terdakwa korupsi. Yang terbaru adalah kasus mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding yang diajukan Pinangki dengan memotong hukuman dari sebelumnya sepuluh tahun menjadi empat tahun penjara dalam kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang dalam kasus korupsi Djoko Tjandra. Dalam pertimbangan hakim, alasan Pinangki mendapat diskon besar karena selain telah mengakui kesalahan, juga karena dia adalah seorang ibu yang memiliki seorang anak yang berumur 4 tahun.

 

Melukai Rasa Keadilan

Jika dibandingkan dengan uang yang dikorupsi sebesar Rp 1,5 miliar dan hasil pencucian uang yang cukup besar, dengan vonis hakim empat tahun, menurut hemat penulis, itu sangat tidak adil dan melukai rasa keadilan masyarakat. Korupsinya miliaran, tapi vonisnya sangat ringan. Antara vonis dengan uang yang diterima dan tindakan kejahatan yang dilakukan sangat tidak sebanding.

Mestinya Pinangki mendapatkan vonis hukuman penjara yang lebih maksimal. Selain karena tingkat kejahatannya sangat besar (konspirasi dengan koruptor), Pinangki adalah seorang pejabat tinggi negara/penegak hukum. Vonis empat tahun dipotong masa tahanan tentu sangat ringan untuk kasus korupsi. Jika setahun dapat remisi 2–3 kali, kurang lebih hanya setahun si koruptor mendekam di penjara.

Baca Juga :  Fenomena Susu Beruang dan Resiliensi di Masa Pandemi

Vonis sangat ringan atau bebasnya tersangka korupsi miliaran rupiah tersebut tidak hanya melukai rasa keadilan masyarakat, tapi juga melawan arus dan semangat pemberantasan korupsi. Inilah gambaran jika kasus korupsi itu menimpa para pejabat, hukum begitu tumpul menjeratnya. Para pejabat berpotensi mendapat vonis bebas atau sangat ringan. Sementara jika kasus pidana lain menimpa orang kecil, hukum begitu kerasnya. Penegakan hukum bagaikan sebilah pedang yang tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.

Munculnya putusan lembaga pengadilan yang tidak adil dan melukai rasa keadilan masyarakat dalam penanganan kasus korupsi disebabkan adanya para pihak yang berusaha mencari celah-celah hukum dan menghalalkan berbagai cara untuk memengaruhi perkara di pengadilan. Sehingga praktik suap, sogok, dan ”main mata” bukan lagi sesuatu yang rahasia di dunia peradilan kita. Ada potensi terjadinya judicial corruption, yakni kebanyakan terdakwa berhasil membeli para penegak hukum (terutama hakim) sehingga putusannya sangat menguntungkan terdakwa (Maraks dan ICW, 2004). Praktik mafia hukum dan peradilan ini seperti kentut: baunya terasa ke mana-mana, tapi sulit dibuktikan.

Menurut pakar hukum pidana UI Harkristuti Harkrisnowo (2004:4), kondisi semacam itu disebabkan sejumlah hal. Pertama, si koruptor sangat canggih dan mafhum dengan legal jargon dan trik di Indonesia sehingga mampu mengelabui perilaku koruptifnya dari jerat hukum. Kedua, para jaksa selaku penyidik dan penuntut umum kurang bersemangat, serius, dan canggih dalam melakukan investigasi serta menyusun surat dakwaan yang layak untuk diajukan ke pengadilan. Ketiga, bukti-bukti sahih yang diperlukan jaksa penuntut umum (JPU) untuk menyeret pelaku korupsi ke pengadilan sangat sulit ditemukan. Selain itu, para hakim tipikor tidak memiliki semangat dan keberanian antikorupsi sehingga mengakibatkan terdakwa korupsi divonis sangat ringan, bahkan bebas.

Baca Juga :  Pandemi dan Transformasi Pascakrisis

Korupsi sebagai kejahatan luar biasa selayaknya ditangani pula dengan cara yang luar biasa. Lembaga peradilan sebagai benteng terakhir bagi upaya pemberantasan korupsi seharusnya memiliki hakim-hakim yang berpikir progresif. Untuk perkara korupsi, hakim semestinya tidak lagi hanya bersandar pada teks formal semata, tetapi juga selalu menimbang kemanfaatan dan rasa keadilan masyarakat. Teks hukum formal di tangan hakim yang progresif hanyalah dijadikan semacam guide dan bukanlah satu-satunya alat untuk mengambil putusan hukum.

Untuk perkara korupsi, kita sungguh membutuhkan para penegak hukum yang berpikir progresif. Progresivitas hukum dari hakim sebenarnya bisa dilakukan dengan menghayati spirit normatif yang ada dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 5 ayat (1) disebutkan, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat. Karena itu, para pengadil tidak hanya dituntut untuk memiliki kecakapan dan pengetahuan hukum yang cukup, tapi juga skill, kreativitas, dan terobosan hukum yang positif yang berdampak pada keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.

Sementara itu, menurut Satjipto Rahardjo (2008:147), dalam suasana terimpit oleh karut-marut kehidupan berhukum kita (praktik-praktik korup) yang menggerogoti bangsa, mengapa kita tidak berani mencari jalan lain? Di sinilah kita memilih pengadilan progresif dengan hakim-hakim partisan. Hakim seperti itu tidak datang dengan semangat kosong, tetapi penuh determinasi, komitmen, dan dare (keberanian) untuk mengalahkan korupsi.

Jika hakim-hakim liberal ”tidak berhasil” memberantas korupsi, kini saatnya memilih ”hakim partisan dan progresif”. Inilah pilihan Indonesia bangun dari keterpurukan hukum. Pendekatan hukum progresif lebih mendekatkan pada keadilan dan kebenaran yang substantif. (*)

KITA sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Karena itu perlu dihadapi dan ditangani dengan cara-cara yang luar biasa (extrajudicial action) pula. Perlakuan dan penanganan hukumnya pun harus dengan tindakan yang tegas dan berani dari para aparatur penegak hukumnya.

Namun, dalam kenyataannya, semangat pemberantasan korupsi tidak dibarengi dengan semangat pemidanaan yang maksimal dari lembaga peradilan terhadap para koruptor. Hal ini bisa dilihat dari semakin menggejalanya vonis ringan dan atau bebas terhadap para terpidana korupsi.

Di tengah gencar-gencarnya kita bersemangat memberantas korupsi, justru para penegak hukum dengan mudah mengobral vonis ringan dan bahkan vonis bebas terhadap para terdakwa korupsi. Yang terbaru adalah kasus mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding yang diajukan Pinangki dengan memotong hukuman dari sebelumnya sepuluh tahun menjadi empat tahun penjara dalam kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang dalam kasus korupsi Djoko Tjandra. Dalam pertimbangan hakim, alasan Pinangki mendapat diskon besar karena selain telah mengakui kesalahan, juga karena dia adalah seorang ibu yang memiliki seorang anak yang berumur 4 tahun.

 

Melukai Rasa Keadilan

Jika dibandingkan dengan uang yang dikorupsi sebesar Rp 1,5 miliar dan hasil pencucian uang yang cukup besar, dengan vonis hakim empat tahun, menurut hemat penulis, itu sangat tidak adil dan melukai rasa keadilan masyarakat. Korupsinya miliaran, tapi vonisnya sangat ringan. Antara vonis dengan uang yang diterima dan tindakan kejahatan yang dilakukan sangat tidak sebanding.

Mestinya Pinangki mendapatkan vonis hukuman penjara yang lebih maksimal. Selain karena tingkat kejahatannya sangat besar (konspirasi dengan koruptor), Pinangki adalah seorang pejabat tinggi negara/penegak hukum. Vonis empat tahun dipotong masa tahanan tentu sangat ringan untuk kasus korupsi. Jika setahun dapat remisi 2–3 kali, kurang lebih hanya setahun si koruptor mendekam di penjara.

Baca Juga :  Fenomena Susu Beruang dan Resiliensi di Masa Pandemi

Vonis sangat ringan atau bebasnya tersangka korupsi miliaran rupiah tersebut tidak hanya melukai rasa keadilan masyarakat, tapi juga melawan arus dan semangat pemberantasan korupsi. Inilah gambaran jika kasus korupsi itu menimpa para pejabat, hukum begitu tumpul menjeratnya. Para pejabat berpotensi mendapat vonis bebas atau sangat ringan. Sementara jika kasus pidana lain menimpa orang kecil, hukum begitu kerasnya. Penegakan hukum bagaikan sebilah pedang yang tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.

Munculnya putusan lembaga pengadilan yang tidak adil dan melukai rasa keadilan masyarakat dalam penanganan kasus korupsi disebabkan adanya para pihak yang berusaha mencari celah-celah hukum dan menghalalkan berbagai cara untuk memengaruhi perkara di pengadilan. Sehingga praktik suap, sogok, dan ”main mata” bukan lagi sesuatu yang rahasia di dunia peradilan kita. Ada potensi terjadinya judicial corruption, yakni kebanyakan terdakwa berhasil membeli para penegak hukum (terutama hakim) sehingga putusannya sangat menguntungkan terdakwa (Maraks dan ICW, 2004). Praktik mafia hukum dan peradilan ini seperti kentut: baunya terasa ke mana-mana, tapi sulit dibuktikan.

Menurut pakar hukum pidana UI Harkristuti Harkrisnowo (2004:4), kondisi semacam itu disebabkan sejumlah hal. Pertama, si koruptor sangat canggih dan mafhum dengan legal jargon dan trik di Indonesia sehingga mampu mengelabui perilaku koruptifnya dari jerat hukum. Kedua, para jaksa selaku penyidik dan penuntut umum kurang bersemangat, serius, dan canggih dalam melakukan investigasi serta menyusun surat dakwaan yang layak untuk diajukan ke pengadilan. Ketiga, bukti-bukti sahih yang diperlukan jaksa penuntut umum (JPU) untuk menyeret pelaku korupsi ke pengadilan sangat sulit ditemukan. Selain itu, para hakim tipikor tidak memiliki semangat dan keberanian antikorupsi sehingga mengakibatkan terdakwa korupsi divonis sangat ringan, bahkan bebas.

Baca Juga :  Pandemi dan Transformasi Pascakrisis

Korupsi sebagai kejahatan luar biasa selayaknya ditangani pula dengan cara yang luar biasa. Lembaga peradilan sebagai benteng terakhir bagi upaya pemberantasan korupsi seharusnya memiliki hakim-hakim yang berpikir progresif. Untuk perkara korupsi, hakim semestinya tidak lagi hanya bersandar pada teks formal semata, tetapi juga selalu menimbang kemanfaatan dan rasa keadilan masyarakat. Teks hukum formal di tangan hakim yang progresif hanyalah dijadikan semacam guide dan bukanlah satu-satunya alat untuk mengambil putusan hukum.

Untuk perkara korupsi, kita sungguh membutuhkan para penegak hukum yang berpikir progresif. Progresivitas hukum dari hakim sebenarnya bisa dilakukan dengan menghayati spirit normatif yang ada dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 5 ayat (1) disebutkan, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat. Karena itu, para pengadil tidak hanya dituntut untuk memiliki kecakapan dan pengetahuan hukum yang cukup, tapi juga skill, kreativitas, dan terobosan hukum yang positif yang berdampak pada keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.

Sementara itu, menurut Satjipto Rahardjo (2008:147), dalam suasana terimpit oleh karut-marut kehidupan berhukum kita (praktik-praktik korup) yang menggerogoti bangsa, mengapa kita tidak berani mencari jalan lain? Di sinilah kita memilih pengadilan progresif dengan hakim-hakim partisan. Hakim seperti itu tidak datang dengan semangat kosong, tetapi penuh determinasi, komitmen, dan dare (keberanian) untuk mengalahkan korupsi.

Jika hakim-hakim liberal ”tidak berhasil” memberantas korupsi, kini saatnya memilih ”hakim partisan dan progresif”. Inilah pilihan Indonesia bangun dari keterpurukan hukum. Pendekatan hukum progresif lebih mendekatkan pada keadilan dan kebenaran yang substantif. (*)

Terpopuler

Artikel Terbaru