33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Mengapa Harus Blusukan?

SETELAH dilantik sebagai menteri sosial, Tri Rismaharini
atau yang lebih dikenal dengan Risma langsung tancap gas dalam bekerja. Dia
blusukan untuk melihat kondisi sosial masyarakat secara langsung. Dimulai dari
blusukan di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, selanjutnya dirutinkan blusukan ke
berbagai tempat, terutama di Jakarta. Sasarannya penghuni kolong jembatan yang
didiami para pemulung, gelandangan, dan tunawisma.

Dalam setiap blusukannya, Risma selalu berjanji
memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup para pemulung dan gelandangan.
Kolong-kolong jembatan yang menjadi tempat tinggal yang biasanya pengap, bau,
dan gelap disebut akan diubah menjadi tempat yang menyenangkan. Seperti
Terowongan Kendal yang ada di Menteng, Jakarta.

Lantas sampai kapan Risma akan melakukan blusukan?
Akankah blusukan dilakukan sebatas di Jakarta, padahal dia menteri sosial
Republik Indonesia. Bila blusukan dijadikan gaya bekerjanya atau solusi jitu
untuk langsung mengentaskan masalah sosial di masyarakat, pastinya Risma harus
melakukan blusukan dari Sabang sampai Merauke dan dari Talaud hingga Pulau
Rote.

Blusukan ke seluruh Indonesia tentu tidak mungkin. Sebab,
tugas menteri sosial bukan itu saja. Masih banyak tugas lain yang harus
dilakukan selain membantu para gelandangan, pemulung, dan tunawisma yang
tinggal di kolong-kolong jembatan atau tempat-tempat yang tidak layak.

Mudah-mudahan apa yang dilakukan Risma tidak sekadar jadi
pembuka di awal dirinya menjadi menteri sosial dan selanjutnya dia hanya
bertugas menjadi menteri seperti biasanya. Apalagi, jabatan-jabatan menteri
sekarang banyak godaannya. Terbukti, sudah banyak menteri yang tertangkap KPK
meski di awal kerja mereka bagus, prorakyat, dan antikorupsi.

Blusukan memang menjadi cara ampuh untuk mengetahui
kondisi masyarakat sesunguhnya. Dulu khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq kerap
melakukan blusukan secara diam-diam untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Pernah
dijumpai di satu keluarga, mereka kekurangan makanan. Mengetahui hal itu, Abu
Bakar langsung memanggul sendiri bahan pangan untuk diberikan kepada keluarga
tersebut.

Baca Juga :  Tiongkok, Antara Bisnis dan Ideologi

Meski tidak semua, sekarang blusukan seolah-olah
dijadikan gaya kerja kepala daerah, menteri, presiden, dan wakil rakyat. Namun,
yang menjadi pertanyaan, blusukan yang dilakukan itu selintas atau konsisten?
Yang selintas, misalnya, kepala daerah yang biasanya tidak pernah blusukan,
tapi karena blusukan menjadi tren, tiba-tiba di tengah malam dia melakukan
sidak di tempat layanan kerja yang wajib melayani masyarakat 24 jam. Namun,
setelah itu dia tidak pernah lagi melakukan blusukan di tempat lain.

Dari sinilah, ketika blusukan dilakukan secara
serampangan atau pemanasan saja di awal kerja, justru ia menjadi sesuatu yang
dicurigai, yakni mencari citra. Mencari citra untuk meningkatkan elektabilitas
dan popularitas untuk pilkada selanjutnya atau bahkan pilpres.

Apa faktor penting dan tidaknya blusukan layak dan tidak
untuk dilakukan? Pertama, daerah kerjanya ”ada batasnya”. Dulu ada wali kota
yang rajin blusukan dengan sukses. Hal demikian bisa terjadi karena dia
memiliki wilayah yang terbatas. Wilayah yang terbatas itu seperti kabupaten dan
kota (di Jawa) sehingga dengan wilayah itu dirinya bisa menjangkau tempat-tempat
yang ada secara cepat dan dapat ditempuh dalam waktu singkat.

Akan sulit bila melakukan blusukan di suatu wilayah yang
sangat luas. Kabupaten dan kota di luar Jawa adalah daerah yang memiliki luas
berlipat-lipat dibanding kabupaten yang ada di Jawa. Satu kecamatan di
kabupaten yang berada di Kalimantan Timur, misalnya, luasnya bisa satu
kabupaten di Jawa. Hal demikian akan menyulitkan bila kepala daerahnya suka
melakukan blusukan setiap hari.

Kedua, ini yang tidak disadari oleh semua, bila pemimpin
sering melakukan blusukan, sebenarnya di tempat itu banyak masalah. Seperti
kemacetan, pedagang kaki lima yang berjualan tidak pada tempatnya, banjir,
kemiskinan, perumahan kumuh, kurang sadarnya masyarakat akan hukum, serta
masalah-masalah sosial dan ekonomi lainnya. Akibat masalah-masalah tersebut,
daerah itu menjadi wilayah yang tidak nyaman dan aman.

Baca Juga :  Mencermati Investasi Aset Kripto

Di sinilah memang perlu sosok kepala daerah yang suka
blusukan. Namun, blusukan yang dilakukan jangan sebatas datang dan melihat
tanpa memberikan solusi atau perubahan setelah dirinya melakukan blusukan.
Blusukan akan mempunyai arti bila tindakan yang dilakukan itu mampu mengubah
daerah yang sebelumnya macet menjadi lancar dan tertib lalu lintas. Mampu
mengubah daerah yang awalnya kumuh menjadi indah. Dan paling penting mampu
meningkatkan kesejahteraan, keamanan, dan kenyamanan masyarakat yang mendiami.

Ketiga, ada saluran-saluran komunikasi yang mampet di
pemerintahan. Di struktur pemerintahan, presiden dan kepala daerah pasti
mempunyai bawahan. Presiden memiliki pembantu atau menteri. Menteri memiliki
banyak direktur jenderal atau kepala biro. Kepala daerah dibantu para kepala
dinas, unit-unit yang lain, bahkan sampai camat hingga lurah/kepala desa.

Namun, entah bawahannya itu dalam melapor tidak lengkap
atau asal bapak senang (ABS), hal demikian membuat antara laporan kinerja dan
fakta di lapangan berbeda. Nah, di sinilah kadang-kadang pemimpin kaget saat
laporan-laporan yang disampaikan bawahannya bagus-bagus, tapi wilayahnya tidak
maju-maju atau tidak sejahtera-sejahtera.

Dalam kondisi seperti itu, diperlukan sosok pemimpin yang
suka blusukan. Tujuannya ialah mengecek langsung fakta di lapangan dan
data-data yang disampaikan bawahannya. Blusukan dilakukan untuk melihat apa
yang terjadi di masyarakat yang sesungguhnya. Namun, seperti paparan di atas,
apa yang dilakukan harus mampu memberikan perubahan dan peningkatan
kesejahteraan kepada masyarakat. (*)



Penulis  Direktur
Indonesia Political Review (IPR)

SETELAH dilantik sebagai menteri sosial, Tri Rismaharini
atau yang lebih dikenal dengan Risma langsung tancap gas dalam bekerja. Dia
blusukan untuk melihat kondisi sosial masyarakat secara langsung. Dimulai dari
blusukan di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, selanjutnya dirutinkan blusukan ke
berbagai tempat, terutama di Jakarta. Sasarannya penghuni kolong jembatan yang
didiami para pemulung, gelandangan, dan tunawisma.

Dalam setiap blusukannya, Risma selalu berjanji
memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup para pemulung dan gelandangan.
Kolong-kolong jembatan yang menjadi tempat tinggal yang biasanya pengap, bau,
dan gelap disebut akan diubah menjadi tempat yang menyenangkan. Seperti
Terowongan Kendal yang ada di Menteng, Jakarta.

Lantas sampai kapan Risma akan melakukan blusukan?
Akankah blusukan dilakukan sebatas di Jakarta, padahal dia menteri sosial
Republik Indonesia. Bila blusukan dijadikan gaya bekerjanya atau solusi jitu
untuk langsung mengentaskan masalah sosial di masyarakat, pastinya Risma harus
melakukan blusukan dari Sabang sampai Merauke dan dari Talaud hingga Pulau
Rote.

Blusukan ke seluruh Indonesia tentu tidak mungkin. Sebab,
tugas menteri sosial bukan itu saja. Masih banyak tugas lain yang harus
dilakukan selain membantu para gelandangan, pemulung, dan tunawisma yang
tinggal di kolong-kolong jembatan atau tempat-tempat yang tidak layak.

Mudah-mudahan apa yang dilakukan Risma tidak sekadar jadi
pembuka di awal dirinya menjadi menteri sosial dan selanjutnya dia hanya
bertugas menjadi menteri seperti biasanya. Apalagi, jabatan-jabatan menteri
sekarang banyak godaannya. Terbukti, sudah banyak menteri yang tertangkap KPK
meski di awal kerja mereka bagus, prorakyat, dan antikorupsi.

Blusukan memang menjadi cara ampuh untuk mengetahui
kondisi masyarakat sesunguhnya. Dulu khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq kerap
melakukan blusukan secara diam-diam untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Pernah
dijumpai di satu keluarga, mereka kekurangan makanan. Mengetahui hal itu, Abu
Bakar langsung memanggul sendiri bahan pangan untuk diberikan kepada keluarga
tersebut.

Baca Juga :  Tiongkok, Antara Bisnis dan Ideologi

Meski tidak semua, sekarang blusukan seolah-olah
dijadikan gaya kerja kepala daerah, menteri, presiden, dan wakil rakyat. Namun,
yang menjadi pertanyaan, blusukan yang dilakukan itu selintas atau konsisten?
Yang selintas, misalnya, kepala daerah yang biasanya tidak pernah blusukan,
tapi karena blusukan menjadi tren, tiba-tiba di tengah malam dia melakukan
sidak di tempat layanan kerja yang wajib melayani masyarakat 24 jam. Namun,
setelah itu dia tidak pernah lagi melakukan blusukan di tempat lain.

Dari sinilah, ketika blusukan dilakukan secara
serampangan atau pemanasan saja di awal kerja, justru ia menjadi sesuatu yang
dicurigai, yakni mencari citra. Mencari citra untuk meningkatkan elektabilitas
dan popularitas untuk pilkada selanjutnya atau bahkan pilpres.

Apa faktor penting dan tidaknya blusukan layak dan tidak
untuk dilakukan? Pertama, daerah kerjanya ”ada batasnya”. Dulu ada wali kota
yang rajin blusukan dengan sukses. Hal demikian bisa terjadi karena dia
memiliki wilayah yang terbatas. Wilayah yang terbatas itu seperti kabupaten dan
kota (di Jawa) sehingga dengan wilayah itu dirinya bisa menjangkau tempat-tempat
yang ada secara cepat dan dapat ditempuh dalam waktu singkat.

Akan sulit bila melakukan blusukan di suatu wilayah yang
sangat luas. Kabupaten dan kota di luar Jawa adalah daerah yang memiliki luas
berlipat-lipat dibanding kabupaten yang ada di Jawa. Satu kecamatan di
kabupaten yang berada di Kalimantan Timur, misalnya, luasnya bisa satu
kabupaten di Jawa. Hal demikian akan menyulitkan bila kepala daerahnya suka
melakukan blusukan setiap hari.

Kedua, ini yang tidak disadari oleh semua, bila pemimpin
sering melakukan blusukan, sebenarnya di tempat itu banyak masalah. Seperti
kemacetan, pedagang kaki lima yang berjualan tidak pada tempatnya, banjir,
kemiskinan, perumahan kumuh, kurang sadarnya masyarakat akan hukum, serta
masalah-masalah sosial dan ekonomi lainnya. Akibat masalah-masalah tersebut,
daerah itu menjadi wilayah yang tidak nyaman dan aman.

Baca Juga :  Mencermati Investasi Aset Kripto

Di sinilah memang perlu sosok kepala daerah yang suka
blusukan. Namun, blusukan yang dilakukan jangan sebatas datang dan melihat
tanpa memberikan solusi atau perubahan setelah dirinya melakukan blusukan.
Blusukan akan mempunyai arti bila tindakan yang dilakukan itu mampu mengubah
daerah yang sebelumnya macet menjadi lancar dan tertib lalu lintas. Mampu
mengubah daerah yang awalnya kumuh menjadi indah. Dan paling penting mampu
meningkatkan kesejahteraan, keamanan, dan kenyamanan masyarakat yang mendiami.

Ketiga, ada saluran-saluran komunikasi yang mampet di
pemerintahan. Di struktur pemerintahan, presiden dan kepala daerah pasti
mempunyai bawahan. Presiden memiliki pembantu atau menteri. Menteri memiliki
banyak direktur jenderal atau kepala biro. Kepala daerah dibantu para kepala
dinas, unit-unit yang lain, bahkan sampai camat hingga lurah/kepala desa.

Namun, entah bawahannya itu dalam melapor tidak lengkap
atau asal bapak senang (ABS), hal demikian membuat antara laporan kinerja dan
fakta di lapangan berbeda. Nah, di sinilah kadang-kadang pemimpin kaget saat
laporan-laporan yang disampaikan bawahannya bagus-bagus, tapi wilayahnya tidak
maju-maju atau tidak sejahtera-sejahtera.

Dalam kondisi seperti itu, diperlukan sosok pemimpin yang
suka blusukan. Tujuannya ialah mengecek langsung fakta di lapangan dan
data-data yang disampaikan bawahannya. Blusukan dilakukan untuk melihat apa
yang terjadi di masyarakat yang sesungguhnya. Namun, seperti paparan di atas,
apa yang dilakukan harus mampu memberikan perubahan dan peningkatan
kesejahteraan kepada masyarakat. (*)



Penulis  Direktur
Indonesia Political Review (IPR)

Terpopuler

Artikel Terbaru