28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Perokok Dianggap Penyebab Defisit BPJS Kesehatan

MENURUT hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
Mei lalu, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 9,1 triliun. Dan yang dianggap
sebagai salah satu penyebab utama defisit BPJS Kesehatan itu adalah perokok.

Salah satu penyebabnya karena
pembiayaan penyakit katastropik. Rokok menjadi penyebab penyakit katastropik
seperti jantung, stroke, dan kanker.

Menurut data BPJS Kesehatan
hingga Maret tahun ini, untuk pembiayaan pasien jantung sudah mencapai Rp 2,8
triliun. Sedangkan kanker dan stroke menjadi beban ketiga dan keempat dengan
masing-masing total pembiayaan mencapai Rp 1 triliun dan Rp 699 miliar.

Kepala Humas BPJS Kesehatan M
Iqbal Anas membenarkan bahwa pembiayaan penyakit katastropik cukup besar. Tahun
lalu, total pembiayaan 8 penyakit katastropik mencapai Rp 20,4 triliun.

Baca Juga :  2 Tangki Berhasil Dipadamkan, 2 Lainnya Masih Membara

Ketua Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (PDPI) dr Agus Dwi Susanto SpP(K) menyatakan bahwa kanker paru
menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia. Pada tahun lalu saja ada 1,8 juta
jiwa yang meninggal karena penyakit tersebut.

“Data World Health Organization
(WHO) di 2018 memperlihatkan bahwa rokok merupakan penyebab utama dari kanker
paru-paru, dan berkontribusi lebih dari 2/3 kematian terkait kanker paru-paru
secara global,” ungkapnya (26/6).

Selain kanker paru, perokok juga
memiliki risiko terancam penyakit kanker 13 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan non-perokok.

Pakar Kesehatan Publik dan Ketua
Perkumpulan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (PAMJAKI)
dr Rosa Christiana Ginting menyatakan alternatif solusi bagi para perokok masih
sangat terbatas. ”Melihat kondisi BPJS Kesehatan saat ini, kebijakan yang
efektif sangat diperlukan untuk mengurangi angka perokok di Indonesia,”
tuturnya.

Baca Juga :  Walhi Diminta Setop Memprovokasi Warga

Sebenarnya, Kementerian Kesehatan
telah mengeluarkan berbagai program untuk mengurangi prevalensi merokok di
Indonesia. Misalnya saja hotlinetelepon untuk konsultasi bagi para perokok yang
ingin berhenti. Selain itu juga membentuk komunitas berhenti merokok yang
difasilitasi oleh berbagai klinik dan rumah sakit.

Sayangnya implementasi program
tersebut masih jauh dari ideal. Pada 2018, WHO melaporkan bahwa terdapat 30,4
persen perokok Indonesia yang berusaha berhenti merokok, namun hanya 9,4 persen
di antaranya yang berhasil.

“Untuk itu, sekarang adalah waktu
yang tepat bagi Indonesia untuk memulai penelitian lokal sebagai solusi
alternatif untuk mengurangi angka perokok,” bebernya. (lyn/aci/jpg/kpc)

MENURUT hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
Mei lalu, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 9,1 triliun. Dan yang dianggap
sebagai salah satu penyebab utama defisit BPJS Kesehatan itu adalah perokok.

Salah satu penyebabnya karena
pembiayaan penyakit katastropik. Rokok menjadi penyebab penyakit katastropik
seperti jantung, stroke, dan kanker.

Menurut data BPJS Kesehatan
hingga Maret tahun ini, untuk pembiayaan pasien jantung sudah mencapai Rp 2,8
triliun. Sedangkan kanker dan stroke menjadi beban ketiga dan keempat dengan
masing-masing total pembiayaan mencapai Rp 1 triliun dan Rp 699 miliar.

Kepala Humas BPJS Kesehatan M
Iqbal Anas membenarkan bahwa pembiayaan penyakit katastropik cukup besar. Tahun
lalu, total pembiayaan 8 penyakit katastropik mencapai Rp 20,4 triliun.

Baca Juga :  2 Tangki Berhasil Dipadamkan, 2 Lainnya Masih Membara

Ketua Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (PDPI) dr Agus Dwi Susanto SpP(K) menyatakan bahwa kanker paru
menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia. Pada tahun lalu saja ada 1,8 juta
jiwa yang meninggal karena penyakit tersebut.

“Data World Health Organization
(WHO) di 2018 memperlihatkan bahwa rokok merupakan penyebab utama dari kanker
paru-paru, dan berkontribusi lebih dari 2/3 kematian terkait kanker paru-paru
secara global,” ungkapnya (26/6).

Selain kanker paru, perokok juga
memiliki risiko terancam penyakit kanker 13 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan non-perokok.

Pakar Kesehatan Publik dan Ketua
Perkumpulan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (PAMJAKI)
dr Rosa Christiana Ginting menyatakan alternatif solusi bagi para perokok masih
sangat terbatas. ”Melihat kondisi BPJS Kesehatan saat ini, kebijakan yang
efektif sangat diperlukan untuk mengurangi angka perokok di Indonesia,”
tuturnya.

Baca Juga :  Walhi Diminta Setop Memprovokasi Warga

Sebenarnya, Kementerian Kesehatan
telah mengeluarkan berbagai program untuk mengurangi prevalensi merokok di
Indonesia. Misalnya saja hotlinetelepon untuk konsultasi bagi para perokok yang
ingin berhenti. Selain itu juga membentuk komunitas berhenti merokok yang
difasilitasi oleh berbagai klinik dan rumah sakit.

Sayangnya implementasi program
tersebut masih jauh dari ideal. Pada 2018, WHO melaporkan bahwa terdapat 30,4
persen perokok Indonesia yang berusaha berhenti merokok, namun hanya 9,4 persen
di antaranya yang berhasil.

“Untuk itu, sekarang adalah waktu
yang tepat bagi Indonesia untuk memulai penelitian lokal sebagai solusi
alternatif untuk mengurangi angka perokok,” bebernya. (lyn/aci/jpg/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru