30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

LPSK: Laporan Minim, Publik Masih Takut Laporkan Kekerasan oleh Aparat

PROKALTENG.CO – Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) M. Nasution mengatakan minimnya laporan kasus tindak pidana penyiksaan oleh aparat penegak hukum disebabkan oleh ketakutan publik yang menjadi korban ataupun saksi.

Menurut Nasution, publik mempertimbangkan buntut tindakan pelaporan yang mereka ajukan. Seperti mereka dipanggil di sejumlah tempat dan dalam berbagai waktu guna diperiksa atau dimintai keterangannya.

“Tidak semua korban maupun saksi itu berani melapor, ada banyak pertimbangan,” kata Nasution dalam sesi diskusi online dalam memperingati Hari Anti Penyiksaan yang disiarkan di kanal Youtube Komnas Perempuan, Jumat (25/6).

Menurut Nasution, laporan masyarakat atas kasus tindak pidana penyiksaan yang pihaknya terima terhitung sedikit. Sepanjang 2020, LPSK hanya menerima 37 permohonan.

Nasution menyakini bahwa jumlah tersebut tidak sesuai dengan jumlah penyiksaan yang terjadi di lapangan. Jumlah ini bagaikan puncak gunung es.

Baca Juga :  Waduh, Relawan Vaksin Buatan China Malah Positif Covid-19

“Meskipun angka ini tidak terlalu besar tetapi kita meyakini bahwa penyiksaan berarti tidak berkurang di masyarakat kita,” ujarnya.

Menurut Nasution, tindak pidana penyiksaan oleh aparat bersifat struktural. Penyiksaan biasanya terjadi di tempat lembaga negara di mana seharusnya tempat tersebut menjadi tempat aman bagi masyarakat dan mereka dijaga oleh aparat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Karena bersifat struktural, kata Nasution, publik sulit mengakses peristiwa penyiksaan itu. Akibatnya, saksi kasus penyiksaan oleh aparat tidak banyak.

Faktor selanjutnya adalah pola pikir aparat yang justru menormalisasi tindak kekerasan terhadap terduga pelaku. Hal ini Nasution temui saat ia berkunjung ke salah satu lembaga penegak hukum di Palu, Sulawesi Selatan.

“Padahal mestinya warga negara kalaupun dia melakukan kesalahan dia kan sedang mempertanggunjawabkan kesalahannya,” kata Nasution.

Baca Juga :  Emil Salim: Sikap Saya Mengembalikan Hati Nurani Arteria Dahlan

Selanjutnya, adalah faktor perspektif aparat yang masih memandang bahwa pengakuan tersangka adalah segalanya. Akibatnya, petugas melakukan berbagai cara agar orang tersebut memberikan pengakuan.

“Padahal sebetulnya dalam paradigma hukum pidana kita yang baru, sebetulnya pengakuan tidak segalanya,” ujar Nasution.

Nasution lantas mengajukan sejumlah rekomendasi pendekatan sistem guna meminimalisir penyiksaan ini.Pendekatan ini, menurutnya, harus termuat dalam substansi hukum. Hal itu seperti adanya aturan mengenai norma penyiksaan dalam Kitab Undnag-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Kemudian, sejumlah program edukasi guna mengubah pola pikir dan perspektif aparat penegak hukum. Selain itu adalah perbaikan budaya masyarakat yang cenderung mewajarkan penyiksaan terhadap pelaku kejahatan. “Kalo dia enggak mau diperlakukan seperti itu jangan jahat,” kata Nasution.

PROKALTENG.CO – Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) M. Nasution mengatakan minimnya laporan kasus tindak pidana penyiksaan oleh aparat penegak hukum disebabkan oleh ketakutan publik yang menjadi korban ataupun saksi.

Menurut Nasution, publik mempertimbangkan buntut tindakan pelaporan yang mereka ajukan. Seperti mereka dipanggil di sejumlah tempat dan dalam berbagai waktu guna diperiksa atau dimintai keterangannya.

“Tidak semua korban maupun saksi itu berani melapor, ada banyak pertimbangan,” kata Nasution dalam sesi diskusi online dalam memperingati Hari Anti Penyiksaan yang disiarkan di kanal Youtube Komnas Perempuan, Jumat (25/6).

Menurut Nasution, laporan masyarakat atas kasus tindak pidana penyiksaan yang pihaknya terima terhitung sedikit. Sepanjang 2020, LPSK hanya menerima 37 permohonan.

Nasution menyakini bahwa jumlah tersebut tidak sesuai dengan jumlah penyiksaan yang terjadi di lapangan. Jumlah ini bagaikan puncak gunung es.

Baca Juga :  Waduh, Relawan Vaksin Buatan China Malah Positif Covid-19

“Meskipun angka ini tidak terlalu besar tetapi kita meyakini bahwa penyiksaan berarti tidak berkurang di masyarakat kita,” ujarnya.

Menurut Nasution, tindak pidana penyiksaan oleh aparat bersifat struktural. Penyiksaan biasanya terjadi di tempat lembaga negara di mana seharusnya tempat tersebut menjadi tempat aman bagi masyarakat dan mereka dijaga oleh aparat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Karena bersifat struktural, kata Nasution, publik sulit mengakses peristiwa penyiksaan itu. Akibatnya, saksi kasus penyiksaan oleh aparat tidak banyak.

Faktor selanjutnya adalah pola pikir aparat yang justru menormalisasi tindak kekerasan terhadap terduga pelaku. Hal ini Nasution temui saat ia berkunjung ke salah satu lembaga penegak hukum di Palu, Sulawesi Selatan.

“Padahal mestinya warga negara kalaupun dia melakukan kesalahan dia kan sedang mempertanggunjawabkan kesalahannya,” kata Nasution.

Baca Juga :  Emil Salim: Sikap Saya Mengembalikan Hati Nurani Arteria Dahlan

Selanjutnya, adalah faktor perspektif aparat yang masih memandang bahwa pengakuan tersangka adalah segalanya. Akibatnya, petugas melakukan berbagai cara agar orang tersebut memberikan pengakuan.

“Padahal sebetulnya dalam paradigma hukum pidana kita yang baru, sebetulnya pengakuan tidak segalanya,” ujar Nasution.

Nasution lantas mengajukan sejumlah rekomendasi pendekatan sistem guna meminimalisir penyiksaan ini.Pendekatan ini, menurutnya, harus termuat dalam substansi hukum. Hal itu seperti adanya aturan mengenai norma penyiksaan dalam Kitab Undnag-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Kemudian, sejumlah program edukasi guna mengubah pola pikir dan perspektif aparat penegak hukum. Selain itu adalah perbaikan budaya masyarakat yang cenderung mewajarkan penyiksaan terhadap pelaku kejahatan. “Kalo dia enggak mau diperlakukan seperti itu jangan jahat,” kata Nasution.

Terpopuler

Artikel Terbaru