26.6 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Kendala Ekonomi Bikin Anak Memilih Tak Lanjutkan Studi, Mending Kerja

 Angka
partisipasi sekolah semakin menurun seiring meningkatnya jenjang pendidikan.
Kemampuan ekonomi menjadi salah satu faktor menurunnya minat anak melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jika terus dibiarkan, maka program
wajib belajar 12 tahun sulit diwujudkan.

Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, angka partisipasi sekolah anak usia 7-12
mencapai 99,22 persen. Kemudian, memasuki usia 13-15 tercatat 95,36 persen.

Memasuki usia
anak 16-18 tahun, angka partisipasi sekolah hanya 71,99 persen. Sedangkan, pada
usia 19-24 tahun terjun bebas lagi, menjadi hanya 27,92 persen anak bangsa yang
melanjutkan studi di perguruan tinggi. Di sisi lain, harus diakui, setiap tahun
angka partisipasi sekolah sejak 2011 cenderung membaik.

Meski begitu,
Direktur Lembaga Perlindungan Anak Gerakan Perlindungan Anak Asa Negeri
(Generasi) Ena Nurjanah mengimbau pemerintah jangan berpuas diri. Saat ini
posisi Indonesia masih mengejar untuk mewujudkan sukses wajib belajar 12 tahun
pada 2030.

Baca Juga :  Diisolasi Saudi, 472 WNI Terjebak di Kota Qatif

Dia berharap,
Kemendikbud lebih gencar melakukan sapu bersih kepada anak-anak yang tidak
sekolah. Anak-anak itu harus didorong untuk sekolah.

“Kuncinya
kemauan dan keputusan politik yang kuat agar anak Indonesia bisa mengeyam
pendidikan secara tuntas,” ucap Ena saat ditemui di bilangan Cikini, Jakarta
Pusat, Sabtu (20/7).

Direktur
Pembinaan Pendidikan Keluarga Kemendikbud Sukiman mengakui, masih ada anak yang
lebih memilih bekerja sehingga dapat uang daripada sekolah. Biasanya, mereka
itu adalah anak-anak yang tinggal di daerah dengan ekonomi kurang, tinggal di
desa dan daerah pelosok.

Situasi
tersebut memang kurang mendukung semangat anak untuk terus bersekolah. Seperti
anak di daerah Puncak, Bogor, misalnya. Dia masih menemui anak yang sekolah
hanya sampai SMP. Memilih berdagang membantu orang tua.

Baca Juga :  Pendaftar SNMPTN Capai 493.750 Siswa

“Kipas-kipas
jagung bakar dapat uang. Atau anak pesisir juga yang memilih mengurusi kapal
sudah dapat upah,” jelasnya.

Menurut dia,
pemerintah tidak kurang-kurang memberikan fasilitas pendidikan untuk memudahkan
masyarakat miskin. Mulai Kartu Indonesia Pintar (KIP), dana BOS (bantuan
operasional sekolah), hingga sistem zonasi penerimaan peserta didik baru
(PPDB).

Zonasi
prinsipnya pemerataan. Siswa dari keluarga tidak mampu bisa belajar di sekolah
negeri terdekat dari rumahnya. Tidak ada istilah sekolah favorit atau tidak.
Semuanya sama.

“Pemerintah
sudah berusaha sebaik mungkin. Mungkin efeknya nanti bisa kita rasakan tiga
tahun ke depan,” urai Sukiman.(jpn)

 

 Angka
partisipasi sekolah semakin menurun seiring meningkatnya jenjang pendidikan.
Kemampuan ekonomi menjadi salah satu faktor menurunnya minat anak melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jika terus dibiarkan, maka program
wajib belajar 12 tahun sulit diwujudkan.

Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, angka partisipasi sekolah anak usia 7-12
mencapai 99,22 persen. Kemudian, memasuki usia 13-15 tercatat 95,36 persen.

Memasuki usia
anak 16-18 tahun, angka partisipasi sekolah hanya 71,99 persen. Sedangkan, pada
usia 19-24 tahun terjun bebas lagi, menjadi hanya 27,92 persen anak bangsa yang
melanjutkan studi di perguruan tinggi. Di sisi lain, harus diakui, setiap tahun
angka partisipasi sekolah sejak 2011 cenderung membaik.

Meski begitu,
Direktur Lembaga Perlindungan Anak Gerakan Perlindungan Anak Asa Negeri
(Generasi) Ena Nurjanah mengimbau pemerintah jangan berpuas diri. Saat ini
posisi Indonesia masih mengejar untuk mewujudkan sukses wajib belajar 12 tahun
pada 2030.

Baca Juga :  Diisolasi Saudi, 472 WNI Terjebak di Kota Qatif

Dia berharap,
Kemendikbud lebih gencar melakukan sapu bersih kepada anak-anak yang tidak
sekolah. Anak-anak itu harus didorong untuk sekolah.

“Kuncinya
kemauan dan keputusan politik yang kuat agar anak Indonesia bisa mengeyam
pendidikan secara tuntas,” ucap Ena saat ditemui di bilangan Cikini, Jakarta
Pusat, Sabtu (20/7).

Direktur
Pembinaan Pendidikan Keluarga Kemendikbud Sukiman mengakui, masih ada anak yang
lebih memilih bekerja sehingga dapat uang daripada sekolah. Biasanya, mereka
itu adalah anak-anak yang tinggal di daerah dengan ekonomi kurang, tinggal di
desa dan daerah pelosok.

Situasi
tersebut memang kurang mendukung semangat anak untuk terus bersekolah. Seperti
anak di daerah Puncak, Bogor, misalnya. Dia masih menemui anak yang sekolah
hanya sampai SMP. Memilih berdagang membantu orang tua.

Baca Juga :  Pendaftar SNMPTN Capai 493.750 Siswa

“Kipas-kipas
jagung bakar dapat uang. Atau anak pesisir juga yang memilih mengurusi kapal
sudah dapat upah,” jelasnya.

Menurut dia,
pemerintah tidak kurang-kurang memberikan fasilitas pendidikan untuk memudahkan
masyarakat miskin. Mulai Kartu Indonesia Pintar (KIP), dana BOS (bantuan
operasional sekolah), hingga sistem zonasi penerimaan peserta didik baru
(PPDB).

Zonasi
prinsipnya pemerataan. Siswa dari keluarga tidak mampu bisa belajar di sekolah
negeri terdekat dari rumahnya. Tidak ada istilah sekolah favorit atau tidak.
Semuanya sama.

“Pemerintah
sudah berusaha sebaik mungkin. Mungkin efeknya nanti bisa kita rasakan tiga
tahun ke depan,” urai Sukiman.(jpn)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru