33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Langgar Kaidah Ini, Polisi, Hakim, Jaksa Hingga Wartawan Bisa Dipenjar

KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)
menggandeng Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada acara Pelatihan Jurnalistik
Perspektif Gender dan Ramah Anak di Bogor, Jawa Barat, Rabu–Kamis
(19-20/6/2019).

Asisten Deputi Partisipasi Media
KPPA, Fatahillah Harahap berharap kita bersama-sama berupaya melindungi masa
depan anak yang merupakan generasi penerus bangsa, dan juga terus melakukan
sosialiasi terkait kesetaraan gender ini.

Tanpa peran media, kata dia, kita
tidak bisa berbuat apa-apa bahwa sampai saat ini, isu-isu gender dan anak masih
menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Supaya implementasi perlindungan anak dan
perempuan terealisasi, kata Fatahila, Kementerian PPPA sampai-sampai membentuk
Asisten Deputi Partisipasi Media pada Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat.

“Melalui pelatihan ini, harapan
kami agar teman-teman wartawan dalam pemberitaan tentang anak dan perempuan
akan sesuai ketentuan yang berlaku,” harapnya ditemani fasilitator
pelatihan Kamsul Hasan.

Informasi positif tidak hanya
keberhasilan pemberdayaan perempuan dan anak, lanjut dia, tapi juga informasi
adanya kekerasan terhadap perempuan dan anak yang sesuai fakta dan data dengan
kaidah yang baik.

“Media massa kami harap dalam
pemberitaannya sesuai kaidah PPRA dan Undang-Undang SPPA sehingga output
positif dari media tersebut ikut mencerdaskan masyarakat,” katanya.

Kaidah PPRA dan UU SPPA, sambung
dia, bertujuan melindungi perempuan dan anak dari korban kekerasan sehingga
tidak lagi menjadi korban berikutnya karena identitas dibuka oleh media.

Baca Juga :  Ketika Penulis Muda Belajar Juru Damai kepada JK

“Identitas seperti nama, alamat,
dan wajah, perempuan maupun anak yang menjadi korban kekerasan harus dilindungi
dengan tidak membukanya di media massa. Hal itu bisa menambah luka mereka. Kami
harap media massa menyensor beritanya secara baik dan menghormati hak para
korban kekerasan,” jelasnya.

Terkait itu, Fatahila pun
menyesalkan media massa maupun wartawan yang kurang hati-hati membuat berita
peristiwa kekerasan anak dari sosial media. Hal ini malah akan menimbulkan
berita palsu atau hoaks.

Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat
Kamsul Hasan mengatakan, pelatihan bagi para jurnalis ini sebagai sosialisasi
aturan PPRA, produk terbaru Dewan Pers yang disahkan tanggal 9 Februari 2019 di
Surabaya saat Hari Pers Nasional (HPN) bersamaan dengan MoU Dewan Pers dan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Pelatihan ini sangat penting
untuk melindungi wartawan dari jeratan hukum UU SPPA. PPRA Dewan Pers menjadi
rambu bagi para wartawan agar tidak terjerat ancaman pidana 5 tahun penjara dan
denda Rp 500 juta berdasarkan UU SPPA.

“Masih banyak wartawan yang belum
memahami, meski sudah merahasiakan identitas anak, tapi masih menulis lengkap
orangtua atau keluarga dekatnya, itu tetap kena jerat hukum,” ungkap Kamsul
yang masuk Tim Perumus PPRA Dewan Pers.

Karena itu, Kamsul berharap akan
bertambah pengetahuan tentang berbagai peraturan terkait pemberitaan anak dan
perempuan juga menjadikan wartawan menjadi advokasi atau pendamping anak
bermasalah dengan hukum.

Baca Juga :  Delapan Calon Hakim Mahkamah Konstitusi Jalani Tes Seleksi Wawancara

Media massa yang mengekploitasi
perempuan korban, anak korban, dan anak pelaku, bisa diadukan ke Dewan Pers.
“Wartawan tersebut bisa terancam penjara berdasarkan pasal 19  ayat 1 dan 2 UU SPPA nomor 11 tahun 2012, sementara
media massa dilindungi UU 40 tahun 1999 tentang peraturan dewan pers, oleh
karena itu wartawan dalam menjalankan tugas wajib hukumnya mematuhi PPRA,”
tutur Kamsul.

Mantan Ketua PWI DKI Jakarta ini
melanjutkan, UU SPPA tidak hanya mengancam wartawan tapi juga aparat kepolisian
yang membuka identitas perempuan korban, anak korban, dan anak pelaku.

“Wartawan, polisi, jaksa,
bahkan hakim, yang melanggar pasal 19 ayat 1 dan 2 UU SPPA nomor 11 tahun 2012
bisa terancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500
juta,” ujarnya.

Kamsul menuturkan, UU SPPA lebih
tinggi kedudukanya dibanding UU Dewan Pers karena menyangkut semua lembaga
bahkan aparat kepolisian, jaksa, dan hakim, juga bisa terjerat pasal 96 UU SPPA
apabila tidak melaksanakan kewajiban upaya diversi kepada anak pelaku
sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat 1. “Ancamannya pidana penjara paling
lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta,” pungkasnya. (ers/indopos/kpc)

KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)
menggandeng Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada acara Pelatihan Jurnalistik
Perspektif Gender dan Ramah Anak di Bogor, Jawa Barat, Rabu–Kamis
(19-20/6/2019).

Asisten Deputi Partisipasi Media
KPPA, Fatahillah Harahap berharap kita bersama-sama berupaya melindungi masa
depan anak yang merupakan generasi penerus bangsa, dan juga terus melakukan
sosialiasi terkait kesetaraan gender ini.

Tanpa peran media, kata dia, kita
tidak bisa berbuat apa-apa bahwa sampai saat ini, isu-isu gender dan anak masih
menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Supaya implementasi perlindungan anak dan
perempuan terealisasi, kata Fatahila, Kementerian PPPA sampai-sampai membentuk
Asisten Deputi Partisipasi Media pada Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat.

“Melalui pelatihan ini, harapan
kami agar teman-teman wartawan dalam pemberitaan tentang anak dan perempuan
akan sesuai ketentuan yang berlaku,” harapnya ditemani fasilitator
pelatihan Kamsul Hasan.

Informasi positif tidak hanya
keberhasilan pemberdayaan perempuan dan anak, lanjut dia, tapi juga informasi
adanya kekerasan terhadap perempuan dan anak yang sesuai fakta dan data dengan
kaidah yang baik.

“Media massa kami harap dalam
pemberitaannya sesuai kaidah PPRA dan Undang-Undang SPPA sehingga output
positif dari media tersebut ikut mencerdaskan masyarakat,” katanya.

Kaidah PPRA dan UU SPPA, sambung
dia, bertujuan melindungi perempuan dan anak dari korban kekerasan sehingga
tidak lagi menjadi korban berikutnya karena identitas dibuka oleh media.

Baca Juga :  Ketika Penulis Muda Belajar Juru Damai kepada JK

“Identitas seperti nama, alamat,
dan wajah, perempuan maupun anak yang menjadi korban kekerasan harus dilindungi
dengan tidak membukanya di media massa. Hal itu bisa menambah luka mereka. Kami
harap media massa menyensor beritanya secara baik dan menghormati hak para
korban kekerasan,” jelasnya.

Terkait itu, Fatahila pun
menyesalkan media massa maupun wartawan yang kurang hati-hati membuat berita
peristiwa kekerasan anak dari sosial media. Hal ini malah akan menimbulkan
berita palsu atau hoaks.

Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat
Kamsul Hasan mengatakan, pelatihan bagi para jurnalis ini sebagai sosialisasi
aturan PPRA, produk terbaru Dewan Pers yang disahkan tanggal 9 Februari 2019 di
Surabaya saat Hari Pers Nasional (HPN) bersamaan dengan MoU Dewan Pers dan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Pelatihan ini sangat penting
untuk melindungi wartawan dari jeratan hukum UU SPPA. PPRA Dewan Pers menjadi
rambu bagi para wartawan agar tidak terjerat ancaman pidana 5 tahun penjara dan
denda Rp 500 juta berdasarkan UU SPPA.

“Masih banyak wartawan yang belum
memahami, meski sudah merahasiakan identitas anak, tapi masih menulis lengkap
orangtua atau keluarga dekatnya, itu tetap kena jerat hukum,” ungkap Kamsul
yang masuk Tim Perumus PPRA Dewan Pers.

Karena itu, Kamsul berharap akan
bertambah pengetahuan tentang berbagai peraturan terkait pemberitaan anak dan
perempuan juga menjadikan wartawan menjadi advokasi atau pendamping anak
bermasalah dengan hukum.

Baca Juga :  Delapan Calon Hakim Mahkamah Konstitusi Jalani Tes Seleksi Wawancara

Media massa yang mengekploitasi
perempuan korban, anak korban, dan anak pelaku, bisa diadukan ke Dewan Pers.
“Wartawan tersebut bisa terancam penjara berdasarkan pasal 19  ayat 1 dan 2 UU SPPA nomor 11 tahun 2012, sementara
media massa dilindungi UU 40 tahun 1999 tentang peraturan dewan pers, oleh
karena itu wartawan dalam menjalankan tugas wajib hukumnya mematuhi PPRA,”
tutur Kamsul.

Mantan Ketua PWI DKI Jakarta ini
melanjutkan, UU SPPA tidak hanya mengancam wartawan tapi juga aparat kepolisian
yang membuka identitas perempuan korban, anak korban, dan anak pelaku.

“Wartawan, polisi, jaksa,
bahkan hakim, yang melanggar pasal 19 ayat 1 dan 2 UU SPPA nomor 11 tahun 2012
bisa terancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500
juta,” ujarnya.

Kamsul menuturkan, UU SPPA lebih
tinggi kedudukanya dibanding UU Dewan Pers karena menyangkut semua lembaga
bahkan aparat kepolisian, jaksa, dan hakim, juga bisa terjerat pasal 96 UU SPPA
apabila tidak melaksanakan kewajiban upaya diversi kepada anak pelaku
sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat 1. “Ancamannya pidana penjara paling
lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta,” pungkasnya. (ers/indopos/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru