33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Setelah Pandemi Momen Tepat Naikkan BPJS Kesehatan

Semestinya kenaikan iuran BPJS Kesehatan
dilakukan sejak dua tahun lalu. Namun, karena pertimbangan politik, pemerintah
menghindari keputusan tersebut. Hal itu diungkapkan Koordinator Advokasi BPJS
Watch Timboel Siregar.

Timboel menuturkan, kenaikan iuran Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) memang tidak bisa dihindari. Paling tidak dua tahun
sekali ada penyesuaian tarif yang diamanatkan dalam pasal 27 ayat 2 UU SJSN dan
pasal 38 ayat 1 Perpres Nomor 82 Tahun 2018. ”Amanat kenaikan ini diatur di
perpres, seperti Perpres No 19 Tahun 2016 dan Perpres No 111 Tahun 2013,”
jelasnya kemarin (16/5).

Pemerintah mengikuti aturan itu pada 2016,
yakni dua tahun sejak besaran iuran terakhir ditetapkan pada 2014. Tertuang
dalam Perpres Nomor 19 Tahun 2016. Namun, kata Timboel, aturan tersebut tidak
dilaksanakan pada 2018 yang seharusnya sudah masuk tahun penyesuaian iuran.
’’Alasannya hanya satu. Yaitu, takut gaduh karena 2018 adalah tahun yang dekat
dengan tahun Pemilu 2019. Waktu itu sudah masa kampanye,” ujarnya.

Baca Juga :  Saleh Husin: Pak Wiranto Sudah Bisa Diajak Ngobrol

Kenaikan iuran digeser setelah pemilu dengan
lahirnya Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Menurut Timboel, itu alasan yang bisa
dimengerti secara politik elektoral. Konsekuensinya, pemerintah harus
menggelontorkan tambahan dana dari APBN ke pos BPJS Kesehatan sebesar Rp 10,2
triliun yang dibayarkan dalam dua termin.

Namun, utang klaim yang belum dibayarkan ke RS
masih Rp 9,1 triliun sehingga utang BPJS Kesehatan itu terbawa ke 2019. Hal
tersebut harus ditebus dengan menaikkan iuran pada 2020 meski situasi sedang
sulit bagi rakyat karena pandemi Covid-19. ”Pemerintah memaksakan kenaikan
iuran peserta mandiri kelas I dan II pada 1 Juli 2020 dan kelas III pada 1
Januari 2021,” katanya.

Timboel berharap pemerintah menaikkan iuran
saat pandemi sudah membaik sehingga masyarakat bisa membayar iuran JKN. Saat
ini daya beli masyarakat sedang turun drastis. Jika dipaksakan, peserta mandiri
akan kesulitan untuk membayar iuran. Peserta nonaktif semakin meningkat
sehingga hak konstitusional masyarakat peserta mandiri tidak bisa digunakan
karena JKN tidak menjamin lagi.

Baca Juga :  Pemerintah Evaluasi Buka Sekolah di Zona Kuning

Kepala Humas BPJS Iqbal Anas Ma’ruf
mengungkapkan, perpres kenaikan iuran BPJS sudah dipertimbangkan dengan matang.
Dalam pembayarannya pun, akan ada keringanan. ’’Misalnya, jika peserta
menunggak dua tahun, cukup dibayarkan 6 bulan dulu,” jelasnya.

Iqbal menegaskan bahwa kenaikan hanya berlaku
untuk kelas I dan II. Untuk kelas III, kenaikan hanya tertuang di perpres.
Dalam implementasinya, pembayaran tetap Rp 25.500 karena yang Rp 16.500
disubsidi pemerintah.

Dia juga menyebut pemerintah sudah
mempertimbangkan banyak hal. Termasuk melakukan efisiensi di internal BPJS.
’’Kami melakukan efisiensi operasional. Meniadakan kegiatan yang tidak
berkaitan langsung dengan tupoksi. Personel juga disesuaikan dengan kebutuhan,”
jelasnya. 

Semestinya kenaikan iuran BPJS Kesehatan
dilakukan sejak dua tahun lalu. Namun, karena pertimbangan politik, pemerintah
menghindari keputusan tersebut. Hal itu diungkapkan Koordinator Advokasi BPJS
Watch Timboel Siregar.

Timboel menuturkan, kenaikan iuran Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) memang tidak bisa dihindari. Paling tidak dua tahun
sekali ada penyesuaian tarif yang diamanatkan dalam pasal 27 ayat 2 UU SJSN dan
pasal 38 ayat 1 Perpres Nomor 82 Tahun 2018. ”Amanat kenaikan ini diatur di
perpres, seperti Perpres No 19 Tahun 2016 dan Perpres No 111 Tahun 2013,”
jelasnya kemarin (16/5).

Pemerintah mengikuti aturan itu pada 2016,
yakni dua tahun sejak besaran iuran terakhir ditetapkan pada 2014. Tertuang
dalam Perpres Nomor 19 Tahun 2016. Namun, kata Timboel, aturan tersebut tidak
dilaksanakan pada 2018 yang seharusnya sudah masuk tahun penyesuaian iuran.
’’Alasannya hanya satu. Yaitu, takut gaduh karena 2018 adalah tahun yang dekat
dengan tahun Pemilu 2019. Waktu itu sudah masa kampanye,” ujarnya.

Baca Juga :  Saleh Husin: Pak Wiranto Sudah Bisa Diajak Ngobrol

Kenaikan iuran digeser setelah pemilu dengan
lahirnya Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Menurut Timboel, itu alasan yang bisa
dimengerti secara politik elektoral. Konsekuensinya, pemerintah harus
menggelontorkan tambahan dana dari APBN ke pos BPJS Kesehatan sebesar Rp 10,2
triliun yang dibayarkan dalam dua termin.

Namun, utang klaim yang belum dibayarkan ke RS
masih Rp 9,1 triliun sehingga utang BPJS Kesehatan itu terbawa ke 2019. Hal
tersebut harus ditebus dengan menaikkan iuran pada 2020 meski situasi sedang
sulit bagi rakyat karena pandemi Covid-19. ”Pemerintah memaksakan kenaikan
iuran peserta mandiri kelas I dan II pada 1 Juli 2020 dan kelas III pada 1
Januari 2021,” katanya.

Timboel berharap pemerintah menaikkan iuran
saat pandemi sudah membaik sehingga masyarakat bisa membayar iuran JKN. Saat
ini daya beli masyarakat sedang turun drastis. Jika dipaksakan, peserta mandiri
akan kesulitan untuk membayar iuran. Peserta nonaktif semakin meningkat
sehingga hak konstitusional masyarakat peserta mandiri tidak bisa digunakan
karena JKN tidak menjamin lagi.

Baca Juga :  Pemerintah Evaluasi Buka Sekolah di Zona Kuning

Kepala Humas BPJS Iqbal Anas Ma’ruf
mengungkapkan, perpres kenaikan iuran BPJS sudah dipertimbangkan dengan matang.
Dalam pembayarannya pun, akan ada keringanan. ’’Misalnya, jika peserta
menunggak dua tahun, cukup dibayarkan 6 bulan dulu,” jelasnya.

Iqbal menegaskan bahwa kenaikan hanya berlaku
untuk kelas I dan II. Untuk kelas III, kenaikan hanya tertuang di perpres.
Dalam implementasinya, pembayaran tetap Rp 25.500 karena yang Rp 16.500
disubsidi pemerintah.

Dia juga menyebut pemerintah sudah
mempertimbangkan banyak hal. Termasuk melakukan efisiensi di internal BPJS.
’’Kami melakukan efisiensi operasional. Meniadakan kegiatan yang tidak
berkaitan langsung dengan tupoksi. Personel juga disesuaikan dengan kebutuhan,”
jelasnya. 

Terpopuler

Artikel Terbaru