30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

MA Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan, Pemerintah Pasrah

JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia membatalkan
Perpres yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Keputusan itu berlaku setelah
adanya judicial review yang dilakukan atas kebijakan pemerintah tersebut.

Pada pasal 34 ayat 1 Perpres yang
mengatur menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk Peserta Bukan penerima Upah
(PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja (BP).

Pasal itu menaikkan iuran kelas
III sebesar Rp 42.000 per bulan, kelas II sebesar Rp 110.000 per bulan dan
kelas I sebesar Rp 160.000 per bulan.

MA menyatakan pasal 34 ayat 1 dan
2 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dengan keputusan itu maka
otomatis iuran BPJS Kesehatan mau tidak mau mesti kembali kepada skema awal,
yakni iuaran kelas III sebesar Rp 25.500 per bulan, iuran kelas II sebesar Rp
51.000 per bulan, dan iuran kelas I sebesar Rp 80.000 per bulan.

Baca Juga :  Mercy Baru Jokowi Antipeluru, Anti Ledakan, hingga Anti Kebakaran

Menkopolhukam Mahfud MD meminta
pemerintah untuk mematuhi putusan Mahkamah Agung terkait dikabulkannya
penolakan Perpres yang mengatur kenaikan iuran BPJS.

Pasalnya, menurut Mahfud, putusan
MA itu adalah putusan yang tidak dapat dilakukan banding secara hukum.

“Putusan MA kalau judicial review
itu adalah putusan yang final. Tidak ada banding terhadap judicial review,”
kata Mahfud di kantornya, Senin (9/3/2020).

Sehingga, ia memastikan
pemerintah akan mengikuti segala ketentuan hukum yang ada.

“Pemerintah tidak boleh melawan
putusan pengadilan,” tegasnya.

Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku ragu BPJS Kesehatan bisa
sustain dengan kondisi keungan yang negatif.

“Ya nanti kita lihat bagaimana BPJS (Kesehatan) bisa sustain dari sisi
keinginan memberikan jasa kesehatan masyarakat secara luas namun dari sisi
keuangan mereka, sampai dengan akhir Desember 2019, meski sudah saya tambahkan
Rp 15 triliun, kondisi keuangan BPJS masih negatif hampir sekitar Rp 13
triliun,” ujarnya, Senin (9/3/2020).

Baca Juga :  Udara di Tiga Kota Tidak Sehat

Oleh karenanya jika Perpres dibatalkan pascaputusan MA tersebut, maka
Kemenkeu perlu menarik kembali tambahan talangan Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Itu dilakukan agar tidak menjadi catatan saat audit laporan keuangan
pemerintah oleh BPK.

Bukan itu saja, Sri Mulyani mengungkapkan risika lain dari pembatalan
kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan ini berbahaya bagi APBN dan keberlanjutan
program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Pasalnya implikasi dari itu semua adalah terbatasnya ruang fiskal
pemerintah. (sta/pojoksatu/kpc)

JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia membatalkan
Perpres yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Keputusan itu berlaku setelah
adanya judicial review yang dilakukan atas kebijakan pemerintah tersebut.

Pada pasal 34 ayat 1 Perpres yang
mengatur menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk Peserta Bukan penerima Upah
(PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja (BP).

Pasal itu menaikkan iuran kelas
III sebesar Rp 42.000 per bulan, kelas II sebesar Rp 110.000 per bulan dan
kelas I sebesar Rp 160.000 per bulan.

MA menyatakan pasal 34 ayat 1 dan
2 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dengan keputusan itu maka
otomatis iuran BPJS Kesehatan mau tidak mau mesti kembali kepada skema awal,
yakni iuaran kelas III sebesar Rp 25.500 per bulan, iuran kelas II sebesar Rp
51.000 per bulan, dan iuran kelas I sebesar Rp 80.000 per bulan.

Baca Juga :  Mercy Baru Jokowi Antipeluru, Anti Ledakan, hingga Anti Kebakaran

Menkopolhukam Mahfud MD meminta
pemerintah untuk mematuhi putusan Mahkamah Agung terkait dikabulkannya
penolakan Perpres yang mengatur kenaikan iuran BPJS.

Pasalnya, menurut Mahfud, putusan
MA itu adalah putusan yang tidak dapat dilakukan banding secara hukum.

“Putusan MA kalau judicial review
itu adalah putusan yang final. Tidak ada banding terhadap judicial review,”
kata Mahfud di kantornya, Senin (9/3/2020).

Sehingga, ia memastikan
pemerintah akan mengikuti segala ketentuan hukum yang ada.

“Pemerintah tidak boleh melawan
putusan pengadilan,” tegasnya.

Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku ragu BPJS Kesehatan bisa
sustain dengan kondisi keungan yang negatif.

“Ya nanti kita lihat bagaimana BPJS (Kesehatan) bisa sustain dari sisi
keinginan memberikan jasa kesehatan masyarakat secara luas namun dari sisi
keuangan mereka, sampai dengan akhir Desember 2019, meski sudah saya tambahkan
Rp 15 triliun, kondisi keuangan BPJS masih negatif hampir sekitar Rp 13
triliun,” ujarnya, Senin (9/3/2020).

Baca Juga :  Udara di Tiga Kota Tidak Sehat

Oleh karenanya jika Perpres dibatalkan pascaputusan MA tersebut, maka
Kemenkeu perlu menarik kembali tambahan talangan Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Itu dilakukan agar tidak menjadi catatan saat audit laporan keuangan
pemerintah oleh BPK.

Bukan itu saja, Sri Mulyani mengungkapkan risika lain dari pembatalan
kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan ini berbahaya bagi APBN dan keberlanjutan
program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Pasalnya implikasi dari itu semua adalah terbatasnya ruang fiskal
pemerintah. (sta/pojoksatu/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru