33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Alasan Masih Mempelajari, BPJS Kesehatan Belum Laksanakan Putusan MA

JAKARTA – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS
Kesehatan) belum juga memberlakukan tarif baru pasca diterimanya salinan
keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Alasannya masih mempelajari isi dari putusan tersebut.

Sontak saja, apa yang disampaikan
pihak BPJS menuai reaksi. Ketua Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (Kornas MP BPJS) Hery Susanto menegaskan keputusan
MA yang membatalkan suatu ketentuan tidak langsung berlaku sejak putusan itu
dibacakan, yang mana tercermin dari ketentuan dalam Perma yang mengatur hukum
acara pengujian peraturan perundang-undangan.

Dalam putusannya, MA menyatakan
peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak
sah atau tidak berlaku untuk umum serta memerintahkan kepada instansi yang
bersangkutan segera mencabutnya. Itu sudah jelas. Problem yang ada sekarang,
tarif baru masih juga berlaku. ”Sampai sekarang tidak dibekukan, apalagi
direvisi,” terang Hery Susanto, kepada Fajar Indonesia Network (FIN).

Problem yang ada, peserta tetap
bayar sesuai dengan ketentuan saat ini. ”Pertanyaannya, bagaimana dengan mereka
yang sudah bayar. Misalnya dari Maret sampai dengan sekarang, yang secara jelas
mahal, dan membebani rakyat. Tolong BPJS, kami berharap kerja cepat,” tegasnya.

Dari hasil klarifikasi, sampai
saat ini belum jelas kapan tarif itu direvisi. ”Kalau harus menunggu 90 hari
sejak salinan putusan MA diterima, jelas saja memberatkan masyarakat karena
mahal. Tolong dipahami, saat ini masyarakat sedang susah dengan mewabahnya
Virus Corona. Kalau dikembalikan juga formatnya tidak jelas itu, di lapangan
bingungkan warga. Ingat lho iuran BPJS Kesehatan itu bersifat wajib setiap
bulan, itu uang hangus,” paparnya.

Dalam praktiknya, sambung Hary,
terkadang Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, namun demi
hukum peraturan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai
kekuatan hukum. Skema pelaksanaan putusan hasil pengujian peraturan
perundang-undangan oleh Mahkamah Agung berpotensi tidak menunjukkan asas
kepastian, karena membutuhkan tindakan dari Pejabat lain, dalam hal ini
Presiden RI dan BPJS Kesehatan .

Putusan pengadilan seharusnya
berlaku sejak diputuskan, dan mengikat para pihak sejak saat itu juga. Adanya
jeda 90 hari berlakunya putusan MA berpotensi menimbulkan penyalahgunaan
wewenang oleh Pejabat yang terkait, dan mengurangi tingkat kepercayaan
masyarakat kepada institusi peradilan. ”Disamping itu dalam keterangan pers nya
BPJS Kesehatan terkesan bias, apakah sudah menerima putusan MA atau belum
menerimanya,” tandasnya.

Baca Juga :  15 Provinsi Menunjukan Raport Merah Dalam Penyerapan Anggaran

Hery menilai pernyataan pers BPJS
Kesehatan tersebut tidak memberikan asas kepastian pelayanan. ”Penjelasan bias
dan membingungkan, itu ciri BPJS Kesehatan memang tidak sehat, harus terus
diawasi kinerjanya, terutama pasca putusan MA soal pembatalan kenaikan iuran
BPJS Kesehatan sebab ada potensi penyalahgunaan wewenang bahkan korupsi,” kata
Hery Susanto.

Hery Susanto menegaskan BPJS
Kesehatan harus mengembalikan iuran seluruh pekerja, tidak saja Pekerja Bukan
Penerima Upah (PBPU) melainkan juga Pekerja Penerima Upah (PPU). ”Dalam
pernyataan persnya sebelumnya, justeru BPJS Kesehatan hanya bahas pengembalian
iuran peserta PBPU atau peserta mandiri sebesar 5 persen dari gaji atau upah
per bulan dengan ketentuan 4 persen dibayar oleh pemberi kerja dan 1 satu
persen dibayar oleh Peserta,” jelas Hery

Menanggapi polemik yang muncul,
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan BPJS Kesehatan siap
melaksanakan putusan Mahkamah Agung terkait pembatalan iuran Jaminan Kesehatan
Nasional segmen peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) sesuai putusan uji
materi Perpres 75 Tahun 2019.

”BPJS Kesehatan telah mempelajari
dan siap menjalankan putusan MA tersebut. Saat ini pemerintah dan Kementerian
terkait dalam proses menindaklanjuti putusan MA tersebut dan sedang disusun
Perpres pengganti,” terangnya.

Iqbal juga menyebutkan putusan MA
terkait pembatalan iuran peserta program JKN segmen peserta PBPU yang
ditayangkan di laman resmi MA per 31 Maret 2020 dan telah dipelajari oleh BPJS
Kesehatan maupun kementerian-lembaga terkait.

Iqbal menambahkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Pasal 8 Ayat (1) bahwa Panitera MA
mencantumkan petikan putusan dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya
Negara. Sementara di ayat 2 menyebutkan dalam 90 hari setelah putusan MA
tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
Peraturan Perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat yang bersangkutan tidak
melaksanakan kewajibannya, demi hukum Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Artinya, itu memberikan waktu
hingga 90 hari kepada BPJS Kesehatan untuk mengeksekusi putusan tersebut.
”Melihat aturan di atas, tindak lanjut Putusan MA dapat dieksekusi oleh
tergugat dalam kurun waktu 90 hari melalui aturan baru, atau apabila jika tidak
terdapat aturan baru dalam kurun waktu tersebut, Pepres 75/2019 pasal 34
dianggap tidak memiliki kekuatan hukum atau dibatalkan,” jawab Iqbal.

Baca Juga :  Forum Humas BUMN Semarakkan HUT RI Ke-76

Intinya dalam waktu 90 hari ke
depan setelah salinan keputusan diumumkan resmi, BPJS Kesehatan menunggu
terbitnya Perpres pengganti. ”Saat ini sedang berproses,” ucapnya. BPJS
Kesehatan juga telah bersurat kepada Pemerintah dalam hal ini Sekretaris Negara
untuk menetapkan langkah-langkah yang dapat dilakukan BPJS Kesehatan
selanjutnya, dalam mengeksekusi putusan tersebut.

BPJS Kesehatan juga akan
menetapkan iuran kembali seperti semula sebelum ada kenaikan besaran iuran
apabila ada revisi Perpres yang mengatur mengenai jumlah iuran tersebut. Namun,
jika dalam waktu 90 hari Perpres pengganti untuk iuran sesuai putusan MA belum
juga diterbitkan, BPJS Kesehatan secara otomatis akan menetapkan besaran iuran
menjadi seperti sebelumnya atau tidak jadi naik. ”Bisa diterbitkan Perpres
pengganti, atau dalam masa paling lama 90 hari, otomatis Perpres 75 tahun 2019
klausul segmen mandiri kembali ke besaran sebelum Perpres 75 tahun 2019,” kata
Iqbal.

Masyarakat sambung Iqbal, tidak
perlu khawatir meskipun hingga saat ini masih membayar iuran Program JKN dengan
besaran Rp160 ribu untuk kelas I, Rp120 ribu untuk kelas II, dan Rp42 ribu
untuk kelas III. Karena apabila iuran program JKN kembali menjadi Rp80 ribu
untuk kelas I, Rp51 ribu untuk kelas II, dan Rp25 ribu untuk kelas III,
kelebihan bayar peserta akan dikembalikan dan tetap menjadi hak peserta.

”Sekali lagi, masyarakat juga
diharapkan tidak perlu khawatir, BPJS Kesehatan telah menghitung selisih kelebihan
pembayaran iuran peserta segmen PBPU atau mandiri dan akan dikembalikan segera
setelah ada aturan baru tersebut, atau disesuaikan dengan arahan dari
Pemerintah. Teknis pengembaliannya akan diatur lebih lanjut, antara lain
kelebihan iuran tersebut akan menjadi iuran pada bulan berikutnya untuk peserta,”
tambah Iqbal. 

JAKARTA – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS
Kesehatan) belum juga memberlakukan tarif baru pasca diterimanya salinan
keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Alasannya masih mempelajari isi dari putusan tersebut.

Sontak saja, apa yang disampaikan
pihak BPJS menuai reaksi. Ketua Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (Kornas MP BPJS) Hery Susanto menegaskan keputusan
MA yang membatalkan suatu ketentuan tidak langsung berlaku sejak putusan itu
dibacakan, yang mana tercermin dari ketentuan dalam Perma yang mengatur hukum
acara pengujian peraturan perundang-undangan.

Dalam putusannya, MA menyatakan
peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak
sah atau tidak berlaku untuk umum serta memerintahkan kepada instansi yang
bersangkutan segera mencabutnya. Itu sudah jelas. Problem yang ada sekarang,
tarif baru masih juga berlaku. ”Sampai sekarang tidak dibekukan, apalagi
direvisi,” terang Hery Susanto, kepada Fajar Indonesia Network (FIN).

Problem yang ada, peserta tetap
bayar sesuai dengan ketentuan saat ini. ”Pertanyaannya, bagaimana dengan mereka
yang sudah bayar. Misalnya dari Maret sampai dengan sekarang, yang secara jelas
mahal, dan membebani rakyat. Tolong BPJS, kami berharap kerja cepat,” tegasnya.

Dari hasil klarifikasi, sampai
saat ini belum jelas kapan tarif itu direvisi. ”Kalau harus menunggu 90 hari
sejak salinan putusan MA diterima, jelas saja memberatkan masyarakat karena
mahal. Tolong dipahami, saat ini masyarakat sedang susah dengan mewabahnya
Virus Corona. Kalau dikembalikan juga formatnya tidak jelas itu, di lapangan
bingungkan warga. Ingat lho iuran BPJS Kesehatan itu bersifat wajib setiap
bulan, itu uang hangus,” paparnya.

Dalam praktiknya, sambung Hary,
terkadang Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, namun demi
hukum peraturan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai
kekuatan hukum. Skema pelaksanaan putusan hasil pengujian peraturan
perundang-undangan oleh Mahkamah Agung berpotensi tidak menunjukkan asas
kepastian, karena membutuhkan tindakan dari Pejabat lain, dalam hal ini
Presiden RI dan BPJS Kesehatan .

Putusan pengadilan seharusnya
berlaku sejak diputuskan, dan mengikat para pihak sejak saat itu juga. Adanya
jeda 90 hari berlakunya putusan MA berpotensi menimbulkan penyalahgunaan
wewenang oleh Pejabat yang terkait, dan mengurangi tingkat kepercayaan
masyarakat kepada institusi peradilan. ”Disamping itu dalam keterangan pers nya
BPJS Kesehatan terkesan bias, apakah sudah menerima putusan MA atau belum
menerimanya,” tandasnya.

Baca Juga :  15 Provinsi Menunjukan Raport Merah Dalam Penyerapan Anggaran

Hery menilai pernyataan pers BPJS
Kesehatan tersebut tidak memberikan asas kepastian pelayanan. ”Penjelasan bias
dan membingungkan, itu ciri BPJS Kesehatan memang tidak sehat, harus terus
diawasi kinerjanya, terutama pasca putusan MA soal pembatalan kenaikan iuran
BPJS Kesehatan sebab ada potensi penyalahgunaan wewenang bahkan korupsi,” kata
Hery Susanto.

Hery Susanto menegaskan BPJS
Kesehatan harus mengembalikan iuran seluruh pekerja, tidak saja Pekerja Bukan
Penerima Upah (PBPU) melainkan juga Pekerja Penerima Upah (PPU). ”Dalam
pernyataan persnya sebelumnya, justeru BPJS Kesehatan hanya bahas pengembalian
iuran peserta PBPU atau peserta mandiri sebesar 5 persen dari gaji atau upah
per bulan dengan ketentuan 4 persen dibayar oleh pemberi kerja dan 1 satu
persen dibayar oleh Peserta,” jelas Hery

Menanggapi polemik yang muncul,
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan BPJS Kesehatan siap
melaksanakan putusan Mahkamah Agung terkait pembatalan iuran Jaminan Kesehatan
Nasional segmen peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) sesuai putusan uji
materi Perpres 75 Tahun 2019.

”BPJS Kesehatan telah mempelajari
dan siap menjalankan putusan MA tersebut. Saat ini pemerintah dan Kementerian
terkait dalam proses menindaklanjuti putusan MA tersebut dan sedang disusun
Perpres pengganti,” terangnya.

Iqbal juga menyebutkan putusan MA
terkait pembatalan iuran peserta program JKN segmen peserta PBPU yang
ditayangkan di laman resmi MA per 31 Maret 2020 dan telah dipelajari oleh BPJS
Kesehatan maupun kementerian-lembaga terkait.

Iqbal menambahkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Pasal 8 Ayat (1) bahwa Panitera MA
mencantumkan petikan putusan dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya
Negara. Sementara di ayat 2 menyebutkan dalam 90 hari setelah putusan MA
tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
Peraturan Perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat yang bersangkutan tidak
melaksanakan kewajibannya, demi hukum Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Artinya, itu memberikan waktu
hingga 90 hari kepada BPJS Kesehatan untuk mengeksekusi putusan tersebut.
”Melihat aturan di atas, tindak lanjut Putusan MA dapat dieksekusi oleh
tergugat dalam kurun waktu 90 hari melalui aturan baru, atau apabila jika tidak
terdapat aturan baru dalam kurun waktu tersebut, Pepres 75/2019 pasal 34
dianggap tidak memiliki kekuatan hukum atau dibatalkan,” jawab Iqbal.

Baca Juga :  Forum Humas BUMN Semarakkan HUT RI Ke-76

Intinya dalam waktu 90 hari ke
depan setelah salinan keputusan diumumkan resmi, BPJS Kesehatan menunggu
terbitnya Perpres pengganti. ”Saat ini sedang berproses,” ucapnya. BPJS
Kesehatan juga telah bersurat kepada Pemerintah dalam hal ini Sekretaris Negara
untuk menetapkan langkah-langkah yang dapat dilakukan BPJS Kesehatan
selanjutnya, dalam mengeksekusi putusan tersebut.

BPJS Kesehatan juga akan
menetapkan iuran kembali seperti semula sebelum ada kenaikan besaran iuran
apabila ada revisi Perpres yang mengatur mengenai jumlah iuran tersebut. Namun,
jika dalam waktu 90 hari Perpres pengganti untuk iuran sesuai putusan MA belum
juga diterbitkan, BPJS Kesehatan secara otomatis akan menetapkan besaran iuran
menjadi seperti sebelumnya atau tidak jadi naik. ”Bisa diterbitkan Perpres
pengganti, atau dalam masa paling lama 90 hari, otomatis Perpres 75 tahun 2019
klausul segmen mandiri kembali ke besaran sebelum Perpres 75 tahun 2019,” kata
Iqbal.

Masyarakat sambung Iqbal, tidak
perlu khawatir meskipun hingga saat ini masih membayar iuran Program JKN dengan
besaran Rp160 ribu untuk kelas I, Rp120 ribu untuk kelas II, dan Rp42 ribu
untuk kelas III. Karena apabila iuran program JKN kembali menjadi Rp80 ribu
untuk kelas I, Rp51 ribu untuk kelas II, dan Rp25 ribu untuk kelas III,
kelebihan bayar peserta akan dikembalikan dan tetap menjadi hak peserta.

”Sekali lagi, masyarakat juga
diharapkan tidak perlu khawatir, BPJS Kesehatan telah menghitung selisih kelebihan
pembayaran iuran peserta segmen PBPU atau mandiri dan akan dikembalikan segera
setelah ada aturan baru tersebut, atau disesuaikan dengan arahan dari
Pemerintah. Teknis pengembaliannya akan diatur lebih lanjut, antara lain
kelebihan iuran tersebut akan menjadi iuran pada bulan berikutnya untuk peserta,”
tambah Iqbal. 

Terpopuler

Artikel Terbaru