30.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

KPPU Harus Segera Putuskan Dugaan Kartel Penerbangan

Tiket murah bagi pesawat berbiaya rendah
atau 
low cost carrier(LCC) tidak berlaku secara menyeluruh. Sebab,
kebijakan itu juga mempertimbangkan kesehatan keuangan pihak maskapai
penerbangan.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan
bahwa tarif murah tiket pesawat yang diatur pemerintah sama seperti promo pada
umumnya. “Ya, kan tidak semua murah. Jam-jam tertentu dan jumlah tertentu,”
katanya kemarin (2/7).

Menurut JK, harga atau tarif tiket pesawat
sangat bergantung pada dolar AS dan rupiah. Maskapai nasional menerima uang
dari pengguna jasa dalam bentuk rupiah. Sementara itu, hampir seluruh biaya
operasional maskapai, khususnya untuk perawatan pesawat, menggunakan mata uang
dolar AS.

Dengan pertimbangan itu, ujar JK, tarif murah
tidak berlaku secara umum. “Kalau harga seperti itu berlaku umum, saya kira
perusahaan penerbangan bangkrut,” tuturnya.

Wakil presiden dua periode tersebut lantas
mengungkapkan kondisi yang dialami maskapai Garuda Indonesia. Dengan menerapkan
tarif normal saja, kata JK, Garuda mengalami masalah keuangan.

Sebagaimana diberitakan, Senin (1/7) pemerintah
mengumumkan penurunan harga tiket pesawat domestik yang bisa mencapai 50 persen
dari tarif batas atas. Namun, tarif tersebut berlaku dengan beberapa ketentuan,
yakni pada rute, hari, dan jam tertentu. Selain itu, pemerintah meminta biaya
murah ditanggung bandara, AirNav, dan penyedia bahan bakar.

Baca Juga :  Ombudsman Minta Pemerintah Siapkan Crisis Center untuk Coronavirus

Sementara itu, langkah pemerintah yang meminta
maskapai menurunkan harga tiket pesawat LCC dinilai tidak tepat. Sebab, langkah
itu dianggap tidak memberikan ruang bagi dunia aviasi.

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio
mengatakan, pemerintah tidak boleh menentukan harga tiket pesawat. “Kalau
diatur pemerintah, hancur itu industri penerbangan. Pemerintah itu seperti
mengatur harga kangkung,” kritiknya.

Menurut Agus, kebijakan pemerintah tersebut
dapat berdampak panjang. Salah satunya, maskapai asing dikhawatirkan tidak
tertarik untuk masuk ke tanah air. “Pemerintah itu sudahlah ngatur tarif batas
atas dan bawah saja,” tandasnya.

Ujung kerumitan harga tiket pesawat, kata
Agus, berada di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sudah hampir enam
bulan lembaga tersebut menyelidiki dugaan kartel pada bisnis aviasi tanah air.
Namun, hingga kini belum juga ada keputusan. “Semua itu tinggal menunggu
keputusan KPPU. Namun tampaknya hanya diulur-ulur,” cetusnya.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) Tulus Abadi menganggap kebijakan tersebut sebagai anomali bagi konsumen
dan operator penerbangan. Alasannya adalah intervensi pemerintah. “Anomali bagi
konsumen ya karena kalau mau serius nurunin tarif tiket, hapus PPN tiket dan
PPN avtur,” ucapnya.

Baca Juga :  Yurianto Bandingkan Situasi Saat Pandemi Covid-19 dengan Flu Spanyol

Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, menurut
Tulus, hanya dimaksudkan untuk tampil sebagai populis. Sayang, cara yang
digunakan keliru. “Menginjak maskapai,” cetusnya.

Selain itu, turunnya harga tiket tersebut
tidak bisa dinikmati seluruh kalangan. Tulus berpendapat, pesawat digunakan
untuk masyarakat kelas menengah atas.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Institute
Development of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda menjelaskan, kebijakan
mengatur tarif diskon LCC merupakan upaya pemerintah dan stakeholder
penerbangan untuk menyediakan tiket murah. Namun, upaya tersebut dianggap tak
serta-merta mampu menurunkan rate tiket pesawat LCC secara keseluruhan.

“Sebab, bisa jadi harga tiket di luar rute, waktu,
dan hari yang telah ditentukan lebih mahal karena untuk menyubsidi tiket murah
itu. Perusahaan memenuhi keinginan pemerintah, tapi di satu sisi tetap bisa
menjual tiket dengan harga yang relatif mahal,” ujar Huda.

Meski demikian, kebijakan tersebut tetap harus
diambil untuk menciptakan persaingan yang lebih sehat. Sebab, saat ini Garuda
Indonesia Group dan Lion Air Group praktis tidak memiliki pesaing.(jpc)

 

Tiket murah bagi pesawat berbiaya rendah
atau 
low cost carrier(LCC) tidak berlaku secara menyeluruh. Sebab,
kebijakan itu juga mempertimbangkan kesehatan keuangan pihak maskapai
penerbangan.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan
bahwa tarif murah tiket pesawat yang diatur pemerintah sama seperti promo pada
umumnya. “Ya, kan tidak semua murah. Jam-jam tertentu dan jumlah tertentu,”
katanya kemarin (2/7).

Menurut JK, harga atau tarif tiket pesawat
sangat bergantung pada dolar AS dan rupiah. Maskapai nasional menerima uang
dari pengguna jasa dalam bentuk rupiah. Sementara itu, hampir seluruh biaya
operasional maskapai, khususnya untuk perawatan pesawat, menggunakan mata uang
dolar AS.

Dengan pertimbangan itu, ujar JK, tarif murah
tidak berlaku secara umum. “Kalau harga seperti itu berlaku umum, saya kira
perusahaan penerbangan bangkrut,” tuturnya.

Wakil presiden dua periode tersebut lantas
mengungkapkan kondisi yang dialami maskapai Garuda Indonesia. Dengan menerapkan
tarif normal saja, kata JK, Garuda mengalami masalah keuangan.

Sebagaimana diberitakan, Senin (1/7) pemerintah
mengumumkan penurunan harga tiket pesawat domestik yang bisa mencapai 50 persen
dari tarif batas atas. Namun, tarif tersebut berlaku dengan beberapa ketentuan,
yakni pada rute, hari, dan jam tertentu. Selain itu, pemerintah meminta biaya
murah ditanggung bandara, AirNav, dan penyedia bahan bakar.

Baca Juga :  Ombudsman Minta Pemerintah Siapkan Crisis Center untuk Coronavirus

Sementara itu, langkah pemerintah yang meminta
maskapai menurunkan harga tiket pesawat LCC dinilai tidak tepat. Sebab, langkah
itu dianggap tidak memberikan ruang bagi dunia aviasi.

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio
mengatakan, pemerintah tidak boleh menentukan harga tiket pesawat. “Kalau
diatur pemerintah, hancur itu industri penerbangan. Pemerintah itu seperti
mengatur harga kangkung,” kritiknya.

Menurut Agus, kebijakan pemerintah tersebut
dapat berdampak panjang. Salah satunya, maskapai asing dikhawatirkan tidak
tertarik untuk masuk ke tanah air. “Pemerintah itu sudahlah ngatur tarif batas
atas dan bawah saja,” tandasnya.

Ujung kerumitan harga tiket pesawat, kata
Agus, berada di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sudah hampir enam
bulan lembaga tersebut menyelidiki dugaan kartel pada bisnis aviasi tanah air.
Namun, hingga kini belum juga ada keputusan. “Semua itu tinggal menunggu
keputusan KPPU. Namun tampaknya hanya diulur-ulur,” cetusnya.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) Tulus Abadi menganggap kebijakan tersebut sebagai anomali bagi konsumen
dan operator penerbangan. Alasannya adalah intervensi pemerintah. “Anomali bagi
konsumen ya karena kalau mau serius nurunin tarif tiket, hapus PPN tiket dan
PPN avtur,” ucapnya.

Baca Juga :  Yurianto Bandingkan Situasi Saat Pandemi Covid-19 dengan Flu Spanyol

Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, menurut
Tulus, hanya dimaksudkan untuk tampil sebagai populis. Sayang, cara yang
digunakan keliru. “Menginjak maskapai,” cetusnya.

Selain itu, turunnya harga tiket tersebut
tidak bisa dinikmati seluruh kalangan. Tulus berpendapat, pesawat digunakan
untuk masyarakat kelas menengah atas.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Institute
Development of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda menjelaskan, kebijakan
mengatur tarif diskon LCC merupakan upaya pemerintah dan stakeholder
penerbangan untuk menyediakan tiket murah. Namun, upaya tersebut dianggap tak
serta-merta mampu menurunkan rate tiket pesawat LCC secara keseluruhan.

“Sebab, bisa jadi harga tiket di luar rute, waktu,
dan hari yang telah ditentukan lebih mahal karena untuk menyubsidi tiket murah
itu. Perusahaan memenuhi keinginan pemerintah, tapi di satu sisi tetap bisa
menjual tiket dengan harga yang relatif mahal,” ujar Huda.

Meski demikian, kebijakan tersebut tetap harus
diambil untuk menciptakan persaingan yang lebih sehat. Sebab, saat ini Garuda
Indonesia Group dan Lion Air Group praktis tidak memiliki pesaing.(jpc)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru