30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Menurut UUD 1945, Posisi Menhan Ryamizard Lebih Penting dari Wiranto

PEMERHATI politik, pemilu dan kenegaraan Said Salahudin mengatakan,
dalam konstruksi hukum tata negara di Indonesia, posisi menteri pertahanan
(menhan) yang kini dipegang Ryamizard Ryacudu memiliki kedudukan yang sangat
kuat. Bahkan lebih kuat dari menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan
alias Menko Polhukam Wiranto.

Said berpandangan, walaupun
Kemenhan berada di bawah Kemenkopolhukam, bukan berarti menhan bisa
dikendalikan menko polhukam.

“Sangat keliru jika sampai
muncul anggapan karena menhan berada dalam jajaran menko polhukam, maka
Ryamizard Ryacudu merupakan bawahan Wiranto,” ujar Said di Jakarta, Senin
(3/6).

Menurut Direktur Sinergi
masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin ini, posisi menhan
di menko polhukam hanya bersifat administratif untuk memudahkan presiden
mengkoordinasikan fungsi-fungsi kementerian yang berada di bawahnya.

Bahkan, secara konstitusional
posisi yang ditempati Ryamizard justru dianggap lebih penting oleh UUD 1945
daripada posisi yang ditempati oleh Wiranto. Sebab, konstitusi tidak pernah
meminta negara membentuk Kemenko Polhukam, tetapi konstitusi mewajibkan negara
membentuk Kemenhan.

Baca Juga :  Hasil Seleksi Administrasi CPNS 2019 Diumumkan Hari Ini

“Kalau presiden mau
membubarkan jabatan menko polhukam, misalnya, tidak ada satu pun undang-undang
yang dilanggar oleh presiden. Sebab jabatan menko polhukam boleh dibentuk,
boleh juga tidak. Tetapi jangan coba-coba meniadakan jabatan menhan. Presiden
bisa terancam dimakzulkan karena dianggap telah melanggar konstitusi,”
katanya.

Said kemudian membeberkan alasan
untuk memperkuat argumentasinya. Dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 diatur
ketentuan, Mendagri, Menteri Luar Negeri (menlu) dan Menhan merupakan calon
pelaksana tugas kepresidenan apabila dalam keadaan tertentu presiden dan wakil
presiden secara bersama-sama tidak dapat melaksanakan kewajibannya.

Dalam doktrin hukum tata negara,
ketiga menteri itu disebut dengan ‘triumvirat’. Yaitu, rezim politik yang dipegang
bersama-sama oleh tiga penguasa. Kalau sampai terjadi sesuatu pada presiden dan
wakil presiden sehingga menyebabkan muncul kekosongan kekuasaan (vacuum of
power), maka yang bisa mengambil kendali pemerintahan adalah menhan, mendagri,
dan menlu. Bukan menko polhukam, Kapolri, apalagi KSP.

Baca Juga :  Erick Thohir Kunjungi Agen Brilink dan Teras BRI Kapal di Pulau Komodo

“Kalau kondisi itu sampai
terjadi, maka sebelum MPR memilih presiden dan wakil presiden yang baru,
Ryamizard bersama Tjahjo Kumolo dan Retno Marsudi dapat saja memecat Wiranto,
termasuk membubarkan Kemenko Polhukam jika dianggap perlu, misalnya,” kata
Said.

Lebih lanjut konsultan senior
pada Political and Constitutional Law Consulting (Postulat) ini mengatakan,
berdasarkan alasan konstitusional yang dipaparkan sebelumnya, maka ketika
muncul perbedaan pandangan di antara para menteri, sudah sepatutnya presiden
lebih mendengarkan pendapat dari institusi di bawahnya, yang menurut konstitusi
memiliki kedudukan lebih kuat dan lebih penting di dalam pemerintahan.

“Konkretnya, pendapat menhan
lebih perlu diutamakan untuk didengar atau diperhatikan oleh presiden daripada
pendapat menko polhukam, termasuk dalam kasus penahanan sejumlah jenderal
purnawirawan yang diduga hendak melakukan makar terkait peristiwa 21-22 Mei
yang lalu,” pungkas Said.(gir/jpnn)

PEMERHATI politik, pemilu dan kenegaraan Said Salahudin mengatakan,
dalam konstruksi hukum tata negara di Indonesia, posisi menteri pertahanan
(menhan) yang kini dipegang Ryamizard Ryacudu memiliki kedudukan yang sangat
kuat. Bahkan lebih kuat dari menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan
alias Menko Polhukam Wiranto.

Said berpandangan, walaupun
Kemenhan berada di bawah Kemenkopolhukam, bukan berarti menhan bisa
dikendalikan menko polhukam.

“Sangat keliru jika sampai
muncul anggapan karena menhan berada dalam jajaran menko polhukam, maka
Ryamizard Ryacudu merupakan bawahan Wiranto,” ujar Said di Jakarta, Senin
(3/6).

Menurut Direktur Sinergi
masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin ini, posisi menhan
di menko polhukam hanya bersifat administratif untuk memudahkan presiden
mengkoordinasikan fungsi-fungsi kementerian yang berada di bawahnya.

Bahkan, secara konstitusional
posisi yang ditempati Ryamizard justru dianggap lebih penting oleh UUD 1945
daripada posisi yang ditempati oleh Wiranto. Sebab, konstitusi tidak pernah
meminta negara membentuk Kemenko Polhukam, tetapi konstitusi mewajibkan negara
membentuk Kemenhan.

Baca Juga :  Hasil Seleksi Administrasi CPNS 2019 Diumumkan Hari Ini

“Kalau presiden mau
membubarkan jabatan menko polhukam, misalnya, tidak ada satu pun undang-undang
yang dilanggar oleh presiden. Sebab jabatan menko polhukam boleh dibentuk,
boleh juga tidak. Tetapi jangan coba-coba meniadakan jabatan menhan. Presiden
bisa terancam dimakzulkan karena dianggap telah melanggar konstitusi,”
katanya.

Said kemudian membeberkan alasan
untuk memperkuat argumentasinya. Dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 diatur
ketentuan, Mendagri, Menteri Luar Negeri (menlu) dan Menhan merupakan calon
pelaksana tugas kepresidenan apabila dalam keadaan tertentu presiden dan wakil
presiden secara bersama-sama tidak dapat melaksanakan kewajibannya.

Dalam doktrin hukum tata negara,
ketiga menteri itu disebut dengan ‘triumvirat’. Yaitu, rezim politik yang dipegang
bersama-sama oleh tiga penguasa. Kalau sampai terjadi sesuatu pada presiden dan
wakil presiden sehingga menyebabkan muncul kekosongan kekuasaan (vacuum of
power), maka yang bisa mengambil kendali pemerintahan adalah menhan, mendagri,
dan menlu. Bukan menko polhukam, Kapolri, apalagi KSP.

Baca Juga :  Erick Thohir Kunjungi Agen Brilink dan Teras BRI Kapal di Pulau Komodo

“Kalau kondisi itu sampai
terjadi, maka sebelum MPR memilih presiden dan wakil presiden yang baru,
Ryamizard bersama Tjahjo Kumolo dan Retno Marsudi dapat saja memecat Wiranto,
termasuk membubarkan Kemenko Polhukam jika dianggap perlu, misalnya,” kata
Said.

Lebih lanjut konsultan senior
pada Political and Constitutional Law Consulting (Postulat) ini mengatakan,
berdasarkan alasan konstitusional yang dipaparkan sebelumnya, maka ketika
muncul perbedaan pandangan di antara para menteri, sudah sepatutnya presiden
lebih mendengarkan pendapat dari institusi di bawahnya, yang menurut konstitusi
memiliki kedudukan lebih kuat dan lebih penting di dalam pemerintahan.

“Konkretnya, pendapat menhan
lebih perlu diutamakan untuk didengar atau diperhatikan oleh presiden daripada
pendapat menko polhukam, termasuk dalam kasus penahanan sejumlah jenderal
purnawirawan yang diduga hendak melakukan makar terkait peristiwa 21-22 Mei
yang lalu,” pungkas Said.(gir/jpnn)

Terpopuler

Artikel Terbaru