30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Pjs dan Plt Simak Warning Mendagri Ini

JAKARTA, KALTENGPOS.CO – Persoalan netralitas menjadi isu utama di
Pilkada Serentak 2020. Penjabat Sementara (Pjs) maupun pelaksana tugas (Plt) di
daerah di-warning agar tidak membuat
konflik. Sebab, ada indikasi beberapa di antaranya tidak netral. Jika ada yang
melanggar, sanksi pidana sudah menanti.

“Saya mendengar ada beberapa
pejabat yang belum dilantik sudah menyampaikan akan tumbangkan si A, akan
tumbangkan si B. Semua pejabat pengganti atau pelaksana tugas harus netral di
Pilkada 2020. Kalau tidak netral berpotensi menimbulkan konflik. Jadi mohon
kepada rekan-rekan kepala daerah, baik yang definitif, Pjs maupun Plt untuk
menghindari konflik,” kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dalam
Rapat Koordinasi Analisa dan Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2020
di Kantor Kemendagri, Jakarta, Rabu (30/9).

Mantan Kapolri itu memastikan
akan memberikan sanksi jika Pjs maupun Plt terbukti tidak netral di Pilkada.
“Kalau sampai terjadi, saya akan menggunakan instrumen-instrumen yang ada untuk
memberikan sanksi bila memang terbukti. Bahkan dari sudut pidana juga bisa
kena. Jadi tolong ambil posisi netral. Tidak perlu keluarkan suara-suara yang
membuat satu pasangan calon lain menjadi antipati dan tidak percaya kepada
rekan-rekan kepala daerah,” tegasnya.

Dia menyebut ada banyak tantangan
dalam pelaksanaan Pilkada 2020. Di antaranya aksi kekerasan hingga kampanye
hitam. Tito meminta tantangan-tantangan tersebut cepat diantisipasi dengan
langkah-langkah proaktif. Sehingga para pasangan calon (paslon) dapat
berkompetisi secara sehat.

Baca Juga :  Berkunjung ke Korsel dan Jepang, WNI Harus Waspada pada Virus NCov

“Jangan membuat black campaign,
kampanye-kampanye bohong. Positif campaign itu masih bisa, negatif campaign
juga biasa. Tapi black campaign, kampanye hitam yang berisi kebohongan itu
tidak boleh. Itu jelas perbuatan adalah pidana,” tutur mantan Kapolda Metro
Jaya ini.

Untuk mengawasi hal tersebut,
Tito meminta setiap aparat memiliki Liaison Officer atau LO yang berasal dari
penegak hukum, di tiap-tiap paslon. Menurutnya, LO tersebut akan mengawasi
potensi adanya kampanye hitam dan pelanggaran hukum lainnya.

“Kalau terjadi ketidakpuasan,
gunakan saluran yang disiapkan. Bisa melapor ke Bawaslu, ke Pengadilan Tinggi
TUN dan lain-lain. Prinsip, kalau terjadi aksi kekerasan tentu tidak bisa
ditolerir. Mohon ini dilaksanakan penegakan terhadap aksi-aksi yang
bertentangan dengan hukum,” ucapnya.

Pada kesempatan itu, Tito juga
menyampaikan masih ada daerah yang belum 100 persen mentransfer dana Pilkada
2020 ke penyelenggara pemilu dan pengamanan. Penyelenggara pemilu tersebut
adalah KPU dan Bawaslu. Sedangkan pengamanan yakni TNI dan Polri (selengkapnya
lihat grafis, Red).

“Saya minta betul hal ini segera
dituntaskan. Sekarang sudah masuk tahapan inti. Jangan lupa pengamanan bukan
pada saat kampanye maupun pemungutan dan penghitungan suara. Pengamanan itu
sejak tahap awal,” terangnya.

Dia meminta provinsi dan
kabupaten/kota tersebut segera menyerahkan dana penyelenggaraan dan pengamanan
pilkada. “Tolong kepala daerah agar ini segera dituntaskan. Baik untuk KPUD,
Bawaslu, dan pengamanan yang masih 75 persen. Kasihan teman-teman. Kita
mengharapkan TNI/Polri bekerja keras untuk menjaga kerumunan massa tidak
terjadi. Sementara anggarannya belum 100 persen diberikan,” pungkas mantan
Kapolda Papua ini.

Baca Juga :  Revisi UU ITE, Pemerintah Bentuk Tim Kajian

Terpisah, anggota Komisi II DPR
RI Guspardi Gaus, menilai penerapan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)
nomor 13 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak dalam Kondisi Bencana
Non-alam COVID-19, sudah tegas.

“Tidak boleh lengah dan kendor di
lapangan. Karena masih ada tahapan-tahapan pilkada berikutnya yang harus
diwaspadai. Prinsipnya penegakan disiplin protokoler kesehatan harus berjalan
sesuai aturan PKPU,” kata Guspardi di Jakarta, Rabu (30/9).

Jika ada indikasi kerumunan dan
keramaian, penegak hukum dapat mengantisipasi dengan melakukan peringatan. Jika
diabaikan, maka harus dibubarkan. “Apabila ada indikasi pelanggaran pidana,
penegak hukum bisa menggunakan UU yang lain. Seperti UU Kesehatan,” imbuhnya.

Menurutnya, sinergitas antar
lembaga mulai dari KPU, Bawaslu, DKPP, Polri dan dibantu TNI, menghasilkan
kinerja yang baik sampai tahapan saat ini. “Semua stakeholder telah menunjukkan
kebersamaan dan kekompakannya. Ini tercermin saat proses pengundian nomor urut
pasangan calon dan dua hari pelaksanaan kampanye berjalan lancar dengan penerapan
protokol kesehatan,” pungkas Guspardi.

JAKARTA, KALTENGPOS.CO – Persoalan netralitas menjadi isu utama di
Pilkada Serentak 2020. Penjabat Sementara (Pjs) maupun pelaksana tugas (Plt) di
daerah di-warning agar tidak membuat
konflik. Sebab, ada indikasi beberapa di antaranya tidak netral. Jika ada yang
melanggar, sanksi pidana sudah menanti.

“Saya mendengar ada beberapa
pejabat yang belum dilantik sudah menyampaikan akan tumbangkan si A, akan
tumbangkan si B. Semua pejabat pengganti atau pelaksana tugas harus netral di
Pilkada 2020. Kalau tidak netral berpotensi menimbulkan konflik. Jadi mohon
kepada rekan-rekan kepala daerah, baik yang definitif, Pjs maupun Plt untuk
menghindari konflik,” kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dalam
Rapat Koordinasi Analisa dan Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2020
di Kantor Kemendagri, Jakarta, Rabu (30/9).

Mantan Kapolri itu memastikan
akan memberikan sanksi jika Pjs maupun Plt terbukti tidak netral di Pilkada.
“Kalau sampai terjadi, saya akan menggunakan instrumen-instrumen yang ada untuk
memberikan sanksi bila memang terbukti. Bahkan dari sudut pidana juga bisa
kena. Jadi tolong ambil posisi netral. Tidak perlu keluarkan suara-suara yang
membuat satu pasangan calon lain menjadi antipati dan tidak percaya kepada
rekan-rekan kepala daerah,” tegasnya.

Dia menyebut ada banyak tantangan
dalam pelaksanaan Pilkada 2020. Di antaranya aksi kekerasan hingga kampanye
hitam. Tito meminta tantangan-tantangan tersebut cepat diantisipasi dengan
langkah-langkah proaktif. Sehingga para pasangan calon (paslon) dapat
berkompetisi secara sehat.

Baca Juga :  Berkunjung ke Korsel dan Jepang, WNI Harus Waspada pada Virus NCov

“Jangan membuat black campaign,
kampanye-kampanye bohong. Positif campaign itu masih bisa, negatif campaign
juga biasa. Tapi black campaign, kampanye hitam yang berisi kebohongan itu
tidak boleh. Itu jelas perbuatan adalah pidana,” tutur mantan Kapolda Metro
Jaya ini.

Untuk mengawasi hal tersebut,
Tito meminta setiap aparat memiliki Liaison Officer atau LO yang berasal dari
penegak hukum, di tiap-tiap paslon. Menurutnya, LO tersebut akan mengawasi
potensi adanya kampanye hitam dan pelanggaran hukum lainnya.

“Kalau terjadi ketidakpuasan,
gunakan saluran yang disiapkan. Bisa melapor ke Bawaslu, ke Pengadilan Tinggi
TUN dan lain-lain. Prinsip, kalau terjadi aksi kekerasan tentu tidak bisa
ditolerir. Mohon ini dilaksanakan penegakan terhadap aksi-aksi yang
bertentangan dengan hukum,” ucapnya.

Pada kesempatan itu, Tito juga
menyampaikan masih ada daerah yang belum 100 persen mentransfer dana Pilkada
2020 ke penyelenggara pemilu dan pengamanan. Penyelenggara pemilu tersebut
adalah KPU dan Bawaslu. Sedangkan pengamanan yakni TNI dan Polri (selengkapnya
lihat grafis, Red).

“Saya minta betul hal ini segera
dituntaskan. Sekarang sudah masuk tahapan inti. Jangan lupa pengamanan bukan
pada saat kampanye maupun pemungutan dan penghitungan suara. Pengamanan itu
sejak tahap awal,” terangnya.

Dia meminta provinsi dan
kabupaten/kota tersebut segera menyerahkan dana penyelenggaraan dan pengamanan
pilkada. “Tolong kepala daerah agar ini segera dituntaskan. Baik untuk KPUD,
Bawaslu, dan pengamanan yang masih 75 persen. Kasihan teman-teman. Kita
mengharapkan TNI/Polri bekerja keras untuk menjaga kerumunan massa tidak
terjadi. Sementara anggarannya belum 100 persen diberikan,” pungkas mantan
Kapolda Papua ini.

Baca Juga :  Revisi UU ITE, Pemerintah Bentuk Tim Kajian

Terpisah, anggota Komisi II DPR
RI Guspardi Gaus, menilai penerapan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)
nomor 13 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak dalam Kondisi Bencana
Non-alam COVID-19, sudah tegas.

“Tidak boleh lengah dan kendor di
lapangan. Karena masih ada tahapan-tahapan pilkada berikutnya yang harus
diwaspadai. Prinsipnya penegakan disiplin protokoler kesehatan harus berjalan
sesuai aturan PKPU,” kata Guspardi di Jakarta, Rabu (30/9).

Jika ada indikasi kerumunan dan
keramaian, penegak hukum dapat mengantisipasi dengan melakukan peringatan. Jika
diabaikan, maka harus dibubarkan. “Apabila ada indikasi pelanggaran pidana,
penegak hukum bisa menggunakan UU yang lain. Seperti UU Kesehatan,” imbuhnya.

Menurutnya, sinergitas antar
lembaga mulai dari KPU, Bawaslu, DKPP, Polri dan dibantu TNI, menghasilkan
kinerja yang baik sampai tahapan saat ini. “Semua stakeholder telah menunjukkan
kebersamaan dan kekompakannya. Ini tercermin saat proses pengundian nomor urut
pasangan calon dan dua hari pelaksanaan kampanye berjalan lancar dengan penerapan
protokol kesehatan,” pungkas Guspardi.

Terpopuler

Artikel Terbaru