30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Tiger Yang

Pilihan jatuh ke Hawaii. Di
situlah lokasi pertemuan dua pejabat tinggi Amerika Serikat dan Tiongkok
kemarin. Hawaii persis di tengah antara daratan dua negara –juara dan runner
up bidang ekonomi.

Hasilnya juga tengah-tengah.
Tidak ada perbaikan keadaan. Juga tidak lebih buruk –karena sudah buruk
sekali.

Liu He, Wakil Perdana Menteri
Tiongkok, hanya mengatakan pertemuan tersebut sangat konstruktif. Itulah bahasa
standar diplomasi untuk mengatakan ‘tidak ada hasil’.

Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri
AS, lebih tidak memberi indikasi apa-apa.

Tapi setidaknya mereka sudah
bertemu muka. Selama 7 jam. Sambil makan malam enak –steak daging. Yang semoga
masih terasa lezat di tenggorokan –meski bercampur dengan begitu banyak
persoalan: perang dagang, Taiwan, Hongkong, Laut Tiongkok Selatan, Xinjiang,
Covid-19, John Bolton, Kim Jong-un, hingga George Floyd.

Pertemuan 7 jam itu cukup memadai
untuk penerbangan ke Hawaii yang masing-masing juga 7 jam.

Hanya media yang kecewa. Terutama
yang punya ekspektasi besar atas pertemuan itu.

Tapi wartawan tidak kekurangan
cerita. Tetap ada sisi menarik dari pertemuan itu: siapa yang mendampingi Liu
He.

Maka para wartawan sibuk menulis
sosok berumur 70 tahun itu: Dr Yang Jiechi.

Terutama tentang perjalanan
karirnya. Dari paling bawah sampai jenjang paling atas.

Awalnya Dr Yang ‘hanya’ seorang
penerjemah. Ia memang lulusan perguruan tinggi jurusan bahasa asing di
Shanghai. Lantas meraih gelar doktor dari Nanjing University.

Dr Yang sendiri orang Shanghai
–dua jam dengan kereta cepat dari Nanjing. Zaman ia jadi mahasiswa perjalanan
tersebut bisa 6 jam –dengan kereta hijau. Saya pernah menempuh jarak itu 6
jam. Padahal sudah tahun 1990 –belum ada jalan tol maupun kereta cepat.

Baca Juga :  Karhutla Mulai Terjadi di Dua Kecamatan Kota Palangka Raya

Keuntungan menjadi penerjemah
jelas: punya ilmu yang banyak. Spektrum keilmuannya pun luas.

Dr Yang kemudian berhasil menjadi
penerjemah tokoh sentral Tiongkok, Deng Xiaoping. Orang begitu sulit bertemu
Deng. Sampai termimpi-mimpi. Dr Yang justru selalu di sebelah Deng –dalam
pertemuan dengan Ronald Reagan.

Yang pun ikut keliling dunia.
Dari satu pemimpin ke pemimpin lainnya. Ia serap semua ilmu mereka. Ia ingat
baik-baik isi pembicaraan mereka.

Jadilah Yang kaya ilmu.

Pun atasannya melihat kemampuan
Yang. Termasuk mampu dipercaya.

Maka Yang disekolahkan ke Inggris.
Ke dua universitas sekaligus. Mula-mula ke Bath University. Lalu ke London
School of Economic.

Pulang dari Inggris, Yang tetap
jadi penerjemah. Tapi ia segera mendapat gelar ‘Tiger Yang’. Pemberi gelarnya
bukan orang sembarangan: George HW Bush.

Yakni setelah Yang berhari-hari
bersama Bush dan istri. Ketika Bush melakukan perjalanan ke provinsi paling
pojok Tiongkok: Tibet.

Yang jadi penerjemah di sepanjang
perjalanan itu.

Gelar ‘Tiger Yang’ itu diberikan
sebagai penghargaan atas kemampuan dan pembawaan ya. Yang selalu sigap. Juga
cocok dengan shionya: macan. Ia lahir tanggal 1 Mei 1950. Tepat pula di Hari
Buruh –hari terpenting di dunia komunis.

Sejak itu Tiger Yang menjadi
sahabat keluarga Bush.

Sebelum Bush menjadi presiden,
Yang pun sudah menjadi menteri luar negeri.

Ketika Bush menjadi presiden,
Yang sudah pensiun dari kementerian. Tapi pemerintah Tiongkok mengangkat Yang
menjadi duta besar: di Amerika Serikat.

Dr Yang mewakili harapan para
penerjemah se-dunia. Kini Dr Yang menjadi anggota politbiro partai. Ia lebih
tahu Amerika dari siapa pun di Tiongkok.

Baca Juga :  Panjang Umur Jurnalisme

Siapa tahu salah satu mahasiswa
Indonesia pun punya karir semelejit itu. Yakni mereka yang kini ambil jurusan
bahasa asing di berbagai universitas.

Saya, dulu, sering bertemu
penerjemah Presiden SBY. Mereka memang orang pilihan. Salah satunya kemudian
jadi Duta Besar di Amerika –sempat pula menjadi Wakil Menteri Luar Negeri:
Dino Pati Jalal.

Di Amerika saya juga pernah
bertemu seorang penerjemah. Ia ditugaskan menjadi penerjemah saya. Ketika
pertama kali saya ke sana –atas undangan pemerintah Amerika.

Waktu itu bahasa Inggris saya
amat-sangat-luar-biasa parah. Belum bisa membedakan pengucapan hari Selasa dan
Kamis. Apalagi membedakan ‘jelek’ dan ‘tempat tidur’. Sekarang mendingan:
tinggal parahnya saja.

Penerjemah itu ternyata pernah
mendampingi Ibu Tien Soeharto. Saat beliau ke acara terpisah: Pak Harto
menghadiri rapat, Ibu Tien ke salah satu perusahaan Amerika Serikat yang
berinvestasi di Indonesia.

“Saya pernah punya
pengalaman unik,” ujarnya sekian tahun kemudian. “Ketika tuan rumah
mengucapkan kata-kata yang bisa membuat Ibu Tien tersinggung, tidak saya
terjemahkan apa adanya” katanya.

Itulah memang salah satu tugas
penerjemah kenegaraan. Harus punya kemampuan diplomasi seperti itu.

“Ternyata Ibu Tien membisiki
saya. Beliau mengatakan ‘tidak begitu’,” kata penerjemah itu. Sambil
tertawa. “Ternyata Ibu Tien mengerti bahasa Inggris,” tambahnya.

Pak Harto memang tidak pernah
berpidato dalam bahasa Inggris di luar negeri. Akibatnya: banyak yang mengira
beliau hanya bisa bahasa Indonesia.

Itu sangat kontras dengan
presiden sebelumnya: Bung Karno. Yang pidato bahasa asingnya mengagumkan dunia.

Beda presiden tentu boleh beda
gaya.(Dahlan Iskan)

 

Pilihan jatuh ke Hawaii. Di
situlah lokasi pertemuan dua pejabat tinggi Amerika Serikat dan Tiongkok
kemarin. Hawaii persis di tengah antara daratan dua negara –juara dan runner
up bidang ekonomi.

Hasilnya juga tengah-tengah.
Tidak ada perbaikan keadaan. Juga tidak lebih buruk –karena sudah buruk
sekali.

Liu He, Wakil Perdana Menteri
Tiongkok, hanya mengatakan pertemuan tersebut sangat konstruktif. Itulah bahasa
standar diplomasi untuk mengatakan ‘tidak ada hasil’.

Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri
AS, lebih tidak memberi indikasi apa-apa.

Tapi setidaknya mereka sudah
bertemu muka. Selama 7 jam. Sambil makan malam enak –steak daging. Yang semoga
masih terasa lezat di tenggorokan –meski bercampur dengan begitu banyak
persoalan: perang dagang, Taiwan, Hongkong, Laut Tiongkok Selatan, Xinjiang,
Covid-19, John Bolton, Kim Jong-un, hingga George Floyd.

Pertemuan 7 jam itu cukup memadai
untuk penerbangan ke Hawaii yang masing-masing juga 7 jam.

Hanya media yang kecewa. Terutama
yang punya ekspektasi besar atas pertemuan itu.

Tapi wartawan tidak kekurangan
cerita. Tetap ada sisi menarik dari pertemuan itu: siapa yang mendampingi Liu
He.

Maka para wartawan sibuk menulis
sosok berumur 70 tahun itu: Dr Yang Jiechi.

Terutama tentang perjalanan
karirnya. Dari paling bawah sampai jenjang paling atas.

Awalnya Dr Yang ‘hanya’ seorang
penerjemah. Ia memang lulusan perguruan tinggi jurusan bahasa asing di
Shanghai. Lantas meraih gelar doktor dari Nanjing University.

Dr Yang sendiri orang Shanghai
–dua jam dengan kereta cepat dari Nanjing. Zaman ia jadi mahasiswa perjalanan
tersebut bisa 6 jam –dengan kereta hijau. Saya pernah menempuh jarak itu 6
jam. Padahal sudah tahun 1990 –belum ada jalan tol maupun kereta cepat.

Baca Juga :  Karhutla Mulai Terjadi di Dua Kecamatan Kota Palangka Raya

Keuntungan menjadi penerjemah
jelas: punya ilmu yang banyak. Spektrum keilmuannya pun luas.

Dr Yang kemudian berhasil menjadi
penerjemah tokoh sentral Tiongkok, Deng Xiaoping. Orang begitu sulit bertemu
Deng. Sampai termimpi-mimpi. Dr Yang justru selalu di sebelah Deng –dalam
pertemuan dengan Ronald Reagan.

Yang pun ikut keliling dunia.
Dari satu pemimpin ke pemimpin lainnya. Ia serap semua ilmu mereka. Ia ingat
baik-baik isi pembicaraan mereka.

Jadilah Yang kaya ilmu.

Pun atasannya melihat kemampuan
Yang. Termasuk mampu dipercaya.

Maka Yang disekolahkan ke Inggris.
Ke dua universitas sekaligus. Mula-mula ke Bath University. Lalu ke London
School of Economic.

Pulang dari Inggris, Yang tetap
jadi penerjemah. Tapi ia segera mendapat gelar ‘Tiger Yang’. Pemberi gelarnya
bukan orang sembarangan: George HW Bush.

Yakni setelah Yang berhari-hari
bersama Bush dan istri. Ketika Bush melakukan perjalanan ke provinsi paling
pojok Tiongkok: Tibet.

Yang jadi penerjemah di sepanjang
perjalanan itu.

Gelar ‘Tiger Yang’ itu diberikan
sebagai penghargaan atas kemampuan dan pembawaan ya. Yang selalu sigap. Juga
cocok dengan shionya: macan. Ia lahir tanggal 1 Mei 1950. Tepat pula di Hari
Buruh –hari terpenting di dunia komunis.

Sejak itu Tiger Yang menjadi
sahabat keluarga Bush.

Sebelum Bush menjadi presiden,
Yang pun sudah menjadi menteri luar negeri.

Ketika Bush menjadi presiden,
Yang sudah pensiun dari kementerian. Tapi pemerintah Tiongkok mengangkat Yang
menjadi duta besar: di Amerika Serikat.

Dr Yang mewakili harapan para
penerjemah se-dunia. Kini Dr Yang menjadi anggota politbiro partai. Ia lebih
tahu Amerika dari siapa pun di Tiongkok.

Baca Juga :  Panjang Umur Jurnalisme

Siapa tahu salah satu mahasiswa
Indonesia pun punya karir semelejit itu. Yakni mereka yang kini ambil jurusan
bahasa asing di berbagai universitas.

Saya, dulu, sering bertemu
penerjemah Presiden SBY. Mereka memang orang pilihan. Salah satunya kemudian
jadi Duta Besar di Amerika –sempat pula menjadi Wakil Menteri Luar Negeri:
Dino Pati Jalal.

Di Amerika saya juga pernah
bertemu seorang penerjemah. Ia ditugaskan menjadi penerjemah saya. Ketika
pertama kali saya ke sana –atas undangan pemerintah Amerika.

Waktu itu bahasa Inggris saya
amat-sangat-luar-biasa parah. Belum bisa membedakan pengucapan hari Selasa dan
Kamis. Apalagi membedakan ‘jelek’ dan ‘tempat tidur’. Sekarang mendingan:
tinggal parahnya saja.

Penerjemah itu ternyata pernah
mendampingi Ibu Tien Soeharto. Saat beliau ke acara terpisah: Pak Harto
menghadiri rapat, Ibu Tien ke salah satu perusahaan Amerika Serikat yang
berinvestasi di Indonesia.

“Saya pernah punya
pengalaman unik,” ujarnya sekian tahun kemudian. “Ketika tuan rumah
mengucapkan kata-kata yang bisa membuat Ibu Tien tersinggung, tidak saya
terjemahkan apa adanya” katanya.

Itulah memang salah satu tugas
penerjemah kenegaraan. Harus punya kemampuan diplomasi seperti itu.

“Ternyata Ibu Tien membisiki
saya. Beliau mengatakan ‘tidak begitu’,” kata penerjemah itu. Sambil
tertawa. “Ternyata Ibu Tien mengerti bahasa Inggris,” tambahnya.

Pak Harto memang tidak pernah
berpidato dalam bahasa Inggris di luar negeri. Akibatnya: banyak yang mengira
beliau hanya bisa bahasa Indonesia.

Itu sangat kontras dengan
presiden sebelumnya: Bung Karno. Yang pidato bahasa asingnya mengagumkan dunia.

Beda presiden tentu boleh beda
gaya.(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru